Pertemuanku dengan tiga orang, yang kemudian bertambah satu lagi ketika ada seorang gempal dari Madura tiba-tiba ikut nimbrung, berlangsung hingga pukul dua dini hari. Kalau tidak diakhiri oleh Cul yang harus berangkat ke bandara pukul tujuh pagi, bisa jadi pertemuanku bersama empat lelaki itu berlangsung sampai pagi. Mau tidak mau, aku pun harus pulang karena malam memang telah mengamuk dan memenuhi langit dengan jubah kegelapan, pertanda bahwa aku harus segera bersembunyi di dalam kamar, melingkupi tubuh dengan selimut, dan mulai bertualang ke alam mimpi.
   Aku pulang ke indekosku yang jaraknya tidak sampai lima kilometer dari kedai kopi itu. Sesampainya di kos, aku kembali mengingat-ingat apa saja yang tadi kualami di kedai kopi. Kembali kupikirkan hal-hal sangat menyebalkan itu, sampai suatu ketika aku menemukan satu hal yang jauh lebih menyenangkan dibandingkan dengan memilih untuk berlayar di dimensi mimpi. Suatu hal, yang sangat rahasia antara aku dengan seseorang yang baru saja mengirimiku pesan singkat, dan penuh dengan mantra-mantra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H