Susi yang ini beda banget dengan Susi yang itu. Yang ini otentik, apa adanya, gak palsu-hipokrit, apalagi pencitraan. Susi yang ini gak bisa bergaya birokratis, ia anti formalisme. Ternyata Susi ini cerdas beneran, bukan "pintar" karena gelar akademis berderet. Ia visioner, tapi juga detil. Ia menguasai masalah lapangan dan tahu solusi terbaik atasi masalah. Susi ini cerdas betulan, walau tak "berpendidikan".Gayanya memang urakan, tapi tidak pola pikirnya. Ia tertib dalam berpikir, juga punya kedalaman. Tak heran, ia paham bagaimana mestinya bernegara. Untuk hal bernegara, walau slengean bergaya slankers, ia ternyata sangat serius bernegara. Mendengarnya bicara, lama pun terasa cepat. Tentu karena ia memukau, gak membosankan kayak Susi itu.
Susi ini berani niscaya karena tidak terjerat konflik kepentingan. Ia memimpin langsung perang terhadap illegal fishing. Bahkan tak ragu pertaruhkan jabatannya. Kalau Susi itu, mendekap erat jabatan. Mungkin karena Susi ini jebolan Universitas kehidupan, bukan universitas konvensional, yang sekadar menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Pengalaman lapangannya yang super kaya menempanya menjadi tangguh. Benar kata orang bijak, pengalaman guru terbaik bagi kehidupan.
Susi ini memegang prinsip “Non scholae sed vitae discimus!” – kita belajar bukan untuk sekolah (ijazah), tapi untuk hidup. Bangku sekolah memberikan dasar-dasar pengetahuan bagi Susi untuk berkarya. Tapak demi tapak pengalaman dalam berkarya adalah pendidikan hidup yang dienyam Susi ini. Kala pendidikan dalam pergulatan hidup itu diseriusi, buah prestasi yang diraih tak kalah dari pendidikan formal level tinggi. Satu nilai plus, pendidikan hidup memoles “hati” Susi sebagai makluk sosial.Susi ini tak setengah-setengah dalam berempati. Rasa solidernya telah menggoreskan sejarah nyata. Para Korban tsunami di Pulau Simeulue dan Meulaboh paham itu. Dia datang dengan nyali heroik, mempertaruhkan nyawa dan kekayaan saat mamaksakan pendaratan pesawat di area bencana.Dia datang sebagai orang pertama pada kesempatan terawal, suatu reaksi spontan-humanis dari seorang yang berbelarasa. Citra bergerak menyusul. Apresiasi dan publikasi mengejarnya. Bukan sebaliknya, seperti yang lazim dilakukan Susi yang lain.
Yang menghadirkan bantuan lantaran dipaksa jabatan; menghadirkan seremoni pencitraan saat penyaluran donasi yang sebenarnya kita semua tahu, berasal dari kas negara, bukan dari kantong pribadi. Publikasi penuh warna pencitraan sudah menyertai, bahkan mendahului episode sumbangsih penuh riasan empati Susi itu. Kita pahamlah, rekayasa citra khas pejabat aristokrat yang bergerak formil dalam lindungan pengamanan ekstra, yang pembiayannya mungkin melebihi bantuan yang disalurkan.
Makanya, Susi yang itu, jauh dari sifat otentik alias penuh rekayasa.Yang pasti, Susi ini "jantan", ia berani, punya nyali ambil keputusan, bukan peragu yang plintat-plintut. Susi ini jenderal sejati, bukan jendral kodok, hahahaha... Itu impresi terhadapnya setelah menyaksikan ia berdiskusi 2 jam lebih dengan senator DPD RI pekan lalu.- f
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI