Shinyuki dan Haregai adalah dua karakter semu yang ditampilkan dalam film legendaris "American Ninja" dari salah satu produser ternama Yoram Globus. Demikianlah Shinyuki adalah nama seorang guru tua dan yang lain adalah nama salah satu seni bela diri. Haregai merupakan ajaran dasar berlatih seni bela diri yang ditampilkan dalam sebuah momen saat Joe Armstrong karakter utama dalam film tersebut mengalami masa-masa kritis. Haregai mempengaruhi indera seseorang untuk bekerja dan berlatih mengontrol emosi dan pikiran yang dihantui kisah masa lalaunya.
Ketika melejit bersama "American Ninja" Michael Dudikoff tampil sebagai tokoh protagonis yang pada akhirnya memprakasarsai film-film Ninja selanjutnya. Film yang diproduksi tahun 1985 ini menampilkan adegan tak biasa, dan biasa bagi Dudikoff tatkala menghancurkan segerombolan ninja dengan jurus-jurus jitu. Adalah John Fujioka pemeran Shinyuki yang berhasil merubah seorang Dudikoff menjadi orang besar. Hadir sebagai tokoh semu Fujioka berhasil menahbiskan Joe Armstrong (si Dudikoff) menjadi murid luar biasa dan dirinya sebagai guru teladan.
Guru Sebagai Teladan Utama Dalam Adegan Bernama Belajar-Mengajar
Jika difilmkan, maka lembaga pendidikan merupakan tempat adegan film kolosal amat panjang dan mengerikan. Bisa-bisa tidak akan pernah habis isi ceritanya, yang ada hanyalah bab-bab bersambung dari setiap generasi ke generasi. Guru sebagai aktor faktual dan murid adalah peristiwanya. Begitulah, sekolah menjadi tempat pertaruhan jejak, Manakala dalam perjalanannya, proses  belajar dan mengajar sungguh memakan waktu, panjang dan beronak. Oleh karenanya kita tidak perlu heran terhadap setiap adegan dan petuah para guru. Mereka menampilkan ruang drama dengan murid sebagai pemerannya.Â
Di sisi lain, tantangan demi tantangan selalu datang menghampiri. Kurikulum yang terus berganti, kegiatan belajar - mengajar yang tidak seimbang, kualitas guru dan kualitas siswa yang tak seberapa, menjadi tantangan yang tak bisa dibantah. Bila tidak segera diperhatikan, maka mutu pendidikan seolah berjalan di tempat tanpa perubahan berarti.Â
Dari sebagian orang yang saya tanya, hampir beberapa tidak mengingat lagi isi pelajaran yang diberikan sewaktu di bangku sekolah, mereka lebih mengingat hal-hal konyol yang dialami, seperti bolos sekolah, mencuri buku di perpustakaan, merusak meja guru, tidak mengerjakan PR, dan lain sebagainya.
Aneh, memang! Tapi ada benarnya, masa-masa  sekolah sering dihadapkan pada hal-hal konyol. Sebut saja kendala dalam berkomunikasi. Di sekolah St. Isidorus Besikama, tempat saya menghabiskan tiga tahun untuk pendidikan menengah, berbahasa Indonesia menjadi hal rumit dan ditakuti. Maklum, kita dari kampung, lahir dan bertumbuh dengan bahasa daerah. Toh, dengan bahasa Ibu pun kita merasa sudah kuat dan tidak perlu bersusah payah meng-eja bahasa Indonesia. Sungguh fatal, persoalan bahasa saja menjadi pekerjaan berat.Â
Tetapi kehadiran guru di tengah-tengah murid menjadi obat paling mahal yang terus mendorong dan meningkatkan kreatifitas peserta didik. Tak ada usaha maka tak ada hasil. Kira - kira gambaran yang kami peroleh sewaktu mendapati setiap tugas dari guru, termasuk tantangan berbahasa Indonesia yang baik dan benar.Â
Saya teringat akan kata-kata Ki Hajar Dewantara tentang semboyan Tut Wuri Handayani.Â
"Ing ngarsa sung tulada, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani"
"Di depan, seorang Pendidik harus memberi teladan yang baik, di tengah seorang guru harus menciptakan prakarsa dan ide, dan dari belakang seorang Guru harus memberikan dorongan dan arahan"