Sebelum aku tulis tentang Vero, aku akan mengingat dan menuliskan tentang kristian. Dia tidak jauh beda dengan Vero. Sama - sama orang virgo. Mereka keduanya adalah orang yang pernah singgah dalam hidupku. Aku pun pernah merasakan mabuk kepayang, sungguh terbuai dan terlena, meminum racun yang dibalut madu darinya.
Satu setengah tahun kami bersama. Membagi suka-duka yang kami ciptakan sendiri. Dalam dunia kami sendiri. Sungguh cinta itu membutakan naluri, melumpuhkan logika. Aku seakan memiliki keluarga kecil bersamanya. Dalam pelukan kecil, cinta sederhana, kisah rumit, berkelit, berdusta pada keyakinan hati, berdusta pada sahabat, keluarga, dan… mungkin seseorang yang lain yang ada di sisi hati kami masing-masing.
Aku dan Kristian. Kami menganggap cinta kami ibarat rumah.“Rumah Kita”. Itu sebutan bagi cinta dan sedikit komitmen yang dibubuhi banyak kepalsuan. Sering kali kami bertengkar, melempar barang yang ada di dalamnya. Membakar tempat tidur. Bercerai. Keluar rumah. Namun selalu takut untuk kehilangan kunci rumah. Mengapa? Sebab kami tak tahu atau memang tak menemukan atap-atap yang hendak kami naungi secara intim selayaknya rumah kami. Seingatku aku selalu lebih cepat menemukan jalan menuju rumah dari pada Kristian. Aku menunggu. Tetap melakukan hal yang sebagaimana mestinya sudah aku lakukan seperti biasa.
Aku sendiri. Kadang menangis, kadang aku jenuh, kadang aku menyakiti diriku sendiri dengan menelan beberapa obat penenang sampai dia kembali mengetuk pintu rumah kami lagi. Dia pulang dengan wajah yang pucat, dengan bajuyang kusut, dan sedikituang di saku celananya. Aku masih dengan tetesan air mataku, aku tetap menyambutnya. Memeluknya. Mencium kedua pipinya. Lalu ia berbisik tentang kesendiriannya di luar sana. Ia merasakan sakit di dalam dada yang ia sendiri tak tahu obat apa yang dapat membuatnya merasa lebih baik.Aku tetap melayaninya, membawanya masuk. Mengurusnya hingga ia terlelap di ranjang. Ini sering kali terjadi. Hingga suatu hari aku tak merasakan lagi hatiku utuh. Seakan aku tak bertulang lagi. Tak kuasa untuk berdiri membawanya masuk ke dalam rumah kami. Aku biarkan saja ia melangkah dengan amarah di hatinya. Aku sungguh merasa lemah. Hanya bisa memanggilnya… aku terus memanggilnya. Namun ia tak ingin melihat wajahku lagi. Yang aku tahu, setiap hari aku berusaha untuk tidak mengecewakannya. Aku tak mau melihatnya murung atau pun sedih. Tapi kenyataannya dia sangat kecewa terhadap apa yang ada padaku. Barangkali pepatah memang benar. Rumput tetangga memang lebih hijau.Kekasihku terus melangkah, mendekati sebuah rumah dengan pekarangan yang rindang. Yang ia suka.
Satu persatu pintu dan jendela rumah kami roboh. Copot. Hingga roboh pula dinding-dindingnya..
Tiada beratap kini sudah.. aku dapat melihat bintangyang berkaca-kaca. Bulan pun berdiri tegak dengan keangkuhannya. Sepertinya berteriak tak lagi alirkan gumpalan yang menusuk dada.Akhirnya. Kukumpulkan serpihan hatiku yang berceceran dari kantongmu. Lalu kubakar satu persatu apa yang mengingatkanku di dalam rumah kita. Mengingatkan akan peluh yang kauusap, mengingatkan akan segelak tawa, mengingatkan bermilyardetik yang terlampau bersama, mengingatkan darah yang…. Darah yang tumpah sebab perceraian kita. Aku sudah tak ingin menatap puing – puing rumah ini lagi… setelah habis semua, aku pun meninggalkanmu dan “kita”. Jika suatu saat kau rindu pekarangan kita yang penuh kembang waktu itu, datanglah… dan jangan lupa untuk menilik nisan di halaman belakang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H