Mohon tunggu...
Ansarullah Lawi
Ansarullah Lawi Mohon Tunggu... Dosen - Program Studi Teknik Industri Institut Teknologi Batam (ITEBA)

Pengampu Matakuliah Perancangan Produk dan Technopreneurship, Peneliti Ergonomi dan Lingkungan, Pengamat Politik, Pemerhati Pendidikan di Era Digitalisasi, Penggemar Desain Grafis, dll Semuanya dicoba untuk dirangkum dalam beberapa tulisan blog. Stay Tune! (^_^)v

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

AI Bukan Hanya Pintar, tapi Juga Bisa Merusak: Apa yang Perlu Kita Lakukan?

16 April 2024   14:24 Diperbarui: 16 April 2024   23:51 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

AI telah menjadi bagian integral dari kehidupan kita sehari-hari, memberikan kemudahan dalam banyak aspek tetapi juga menimbulkan tantangan yang tidak terduga. Mulai dari asisten virtual hingga pengenalan wajah, teknologi ini terus berkembang, namun sering kali tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjangnya terhadap masyarakat dan lingkungan. Mari kita telusuri bagaimana kita dapat mengidentifikasi dan mengurangi dampak negatif dari AI, sambil memanfaatkan benefit yang ditawarkannya.

Baru-baru ini, seorang peneliti AI ternama, Dr. Sasha Luccioni, menerima email yang mengguncang pikirannya. Pesan tersebut menyatakan bahwa risetnya di bidang AI dapat mengakhiri umat manusia. Memang, AI saat ini sangat populer, sering muncul dalam berita baik untuk hal-hal menarik seperti penemuan molekul baru untuk obat-obatan maupun kejadian-kejadian gelap seperti ketika sebuah chatbot menyarankan seseorang untuk bercerai dengan istrinya.

Pengaruh AI terhadap masyarakat dan lingkungan tidak bisa diabaikan. Model-model AI dapat menyumbang pada perubahan iklim karena data pelatihan mereka menggunakan karya seni dan buku yang dibuat oleh seniman dan penulis tanpa izin mereka. Penggunaan AI juga bisa mendiskriminasi komunitas-komunitas tertentu. Namun, penting bagi kita untuk mulai melacak dampak ini dan menjadi transparan dalam mengungkapkannya.

"Setiap kali kita mempertanyakan model AI, itu datang dengan biaya untuk planet kita," kata Dr. Aisyah Putri, seorang peneliti di bidang keberlanjutan AI.

Salah satu langkah yang diambil adalah dengan penciptaan Bloom, model bahasa besar pertama yang terbuka, yang dirancang dengan fokus pada etika, transparansi, dan persetujuan. Penelitian yang mengamati dampak lingkungan dari Bloom menemukan bahwa hanya pelatihannya saja menggunakan energi sebanyak yang digunakan 30 rumah dalam satu tahun dan mengeluarkan 25 ton karbon dioksida. Meskipun ini mungkin tidak terdengar banyak, model bahasa besar serupa seperti GPT-3 mengeluarkan 20 kali lebih banyak karbon.

Namun, hal ini sering tidak diukur atau diungkapkan oleh perusahaan teknologi, sehingga mungkin ini hanya puncak gunung es. Baru-baru ini, AI semakin berkembang dengan ukuran yang lebih besar di bawah trend "lebih besar lebih baik". Namun, model yang lebih kecil dan efisien bisa mengurangi emisi karbon hingga 14 kali lebih sedikit untuk tugas yang sama.

Kemudian, ada juga dampak AI pada hak cipta. Sulit bagi seniman dan penulis untuk membuktikan bahwa karya mereka telah digunakan untuk melatih model AI tanpa izin mereka. Organisasi yang didirikan oleh seniman, Spawning.ai, menciptakan alat yang disebut "Have I Been Trained?" yang memungkinkan pencarian di dalam set data besar untuk melihat apa yang mereka miliki tentang Anda.

"Karya seni yang dibuat oleh manusia seharusnya tidak menjadi prasmanan bebas bagi model bahasa AI," menurut Carlos Rodriguez, pendiri Spawning.ai.

Terakhir, mari kita bicara tentang bias. Bias dalam AI terjadi ketika sistem AI mengadopsi dan memperkuat prasangka yang sudah ada dalam data yang digunakan untuk melatihnya. Prasangka ini bisa berkaitan dengan ras, gender, atau aspek lain dari identitas sosial, yang bisa menghasilkan stereotip atau diskriminasi. Dampak dari bias ini bisa sangat serius. Misalnya, AI yang digunakan dalam pengenalan wajah atau sistem keamanan bisa salah mengidentifikasi seseorang sebagai pelaku kejahatan berdasarkan prasangka yang sudah terprogram. Ini bisa mengarah pada tuduhan yang tidak benar, dan dalam beberapa kasus, bahkan penahanan atau penjara yang tidak adil.

"Ketika sistem AI mencerminkan bias, mereka memperkuat stereotip yang sama yang berusaha kita atasi," ujar Dr. Joy Buolamwini, peneliti yang menemukan bias rasial dalam sistem pengenalan wajah.

Kita dapat menggunakan informasi dari alat-alat seperti CodeCarbon dan Stable Bias Explorer untuk membuat pilihan yang lebih informatif tentang model mana yang lebih berkelanjutan atau lebih menghormati hak cipta. Penentu kebijakan pemerintah dapat menggunakan alat-alat ini untuk mengembangkan mekanisme regulasi atau tata kelola baru untuk AI saat diterapkan dalam masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun