Kau berjalan ditengah kegelapan malam hanya dengan sebuah jaket tipis menghangatkanmu. Walau kau telah merasakan udara dingin mulai membekukanmu, namun tak sekalipun terbesit di pikiranmu untuk berjalan pulang. Instingmu bekerja, kedua tanganmu mulai memeluk tubuh kurusmu tanpa kau sadari.
Jalanan telah sangat sepi, tak dapat dipungkiri suhu udara hampir mendekati 12 derajat celcius merupakan salah satu alasan mengapa orang-orang senang berada dirumah mereka yang hangat.
Kau melihat sekelilingmu, seketika merasakan suatu kenyamanan yang aneh. Kau memandang langit dan mulai mengagumi keindahannya. Bulan sedang tidak memancarkan cahaya terindahnya dan bintang-bintang sedang bersembunyi di balik awan, walaupun demikian, kau tetap menikmatinya. Kedua tanganmu kau masukkan didalam kantung jaketmu, pelan menggenggam handphone yang telah kau atur ke mode diam.
Kau berhenti dan duduk di atas kursi halte bus dingin. Jadwal terakhir bus paling malam telah lama lewat.
Entah kau telah menduganya atau kau memang telah terbiasa, kau tak tampak kaget sedikitpun ketika handphonemu mulai bergetar. Kau sengaja tak langsung mengangkat telepon ditengah malam itu. Setelah, yang telah kau hitung tepat 5 detik, kau akhirnya mengangkatnya.
Sebagian kecil di dirimu ingin sekali mendengar suara yang sedang memanggil namamu, dan sebagian besar menyuruhmu mematikannya. Kau tak yakin keputusanmu benar atau tidak, namun kau tetap menempelkan handphone itu di telingamu. Ia memanggilmu, mungkin sekitar 3 kali, sebelum kau menjawabnya.
”Yoona? Yoona? Onnie?”
Kau terdiam mendengar suaranya. Dalam dan lembut yang mampu menenangkanmu. Tanpa sadar kau tersenyum tipis, yang sedikit terlihat menyedihkan di mata orang-orang yang mengertimu.
”O..?” jawabmu pelan.
”Sudah tidur ya? Mengganggu?” berbeda denganmu, suaranya terlihat penuh energi dan ceria, tak terdengar kelelahan walau kau tahu harusnya pada jam ini ia telah terlelap di tidurnya. Kebiasaannya yang dulu sering ia lakukan.
”Tidak, tidak mengganggu. Kau dimana?” kau menghela nafas hangat yang terlihat seperti asap di tengah udara dingin disekitarmu.
”Baru saja selesai ambil gambar. Kau dimana?”
Walaupun tanpa kau tanya kau telah yakin akan mendengar jawaban itu, kau tetap saja menanyakannya, hari ini memang jadwalnya bersama pria pemain gitar itu.
Tapi kau hanya ingin lebih lama mendengar suaranya.
”Di dekat apartment”
”Dimana? Hati-hati manajer oppa bisa memarahimu kalau ketahuan” bisiknya perlahan, mungkin supaya manajer yang sedang menyetir tak akan mendengarnya. Kau tersenyum, lebar kali ini, berpikir ia terlihat lucu dengan semua tindakan kecilnya.
”Halte bus. Mau jalan bersamaku?” kau sadar suaramu seperti membeku namun kau tak dapat menghentikannya.
”Boleh, nanti kucoba berhenti didekat sana. Tunggu aku” kau ingin tersenyum mendengar kata-katanya. Sepertinya hampir seluruh waktumu kau habiskan untuk menunggunya. Seluruh waktu ketika bersamanya, sejak pertama kali kau bertemu dengannya hingga saat ini.
”O..” dan kau menutup handphonemu. Berjalan menyusuri kegelapan malam adalah kebiasaanmu sejak kau mulai dikenal orang. Kau merasa sedikit tak nyaman dengan orang-orang yang mulai menunjukmu dan berbisik-bisik mengenaimu ketika kau bahkan hanya berjalan di trotoar untuk pergi ke supermarket.
Tak lama, atau kau anggap itu tak seberapa lama, ia datang berjalan dengan senyum lebar di wajahnya. Ia membawa sebuah selimut di lengannya dan botol minum di tangan satunya. Kau ingin menyambutnya, namun kau urungkan niatmu, kau bahkan hanya memandanginya dan masih duduk diam.