Mohon tunggu...
Ano suparno
Ano suparno Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Jalanan

FREELANCER Pernah di Trans TV sebagai Reporter, Kameraman lalu Kepala Biro TRANS. Sebelumnya, sebagai Stringer Tetap BBC London siaran Indonesia, reporter hingga Station Manager Smart FM Makassar. Setelah di Trans, saya mendirikan dan mengelolah TV Lokal sebagai Dirut. Sekarang Konsultan Media dan Personal Branding

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Buzer Perlu, tapi Meruntuhkan Kepercayaan

14 Februari 2021   12:22 Diperbarui: 14 Februari 2021   12:27 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Voxpop.id

Bagi saya tak ada yang salah oleh kehadiran pasukan siber melalui buzzer pada lingkaran kekuasaan, politik, swasta, kampus dan organisasi. Namun akan menjadi rancu serta berbahaya jika buzer dimanfaatkan untuk kepentingan negatif seperti melakukan serangan secara serampangan, menjatuhkan moral tokoh, akademisi serta organisasi melalui konsep manipulatif data dan menciptakan disinformasi. Jika managemen buzer melakukan pola startegi seperti hasil penelitian tersebut di atas , maka yang tercipta adalah bukan hanya merusak atau meruntuhkan tatanan demokrasi tetapi memecah belah masyarakat. 

Yang lebih fatal adalah, publik kelak tidak akan percaya lagi pada media mainstreem, kampus dan tokoh. Sebab semua sadar dan mafhum bahwa kehadiran pasukan siber memiliki power yang kuat dalam memengaruhi publik, seperti poweryang dimiliki oleh pasukan militer.  Buzer itu memiliki kemampuan amplifikasi pesan dengan cara menarik perhatian atu membangun percakapan.  

Makanya, beberapa negara menghadirkan buzer melalui pasukan siber untuk keperluan kepentingan luar negeri mereka. Bukan lagi kepentingan dalam negeri tetapi sudah pada Tarakan global seperti perang informasi atau operasi psikologi. Negara negara yang telah memiliki pasukan siber kelas dunia adalah Amerika Serikat, Iran, Mesir, Arab Saudi, Israel, Inggris, Myanmar, Rusia, Suriah, UEA dan Vietnam.

Centre for Innovattion  Policy and Governance (CIPG) pada tahun 2017 pernah  melakukan riset sejarah buzer di Indonesia.  Bahwa pada mulanya, kehadiran buzer di Indonesia diterima sebagai hal yang lumrah sebab mereka biasa dilibatkan oleh korporat untuk menyampaikan produk mereka kepada warga maya.  

Buzer merupakan sebuah dunia yang memiliki kekuatan seiring tehnology digital pada zaman milenium. Tak bisa menaifkan bahwa buzzer itu adalah negativ atau positif, haram atau bukan haram? Sebab Pada sisi lain, jutaan  buzer di dunia bahkan di Indonesia yang bernaung dalam suatu wadah  profesional, konsultan merupakan buzer yang masih melekat sisi positif. 

Menggunakan jasa nya untuk kepentingan promosi produk, branding dan kebutuhan sosial lainnya.  Maka dari itulah menurut CIPG, mereka yang terdorong untuk menjadi buzer, pertama komersial yang ditandai dengan aliran dana, kedua motif sukarela yang didorong oleh kepentingan ideologi atau rasa kepuasan tertentu terhada suatu produk dan jasa.  

Pertanyaan akhir saya adalah, saat memiliki akun di media sosial maka kita buzzer atau bukan?  Baiklah, setelah membaca tulisan ini, cobalah scroll timeline anda, baca tulisan anda lalu kemudian dapat menyimpulkan bahwa anda buzzer kategori positif atau negative? CIPG menemukan riset bahwa motif sukarela karena didorong oleh ideologi juga merupakan kategori buzer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun