Mohon tunggu...
Andrean Pasaribu
Andrean Pasaribu Mohon Tunggu... Melihat Dunia -

Seorang yang ingin menjadi HEBAT!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Counter Artikel Faisal Basri

20 Januari 2014   18:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:39 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1390217695259711412

Rasanya nggak mungkin kalo ada mahasiswa Indonesia  yang nggak tahu tentang hal ini. Terutama di masa libur musim dingin yang musimnya orang pada pulang, hunting tiket, dan ngelihat pergerakan rupiah tiap detiknya (lebay). Banyak yang menyalahkan pemerintah, kinerja BI, bahkan sampai permintaan impor yang mencerminkan sifat konsumtif orang Indonesia. Semua orang bebas beropini, namun akan lebih baik kalo kita semua memahami secara mendalam, apa sebenarnya yang terjadi pada mata uang kita. Rupiah melemah sejak Juni 2013 lalu. Semua pasti tau kan, sejak AS mengumumkan pengurangan QE (Quantitative Easing) yang mengindikasikan bahwa perekonomiannya sehat kembali, banyak investor yang berbondong-bondong menarik investasinya di Indonesia dan lari kesana. Mengapa demikian? Katakanlah sebuah negara menambah MS (Money Supply)-nya, dan mengakibatkan tingkat suku bunga negara tersebut menurun. Dampak pertama yang timbul tentu adalah meningkatnya output sektor riil, karena kalo bunga kredit makin kecil, investasi bakal naik drastis kan, yang mengarah secara otomatis ke meningkatnya GDP negara. Dengan kata lain, perekonomian AS mulai bangkit kembali. Sadar atau tidak, sebenarnya Indonesia adalah satu dari sedikiiit negara yang survive dari krisis kapitalisme global 2008 lalu. Negara kita ini adalah negara anomali, lho. Banyak teori ekonomi yang “nggak mempan” diterapkan di Indonesia. Baik buruknya, itu soal lain sih. Yang jelas, apa yang ditakutkan oleh pengamat ekonomi 2008 lalu benar terbukti. Investasi yang mengalir ke negara kita hanya berupa hot money, yaitu aliran dana investasi jangka pendek yang sewaktu-waktu bisa “berpindah hati” dan sifatnya cenderung ke spekulasi. [caption id="attachment_307132" align="aligncenter" width="515" caption="Bloomberg (statistic)"][/caption] Dari perbandingan IHSG sama S&P 500 di atas (kita sengaja nggak menggunakan Dow Jones sebagai perbandingan, karena rating S&P yang lebih tinggi dan terpercaya) selama 1 taun, kita bisa langsung melihat bahwa indeks kita yang tadinya menguat (warna oranye) mengalami penurunan sejak Juni 2013, tepat dengan naiknya S&P (warna hijau) pada waktu yang sama. Mengerikan, bukan? Indonesia memang dilirik dunia sebagai lahan investasi yang “cucok rumpi” sejak hujan krisis beberapa tahun terakhir, termasuk krisis 2008, krisis eropa (atau kalo mau to the point, krisis yunani), dan lesunya perekonomian dunia. Sementara negara lain menurunkan suku bunganya, Indonesia malah mempertahankan bahkan menaikkan suku bunga 2008 lalu, membuat investasi masuk membanjir sampe antri-antri (lebay). Indonesia juga tetap kuat dari sisi investasi sektor riil pada krisis eropa kemarin, membuat negara kita makin keliatan “okeh” di mata investor dunia. Sampai AS membalikkan kartunya Juni lalu. Lalu, apa yang bisa kita lakukan sekarang? Satu, jangan panik. Melemahnya rupiah di mata kebanyakan orang mungkin memang hal yang buruk, karena nilai mata uang yang merosot bikin kita (terutama mahasiswa Indonesia di luar negeri, hiks hiks) lebih mahal kalo beli apa2 terutama pake dollar. Tapi jangan lupa kalo Cina berusaha mati-matian sampe mempermainkan seluruh dunia di depan hidungnya dengan fake depreciated Yuan, agar bisa meneruskan bombardir ekspor-nya ke seantero jagad raya. Rupiah melemah, harga mata uang kita lebih murah dari negara lain, yang berarti harga barang kita lebih murah di pasar dunia. Ini adalah kesempatan emas buat Indonesia untuk menggalakkan ekspor dan mengalahkan Cina dan membalikkan kenyataan pahit ACFTA yang kita rasakan lebih banyak ruginya daripada untungnya (hehe). Yang kedua adalah, kalo kalian emang minat main2 saham, tarik pelan2 saham kalian dari Indonesia, alias saatnya jual menjual. Beli risk-free asset, misalnya SBI (Sertifikat Bank Indonesia) ato SBIS (Sertifikat Bank Indonesia Syariah) buat yang kepengen berada di jalur syariah. Tunggu sampe 6 bulan (ato setahun, tapi untuk amannya 6 bulan aja, karena lag dari mekanisme transmisi BI saya yakin dalam waktu dekat akan terbayarkan) lalu beli kembali saham2 itu, karena dalam waktu kira-kira setahun lagi (menurut pengamat keuangan, yaitu dosen saya, hohoho) IHSG akan kembali menunjukkan performanya. Yang ketiga? Tetap percaya pada pemerintah. BI sudah memprediksi hal ini akan terjadi, tenang saja. Kebijakan yang dikeluarkan juga sudah dipertimbangkan matang2, dan memang mekanisme transmisi kebijakan moneter tidak bisa berlangsung satu atau dua hari. Tenang aja lah mas bro, mbak bro… Ini bukan akhir Indonesia kok. Kalo masyarakat panik dan terjadi rush, skenario terburuk yang bisa terjadi adalah terulangnya tragedi Century beberapa waktu silam. Jangan terpengaruh media, dan jangan bertindak berlebihan. Krisis yang tadinya tidak ada bisa timbul karena kepanikan masyarakat. Jadi teman-teman… ini adalah murni cuap-cuap ekonomi versi super simpel dan agak ala kadarnya, namun semoga bermanfaat. Ada yang kurang setuju atau ingin memberikan komentar? Silakan sampaikan komen teman-teman di bawah ini yaa…

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun