Mohon tunggu...
Ansarullah Lawi
Ansarullah Lawi Mohon Tunggu... Dosen - Program Studi Teknik Industri Institut Teknologi Batam (ITEBA)

Pengampu Matakuliah Perancangan Produk dan Technopreneurship, Peneliti Ergonomi dan Lingkungan, Pengamat Politik, Pemerhati Pendidikan di Era Digitalisasi, Penggemar Desain Grafis, dll Semuanya dicoba untuk dirangkum dalam beberapa tulisan blog. Stay Tune! (^_^)v

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

De Bono di Mahkamah Konstitusi: Meracik Pemikiran Kritis di Dapur Hukum

22 April 2024   19:39 Diperbarui: 22 April 2024   19:48 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya mencerminkan akhir dari sebuah perselisihan hukum tetapi juga memulai babak baru dalam diskursus publik Indonesia. Baca lebih lanjut untuk memahami dinamika dan implikasinya.

Dalam lanskap peradilan konstitusi di Indonesia, sering kali muncul dinamika yang tidak hanya melibatkan aspek hukum tapi juga mempengaruhi wacana publik. Sebuah keputusan dari Mahkamah Konstitusi bisa menjadi lebih dari sekadar penyelesaian kasus; ia membuka pintu untuk diskusi lebih luas mengenai prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan tanggung jawab kelembagaan. Dengan mengacu pada buku Edward de Bono, "How to Have a Beautiful Mind", kita dapat melihat bagaimana pemikiran kritis dapat membantu kita menginterpretasikan dan merenungkan dari kejadian yang tampaknya sederhana.

Buku Legendaris Karya Edward de Bono (Sumber: dervishonline.com)
Buku Legendaris Karya Edward de Bono (Sumber: dervishonline.com)

Ada lima hakim Mahkamah Konstitusi yang mengalahkan tiga hakim professor dalam suatu perselisihan opini. Namun, ini bukanlah akhir dari sebuah perjalanan. Meskipun secara formal hukum keputusan Mahkamah Konstitusi adalah final dan mengikat, terdapat dimensi lain yang akan terus berkembang, berkobar, dan membara. Kita akan menjelajahi ini lebih jauh, bukan dari sisi partai politik, tetapi melalui lensa kritis berpikir yang Edward de Bono ajarkan dalam bukunya.

Dalam salah satu bab bukunya, de Bono menekankan pentingnya bisa berpikir dengan bahan yang terbatas. Beliau berkata, "Seorang koki yang baik bisa memasak dengan bahan apapun." Hal ini analog dengan bagaimana kita dapat memanfaatkan pemikiran kritis untuk memahami berbagai fenomena hukum dan politik yang kita hadapi.

Sidang putusan Mahkamah Konstitusi, misalnya, menarik bukan hanya karena argumen hukum yang dikemukakan oleh para hakim, tetapi lebih lagi pada apa yang terjadi setelahnya. Konferensi pers yang diadakan oleh para pengacara dan komentar dari figur publik seperti Prof Yusril Isra Mahendra, Prof Otto, dan politisi terkenal memberikan wawasan yang lebih luas dari sekadar keputusan hukum. Ini menunjukkan bahwa dalam konteks hukum konstitusional, ada ruang besar untuk interpretasi dan diskusi yang lebih luas.

Peradilan di Mahkamah Konstitusi yang menghadirkan tiga disenting opinions (opini yang berbeda dari keputusan mayoritas) adalah contoh bagaimana peradilan tidak hanya sebagai lembaga penghitung suara tetapi sebagai forum untuk debat substantif dan perumusan hukum yang lebih mendalam. Kita melihat bagaimana kewenangan Mahkamah Konstitusi tidak hanya terbatas pada fungsi-fungsi formal tetapi juga sebagai pelaku dalam diskursus publik yang lebih besar.

Situasi ini juga membuka pertanyaan baru tentang peran dan kewenangan lembaga-lembaga lain seperti Bawaslu. Apakah mereka melakukan perannya dengan efektif atau apakah Mahkamah Konstitusi perlu mengintervensi untuk memastikan keadilan dan kebenaran proses pemilu?

Diskusi ini tidak terlepas dari tanggung jawab moral para hakim yang, menurut beberapa pihak, harus menunjukkan jiwa kenegarawanan. Argumen dari kubu-kubu politik tertentu yang mengatakan bahwa ini adalah pertama kalinya dalam sejarah putusan seperti ini dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi menambah dimensi lain dalam pemikiran kita tentang peradilan konstitusional di Indonesia.

Dari perspektif Edward de Bono, kita diajak untuk melihat bahwa bahkan dari informasi yang terbatas, kita dapat mengembangkan diskusi yang kaya dan mendalam. Seperti seorang koki yang bisa membuat hidangan lezat dari bahan sederhana, kita, sebagai masyarakat, bisa membangun dialog yang berarti dari keputusan hukum yang mungkin tampak sederhana atau terbatas pada pandangan pertama.

Melalui lente Edward de Bono tentang berpikiran kritis, kita bisa melihat bagaimana sebuah putusan Mahkamah Konstitusi tidak hanya tentang menang atau kalahnya suatu pihak, tetapi tentang bagaimana keputusan tersebut mempengaruhi wacana publik dan pembangunan demokrasi. Dalam konteks ini, kita diajak untuk tidak hanya menerima keputusan pada nilai nominalnya tetapi untuk menggali lebih dalam dan mempertanyakan, mendiskusikan, dan bahkan mungkin memprotes aspek-aspek tertentu dari proses hukum dan keputusan yang diambil.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun