Pendahuluan
Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok merupakan tokoh yang sangat fenomenal sejak 2012, setiap hari selalu jadi topik utama media nasional. Apalagi sejak Jokowi menggandengnya sebagai wakil, maju pada waktu Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu, dan menang. Dalam segala kehadirannya, dimana pun Ahok kerap kontroversi. Sebagai pejabat publik ia banyak dipuji atau dibenci beberapa kelompok. Mulai dari masyarakat awam, pengusaha, NGO/LSM, ASN, pejabat, ulama/rohaniawan memiliki lapisan haters maupun lovers. Di kesempatan ini, penulis ingin memuat bagaimana tokoh ini selalu diserang dalam setiap Pilkada, bahkan sejak Pilkada Provinsi Bangka-Belitung (Babel).
Kasus Jakarta
Dalam beberapa minggu terakhir kita begitu cemas dengan situasi Jakarta. Pasca dilakukannya demo massal yang telah dua kali (14Okt & 4Nop), dan menurut info yang masuk ke Polri demo lanjutan akan diadakan lagi tgl 25Nop. Tema utama demo tersebut ialah penolakan terhadap Ahok yang dianggap menista agama (ulama), mengutip ayat Alquran (Almaidah 51) dianggap sebuah ketidakpantasan-sikap seorang non Muslim didepan para Muslim (Pulau Seribu, Red). Tentu semua ini tidak terlepas dari sebaran potongan vidio (tambahan kalimat yang dianggap provokatif) menjadi pemicu utama semua kegaduhan. Kini kedua kasus (Penistaan Agama & Pemelintiran Vidio) sedang diproses hukum oleh Kepolisian. Kita tidak membahas keterkaitan demo dengan aktor-aktor yang santer diduga terlibat, maupun motif demo yang merembes menuntut istana hingga adanya pelecehan presiden Jokowi. Kita fokus pada dua hal menarik yakni, pertama adalah sepak terjang Ahok dalam pusaran Pilkada yang selalu ditolak, sementara kedua adalah bentuk-bentuk kalimat yang digunakan untuk melawan Ahok. Semua ini semata-mata untuk refleksi, untuk mengukur rasionalitas masyarakat dan juga kedewasaan beragama tanpa kekerasan (verbal/visual/act).
Soal penolakan Ahok ternyata sudah ada sejak Pilkada Babel, penolakan yang terjadi saat ini merupakan rentetan penolakan yang telah terjadi sejak dulu. Masih segar dalam ingatan kita, dalam Pilkada DKI 2012 bertaburan spanduk dan stiker tempel yang bertuliskan "Jokowi Yes Ahok No", disini sosok Ahok yang tidak diinginkan. Ketika Jokowi menang Pilpres 2014 dan Ahok otomatis maju jadi gubernur pengganti, terjadi juga penolakan massal, demo dilakukan berkali-kali, ungkapan "Umat Islam Jakarta Tolak Ahok Jadi Gubernur" dipampang banyak diberbagai sudut kota. Bahkan upaya mengusung gubernur tandingan dilakukan oleh sekelompok orang meski semua upaya tersebut lama-kelamaan surut dan hilang. Saat ini jelang Pilkada DKI 2017, penolakan Ahok tetap dilancarkan dalam banyak cara, termasuk demo besar-besaran yang dipicu oleh sebaran vidio Buni Yani yang berdurasi 30 detik tadi. Dalam permulaan Pilkada DKI kali ini, ketakberterimaan pada Ahok dikalimatkan dengan "Mau Nomor 1 atau 3 Tidak Apa-Apa, Asalkan Bukan Nomor 2 (Ahok)".
Kasus Babel
Bahkan jika melihat agak kebelakang, pemilihan gubernur Babel tahun 2007 Ahok kalah dengan selisih kurang dari 2%, kemenangan oleh Eko Maulana Ali (35% perolehan). Pada saat itu, Eko yang memiliki posisi penting pada ormas Barindo (Barisan Indonesia) yang dengan lihai memanfaatkannya semaksimal mungkin dalam politiknya. Barindo berperan besar atas kemenangan Eko untuk meng-kandas-kan Ahok selama kampanye-pemilu. Eko maju bersama Demokrat, partainya Susilo Bambang Yudhoyono yang pada saat itu presiden, bersama tiga partai Islam lainnya (PKS, PBB, PAN).
Eko yang merupakan pensiunan TNI AL dan seorang politisi senior. (Eko) bersama Barindo secara agresif melakukan serangan terhadap lawan, memakai isu agama dan anti etnis, dimana Kristen dan Cina diarahkan kepada lawan terkuatnya, Ahok. Ahok seorang beragama Kristen Protestan dan ber-etnis Cina/Tingkok dikenal sebagai tokoh muda yang giat melawan korupsi dan berupaya pemerintahan yang bersih dan meningkatkan layanan publik. Pada saat itu nama Ahok mulai melejit, masuk pada majalah Tempo sebagai 10 orang "Mengubah Indonesia", oleh sebuah LSM mengendorsnya sebagai model pejabat bersih dan transparan.
Dalam upaya mengubur nama Ahok yang mulai melejit, Eko secara terbuka menghimbau untuk memilih gubernur Muslim, kelompoknya makin gencar menebarkan slogan kampanye "Lebih Baik Makan Babi daripada Memilih seorang Kafir" melalui pamflet-pamflet yang  ditempelkan pada masjid. Dengan dukungan Eko pula, para imam diminta menyampaikan menolak memberi dukungan politik kepada non-muslim, beberapa tokoh ulama terkenal bahkan membuat fatwa larangan. Dikemudian waktu, ternyata cara-cara Eko ini diwariskan oleh Hundarni Rani dalam kompetisi yang sama, Meski dipublik ia tampil menyalahkan cara Eko tersebut.
'Barindo' menjegal Ahok
Dalam aksinya, secara massif Barindo melakukan: politik uang, kampanye isu SARA, membuat tekanan pada kubu lawan bahkan menebarkan isu ancaman sadis. Barindo juga diduga kuat melakukan kolaborasi dengan kelompok Islam tertentu dengan menunggangi masjid-masjid dan para ulama sebagai agen suksesi politik.