Di era yang serba cepat ini, teknologi terus berkembang dan merambah berbagai aspek kehidupan kita, termasuk dunia seni. Salah satu perkembangan yang menarik adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam teater. Meskipun banyak orang merasa cemas dengan dampak AI terhadap pekerjaan di industri kreatif, beberapa pertunjukan teater terbaru menunjukkan bahwa AI juga bisa menjadi alat yang membantu dan menginspirasi seniman.
Bayangkan sebuah dunia di mana AI tidak hanya membantu menulis naskah, tetapi juga berperan dalam pertunjukan langsung di atas panggung. Apakah mungkin teknologi ini bisa mengambil alih panggung Broadway suatu hari nanti? Pertanyaan ini menjadi semakin relevan setelah serikat pekerja di Hollywood berhasil mendapatkan perlindungan terhadap aplikasi AI dalam TV dan film, hanya beberapa saat sebelum OpenAI menciptakan film pendek pertamanya dengan bantuan Sora.
Di dunia musik, kita melihat musisi terkenal seperti Billie Eilish dan Jon Bon Jovi menandatangani surat terbuka yang menyerukan penggunaan AI yang lebih bertanggung jawab. Keberadaan lagu-lagu yang diciptakan oleh AI dengan meniru suara artis-artis terkenal semakin marak di YouTube, menimbulkan kekhawatiran dan kekaguman sekaligus. Bahkan, Scarlett Johansson mengkritik keras perusahaan yang menggunakan suaranya tanpa izin untuk ChatGPT 40.Â
"AI dalam seni musik menunjukkan betapa pentingnya tanggung jawab dalam penggunaan teknologi," kata Jon Bon Jovi.
Namun, teater langsung memiliki keunikan tersendiri. Ketergantungan teater pada kehadiran fisik dan emosi membuat gagasan bahwa AI dapat sepenuhnya mengambil alih panggung terasa agak sulit dibayangkan. Meski begitu, kemampuan generatif AI telah dieksplorasi di panggung New York dalam beberapa pertunjukan yang menggabungkan teknologi ini dengan kreativitas manusia.
Salah satu contoh menarik adalah "Prometheus Firebringer" di Theater for a New Audience. Penulis naskah dan pemain Annie Dorsen menggunakan AI untuk menciptakan rekan mainnya, berupa paduan suara topeng-topeng kasar dengan kualitas mirip Mike Meyers. Dorsen menggunakan ChatGPT 3.5 untuk menghasilkan variasi dari sebuah bagian spekulatif dari mitos Prometheus, dewa Yunani yang menentang Zeus dan memberikan api kepada manusia sebagai teknologi dasar peradaban.
"Dengan AI, kita hanya membangun karya baru dari ide-ide yang sudah ada," kata Annie Dorsen.
Hasilnya memang mengesankan namun terasa datar; variasi yang dihasilkan AI lebih merupakan latihan semantik. Tapi, bagian yang dibawakan Dorsen sendiri, yang ia sampaikan sambil duduk di belakang meja dengan layar di atasnya, menunjukkan bahwa AI hanya melakukan apa yang seniman dan penulis lakukan selama berabad-abad: membangun karya baru dari ide-ide yang sudah ada. Setiap kalimat dalam eksplorasi filosofisnya yang mendalam diberi keterangan di layar sebagai kutipan dari teks lain. Ini membuktikan bahwa seni dan teknologi lebih mirip daripada yang kita duga.