Band-band dengan aliran tertentu saat ini sedang nauk daun. Saya tidak perlu menjelaskan aliran musik seperti apa, media sudah menjawabnya. Padahal, saya dan banyak orang yang sepikiran dengan saya tidak pernah meminta industri musik untuk menyuburkan band-band sejenis. Banyak yang suka memang. Tapi banyak juga yang merasa 'gerah'. Bukan masalah aliran musiknya, tapi budaya 'penyeragaman' dan mental ikut arus lah yang menjadi ancaman untuk perkembangan musik tanah air. Lalu dalih yang keluar adalah : ini kemauan pasar. pasar yang menentukan. pasar yang MEMINTA.
Sejak saya duduk di sekolah dasar, sinetron sudah ada di layar televisi. Â Sampai saya bekerja saat ini, sinetron pun masih berjaya. Yang menjadi keprihatinan saya adalah pada isinya. Hampir tidak ada perkembangan yang berarti. masih bersifat (maaf) bodoh menurut saya. Tidak masuk akal. Pihak protagonis tampak dengan gampangnya dibodohi, lemah, kurang akal,, Pendalaman peran juga kurang maksimal, lihat saja pemeran tokoh pembantu rumah tangga dan pemulung kok make-upnya kelas salon, rambutnya diwarnai dan ditata ala salon kelas wahid..
Beralih ke dunia politik. Partai politik yang diharapkan menjadi media penyampai suara rakyat semakin kehilangan fungsinya. Pada akhirnya, melalui dagelan politik (yang oleh media sekaligus dijadikan komoditas), masyarakat disadarkan bahwa bukan kepentingan mereka yang diperjuangkan. lalu kepentingan siapa? Tergantung siapa penguasa di balik partai itu. Negarawan sudah menjadi sosok langka di Negeri ini, celakanya para makelar kepentingan lah yang makin menjamur. Menjamur di tempat yang tidak seharusnya, menjamur di tengah media penyalur suara rakyat.
Para penguasa bidang-bidang itu bukan orang yang salah. bukan orang yang tidak bisa memimpin. dari segi kecakapan, mungkin mereka termasuk mumpuni. Dari segi bisnis mereka sukses besar.
Semua terkait dengan bisnis. Semua kepentingan bermuara pada uang. Semua harus bisa menjual. yang dibutuhkan saat ini adalah Jiwa yang tepat untuk posisi yang tepat. Untuk semua bidang, kita butuh jiwa yang tepat.
Seandainya para penguasa industri musik memiliki ikatan batin yang murni dengan musik, tentu mereka tidak akan membiarkan kondisi penyeragaman seperti ini terjadi. musik adalah ekspresi unik setiap individu, konsekuensinya,, akan ada keanekaragaman. Walaupun hak mutlak para pemilik modal untuk "membiayai" musik yang seperti apa, namun tidak seharusnya membunuh perkembangan musik itu sendiri. Kemauan pasar? pasar tidak selamanya aktif menuntut apa yang mereka mau. pasar lebih banyak bingung. pasar menerima saja apa yang industri jejalkan ke mulut-mulut mereka. Bukan satu jenis mulut saja, banyak mulut dengan selera berbeda. masalahnya, apakah si penguasa industri musik masih memiliki jiwa musik? saya rasa jiwa uang....
Sekali lagi, pasar lebih banyak bingung. pasar lebih bayak pasrah. pasar lebih banyak menerima saja. Lgi pula, sudahkan yang mereka anggap sebagai pasar selama ini telah mewakili pasar yang sesungguhnya?Sudah layakkah sampel yang mereka ambil selama ini bisa mewakili keseluruhan polupasi? Seandainya semua sinetron menjelma menjadi sinetron yang cerdas, pasar juga akan menerima saja. Tinggal bagaimana para penguasa industri ini bersikap. Berjiwa uang kah?...sudah sejak lama saya tidak melihat sinetron sejenis "Keluarga Cemara"-nya Adi Kurdi...
Tidak mengherankan pula jika politik di negeri ini menjadi ajang jual beli kepentingan. Saat pengusaha menjadi pimpinan partai, kemudi partai pun menjadi kemudi bisnis. Atau setidaknya, saat proses menjadi wakil rakyat membutuhkan segunung modal untuk upeti ke berbagai pihak, tidaklah mengherankan jika setelah mendapat kedudukan, orientasi mereka adalah orientasi balik modal.
Masihkah ada Jiwa yang tepat di tempat yang tepat?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H