KFC, Rowndivision, Starbucks, Adidas tak asinglah kita dari nama-nama itu. Memang kita ini secara tak sadar sedang membumikan sesuatu yang asing. Bukan suatu yang mengherankan adanya. Pun kita diapit oleh sekeliling dengan barang-barang itu.Â
Mulai dari: sandang,pangan,papan, budaya, dan anak cucunya mulai dikuasai produk asing. Meskipun produk dalam negeri pun masih ada yang bersaing,walaupun dengan megap-megap.
Suatu kebanggaan tersendiri jika memakai produk asing. Sulit untuk membantah itu,karena produk asing terasa dekat sekali dengan kehidupan kita. Di era sekarang memang modernisasi dilakukan secara komprehensif mencakup aspek kehidupan kita.Â
Lewat itu budaya asing mulai masuk merangsek hingga memenuhi sekeliling. Tetapi modernisasi memberi pada kita pilihan,untuk membentuk suatu budaya baru (impor budaya asing),atau bertahan dengan budaya sendiri ditengah-tengah bising keterbukaan zaman.
Dari kedua pilihan itu,mana yang lebih cenderung mengarah pada kondisi sekarang?. Mari menelaah hal menarik ini. Kita mulai saja dengan pertanyaan,kapan terakhir kali kita menyaksikan pertunjukan wayang,ludruk,atau pentas kesenian lain?? Kapan terakhir kali kita bepergian dengan busana batik??
Selamat untuk yang masih aktif mengapresiasi produk kebudayaan daerah,syukur bisa terlibat. Saya mencoba bicara dari dan untuk millenial dalam tulisan ini. Kita sebagai millenial harus sesegera mungkin membumikan kembali kebudayaan atau identitas daerah kita atau kalau lebih luas bangsa kita. Mulai dari yang terkecil ,mari kita menghadap pada kaca dirumah.Â
Lihat apakah rambut kita ingin meniru milik orang asing,lalu lihat muka kita ini apakah tak lebih baik dari milik asing. Muka muka dari Sabang sampai Merauke dengan ciri khas dan daya tarik sendiri-sendiri. Lalu apa lagi yang memantik gundah kita?.
Setelah selesai memelototi wajah kita,mari turun ke pakaian,lihat seberapa sering kita bangga pada baju daerah kita. Jangan ketika hal yang kita abaikan ini diambil asing baru kita menyumpah serapahi sang pengambil. Baru berteriak ganyang ini itulah,mengutip kata bung Karno lah,jangan macam begitu lahh. Hal hal kecil ini jika masih berkeberatan,mari alihkan perhatian dan beranjak dari kaca rumah menuju keseharian luar rumah.
Masihkah kelaparan perut mengantarkan kita kepada makanan khas daerah,atau barangkali malah menuntun kita pada makanan khas negara lain. Cobalah kita sebagai millenial jangan sampai salah memilih pilihan yang disiapkan oleh medernisasi ini.Â
Beramai ramai mari kembali pada makanan rumah,sesekali tak apalah mencicip makanan luar,untuk sekedar tahu keberagaman dunia. Setelah kelar makan,mari menyoal pendekatan sosial kita dalam keseharian,bahasa apa yang kita gunakan untuk bercengkrama?
Sudahkah bahasa daerah masing-masing?,bukan berarti mengesampingkan bahasa Indonesia,tapi bukankah bahasa Indonesia berdiri dengan kaki kaki bahasa daerah??. Bukankah bahasa Indonesia adalah jalan tengah,dan pemersatu dari beragamnya bahasa dari Sabang sampai Merauke. Katanya kita ini harapan di 2045,apakah ingin kita melihat semua ini jadi kenangan di 2024. Jika tak mau,berarti masih waras kita.