"Pesan apa, Om? Single origin, cappucino, atau kopi yang kekinian?"
Beginilah sekiranya beberapa sapaan akrab di sejumlah kedai-kedai kopi, bar-bar kopi, atau coffee shop.
Kini bulan Desember pun tiba. Di bawah awan yang mulai nampak kegalauan antara hitam dan biru, saya memulai berjalan menuju salah satu cafe di Jalan Ratulangi Makassar.
Hujan tentu tak lama lagi akan membasahi bumi. Akan terbentuk garis-garis kecil oleh karena dialiri air, selokan menderu, beberapa pengendara motor mampir berteduh di bawah pohon.
Rutinitas berlama-lama di kafe telah kugemari sejak tiga tahun terakhir. Begitu keluar rumah, tujuan utama adalah kafe. Sebelumnya, kantor adalah tujuan utama atau menemui beberapa kawan di kantornya.
Namun seiring zaman, dunia yang katanya telah milenial yang serba ter-remote oleh teknologi, maka kugauli pulalah zaman yang serba digital ini. Bayangkan, untuk membayar kopi pun tak perlu lembaran kertas yang dipenuhi foto pahlawan dan nilai nominal yang tertera pada sudutnya.
Maklum, sampai saat ini saya pula masih penggemar potongan harga, apalagi cashback. Dan kafe-kafe serta kedai memasang pajangan yang sangat besar tepat depan pintu, cashback dan discount. "Nah, ini dia saatnya kita bereaksi."
Saya pilih es kopi rasa gula aren. Meski di luar hujan makin liar, tetapi naluri menyeduh kopi berasa gula aren sudah pada ujung bibir. Ingin segera kuseduh sambil mendengarkan musik.Â
"Oke om, aman," ujar Jeje, seorang barista di Anomali Cafe.Â
Jeje, seorang baristi (kita gunakan istilah peracik kopi Italia, sebab bariste itu perempuan) yang sepanjang hidupnya mungkin selalu senyum, wajahnya ringan, matanya memancarkan ketulusan dalam bekerja. Tingkahnya lincah seperti kelinci. Jeje adalah satu diantara ribuan barista yang bekerja pada ribuan pula kafe atau kedai di Indonesia.Â
Setiap saat datang dan pulang, Jeje mengendarai Pajero Sport. Ini menandakan, barista kini telah memiliki kelas jelang abad ketiga milenial. Maka dari itulah, dimulai dari sekarang inti tulisan ini.