[caption id="" align="aligncenter" width="524" caption="(c) InfoBank News"][/caption]
Download file untuk simulasi: https://www.dropbox.com/s/6wk6omlkadenhoa/simulasi-kip.xlsx
Subsidi biaya pendidikan digadang-gadang sebagai program utama salah satu kandidat Capres dalam pemilu 2014 ini. Program yang disebut dengan Kartu Indonesia Pintar ini sepertinya program ‘ala’ Kartu Jakarta Pintar yang dilakukan di Jakarta sejak tahun lalu.
Karena masalah serius di Indonesia sekarang adalah ketimpangan, rasanya program seperti ini berpotensi mengurangi kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Pertanyaannya, seberapa besar pengurangan ketimpangan-nya? Apakah cukup signifikan. Jika iya, program ini patut didukung. Selain itu, realistiskah program ini? Berapa biaya-nya? Ini juga patut untuk dijawab.
Dampak program KIP terhadap ketimpangan bisa jangka pendek (immediate) atau jangka panjang. Yang jangka panjang itu terasa dari peningkatan produktivitas siswa-siswa nantinya di pasar kerja sehingga penghasilan dan kesejahteraannya akan bertambah. Dampak jangka pendek adalah peningkatan daya beli dari dana dari rumah tangga yang anak-anaknya memperoleh KIP. Seorang rumah tangga miskin dengan pengeluaran 1 juta sebulan dengan 2 anak yang bersekolah di SD, dengan adanya KIP dia memperoleh tambahan uang sebesar Rp 180 ribu per anak atau Rp 360 ribu secara total. Dampaknya cukup besar, 36% dari total pengeluaran (Rp 360 ribu/Rp 1 juta).
Mari kita simulasikan bersama-sama bagaimana dampak program Kartu Indonesia Pintar (KIP), seandainya betul diimplementasikan, terhadap ketimpangan di Indonesia. Simulasi akan menggunakan file excel simulasi-kip.xlsx (bisa diunduh di sini) dimana formulasinya dapat dilihat secara transparan dan asumsi-asumsinya bisa diubah. Data yang digunakan adalah data SUSENAS tahun 2012 yang telah disagregasi menjadi 100 rumah tangga. Dalam data, rumah tangga diurut dari 1% termiskin (percentile 1) ke 1% terkaya (percentile 100) berdasarkan pengeluaran rumah tangga per orangnya.
Simulasi dilakukan di sheet ‘simulasi KIP’. Kita bisa merubah asumsi pada sel-sel yang berwarna kuning. Walaupun demikian semua isi sel bisa dilihat dan diedit.
Yang pertama kita lakukan adalam mengasumsikan siapa target siswa yang akan dibantu. Berbasis pada program pemerintah, mari kita asumsikan dulu targetnya adalah siswa yang berasal dari keluarga 30% termiskin. Maka sel kuning pertama (C2) bisa diisi dengan angka 30. Kita bisa rubah ini dengan asumsi yang berbeda jika perlu, misalnya lebih sedikit atau lebih banyak.
Yang kedua adalah asumsi berapa bantuan siswa untuk setiap tingkatan (SD, SMP, SMA). Kalau kita gunakan acuan JKP, maka besarnya untuk SD adalah Rp 180000, SMP Rp 210000, dan SMP Rp 240000. Akan tetapi mengingat ini standar Jakarta, maka bisa jadi ini ketinggian. Oleh karena itu karena ini simulasi nasional maka besaran bisa disesuaikan. Saya menggunakan rasio perbedaan garis kemiskinan nasional terhadap garis kemiskinan Jakarta terbaru (Maret 2014) yg ternyata sebesar 0.7 (sumber bps.go.id). Dengan demikian besarannya yang dimasukan adalah 0.7*180000=126000 untuk SD, 0.7*210000=147000 untuk SMP, dan 0.7*280000=168000 untuk SMA. Tentu saja anda bisa memasukkan angka yang berbeda.
Isian yang ketiga adalah inflasi. Ini diperlukan karena data dasar yang digunakan adalah tahun 2012 tetapi besaran bantuan yg menjadi acuan di Jakarta adalah untuk tahun 2013. Sehingga kita memerlukan angka inflasi. Disini saya memasukkan 5%, anda bisa memasukkan angka berbeda.
Yang keempat adalah kebocoran atau mistargeting. Pada realisasinya, siswa yang sebenarnya berhak bisa saja tidak memperoleh bantuan dan bantuan bocor ke siswa yang tidak berhak. Untuk itu kita bisa mengasumsikan berapa persen kebocoran ini terjadi. Kalau saya memasukan angka 10%, itu artinya ada 10% siswa yang termasuk kategori target tidak memperoleh bantuan, dan bantuan itu didapat oleh mereka yang bukan target. Kembali, anda bisa memasukkan angka yang berbeda.
Setelah itu anda bisa langsung melihat hasilnya.
Dari table hasil simulasi dapat dilihat ketimpangan awal, atau sebelum program KIP yang menunjukkan bahwa koefisien Gini kita adalah sebesar 0.409.Simulasi yang kita lakukan dengan menggunakan asumsi angka-angka diatas mengakibatkan koefisien Gini berkurang menjadi 0.396.Apakah ini signifikan? Sebagai pembanding anda bisa melihat data perkembangan koefisien Gini selama beberapa tahun terakhir. Rata-rata tiap tahun kenaikan koefisien Gini itu sekitar 0.01. Dengan demikian, pengurangan sebesar 0.396-0.409 = -0.013 atau -3.137% dari Gini awal cukup fantastis. Gini koefisien kita bisa berpotensi kembali dibawah 0.4 dengan adanya program KIP. Dalam analisis ketimpangan, menemukan sebuah program pemerintah yang dampaknya terhadap koefisien Gini cukup kentara relative jarang, apalagi yang pergerakannya di kurva Lorenz (spt yang dapat dilihat di bagian bawah hasil) kasat mata.
Berapa anggaran yang diperlukan? Dengan menggunakan asumsi-asumsi diatas, per tahun dana yang diperlukan adalah sekitar Rp 27 trilyun. Besar? Tentunya iya. Apakah pemerintah punya ruang fiskal? Punya sekali. Anggaran subsidi energi saja jumlahnya 300an trilyun dan yang menikmati-nya orang kaya, sehingga anggaran ini justru akan menambah bukan mengurangi ketimpangan. Selain itu, konstitusi mengamanatkan alokasi 20% anggaran untuk pendidikan. Harusnya anggaran untuk KIP masuk untuk kategori ini. Belum efisiensi anggaran baik dari penerimaan maupun pengeluaran yang masih bisa ditingkatkan di semua lini.
Ayo lakukan simulasi dengan asumsi-asumsi lain yang menurut anda relevan. Mari kritisi janji Capres dengan cerdas, belajar berdemokrasi sambil belajar!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H