Mohon tunggu...
Anom Farid
Anom Farid Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Takut Kecoa.\r\n\r\nTwitter: @anomfarid\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

06//Maskot Jakarta (Periplaneta Bunius)

17 Juli 2012   20:10 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:51 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Selasa. Hari yang cerah. Abyad yang kemarin menggantikan Madzhab, sekarang harus digantikan oleh sosok yang biasa dipanggil Maruz.

Setelah beberapa hari matahari malu-malu untuk berteriak. Kopt, Modd dan Vleta terbang meliuk-liuk di udara, manuver, menukik, menantang udara hangat yang mereka rindukan sejak semalam, sewaktu mereka bertemu dengan Kunang-kunang.

Setelah bermain-main di atas beberapa makam. Kaki mereka saling bersinggungan, saling berpegangan, terbang menuju satu arah, menuju pohon Buni yang buahnya masih saja melimpah, meskipun sudah dimakan setiap hari oleh mereka, juga  oleh burung-burung pemakan buah serta kelelawar pada waktu malam. Modd dan Vleta saling memandang.

Dari arah yg tak terduga, muncul seperti petir yang keluar dari balik awan, namun hitam seperti bayangan, seperti layang-layang yang menghalangi cahaya matahari. Secara tiba-tiba Maskot Ibukota yang kurang terkenal, maskot yang tak pernah dipuja, yang hampir punah dan telah bermigrasi dari Jakarta ke kepulauan seribu, hadir begitu saja untuk memangsa mereka, mengganggu hari yang cukup hangat.

Vleta yang melihat Elang itu pertama kali,

“Aaaa, burung besaaar!” teriak Vleta

“Kwehehihihi” tak ada hal yang lebih menegangkan di mata Modd, kecuali bertemu bulan.

Ketiganya kocar-kacir, menuju pohon buni untuk bersembunyi. Sementara Elang Bondol yang bernama Nagora itu teguh terus mematuk-matuk di udara. Dengan dua kakinya yang berkuku tajam condong ke depan, berusaha menerkam mereka bertiga, tapi tak kunjung kena.

Mereka nyusruk masuk ke dedaunan pohon buni, disusul Nagora yang nampak kelaparan, karena persediaan makanan Elang Bondol di Jakarta sudah tak tersedia di sungai atau danau, semua airnya telah tercemar.

Nagora masuk sambil mematuk-matuk, melompat-lompat di dahan, merasa percaya diri bakal mendapatkan makanan. Sementara, Kopt, Modd & Vleta tak merasa tersudut, mereka terus merayap tak karuan mengelilingi dahan-dahan, membuat pusing, hingga Nagora kelelahan.

Akhirnya Nagora menyerah, dia beristirahat sambil ngos-ngosan. Bulu kepala dan bulu lehernya yang putih nampak acak-acakan, dan basah karena berkeringat. Mereka bertiga mengintip dari balik dahan kecil, merasa kasihan.

“Ayo kita datangi, dia!” ide Kopt membuat Modd & Vleta menganga.

Kopt jadi lebih berani sejak pindah ke pohon buni, sejak tragedi kematian Donn dan Noth yang pelan-pelan telah dia lupakan. Sejak bertemu Kelelawar, Burung-burung pemakan buah, Semut hitam dan semut Rang-rang, Jangkrik dan Kunang-kunang, teman-teman sesama serangga.

“Yang benar saja! Barusan dia hampir memakan kita, Kopt!” kata Vleta

“Kwehehihihi, siapa tahu dia bisa jadi teman” ujar Modd, terdengar asal ngomong.

Tapi Kopt tak menggubrisnya, dia langsung sigap merayap, muncul dari balik dahan, berjalan ke depan meninggalkan dua temannya, untuk berhadapan langsung dengan Nagora yang kelaparan. Sayap Kopt mengepak cepat, antenanya bergetar, Kopt tegang tak terkira.

“Daging kami tidak enak! Beneran, deh!” Kopt berusaha meracuni pikiran si Elang Bondol.

“Daripada tidak ada sama sekali, kenapa, nggak! Khekekeke” masih ngos-ngosan, Nagora berusaha menjawab dengan suara tetap berwibawa.

“Memangnya kamu makan Kecoa?” tanya Kopt penasaran

“Tidak, saya makan ikan atau udang dari sungai dan danau yang ada” katanya bangga.

“Terus kenapa kamu mau makan kami?”

“Daripada tidak ada sama sekali, kenapa nggak! Khakakaka” Nagora mengulang jawaban, sepertinya memang tidak ada lagi pilihan makanan di matanya yang setajam itu.

“Ikan dan udang ya, hmmm… Harus hidup?”

“Tidak juga, tapi lebih enak kalau hidup”

“Minta Ibil saja… Kwehehihihi” Modd menyusul Kopt, muncul agak jauh di belakang, jaga jarak dari kematian yang mendekat.

“Siapa, Ibil?!” Tanya Nagora.

Ibil mendengar suara Modd meski dari kejauhan, sangat jauh. Tapi tak berapa lama kemudian, dia muncul begitu saja, duduk tenang di dahan, dengan kaki menjuntai ke bawah, di antara Nagora dan Kopt.

Seketika Nagora melonjak ke belakang, sayap kekarnya mengepak-ngepak tak beraturan, karena dia hampir saja jatuh, kaget kedatangan tamu yang tiba-tiba muncul seperti hantu. Kakinya perlahan beringsut ke kanan, menjaga jarak, siap melarikan diri dari Ibil yang pada waktu itu seluruhnya berwarna merah. Ibil menahan murka untuk yang kedua kalinya.

“Jangan pergi dulu” ucap Ibil tenang, sambil menatap mata Nagora yang tajamnya serupa.

Angin menyibak dedaunan pohon Buni, garis cahaya masuk memeluk Ibil. Seperti Prisma dan teori Optika, Ibil yang terkena cahaya terbelah menjadi delapan, duduk terpisah berbeda dahan, dengan warna tubuh yang berbeda. Merah, kuning, hijau dan lainnya. Angin berhenti melintas, dedaunan kembali mengakrabkan diri. Cahaya yang barusan menerobos masuk, minggat dengan sangat cepat. Ibil seperti semula, hanya ada satu.

Meskipun banyak burung yang tunduk kepadanya, karena kegagahan dan tenaganya yang buas, dengan melihat paruh dan cakarnya saja semua burung pasti takut. Mental pemenang selalu membuatnya percaya diri, dan selalu merasa tak terkalahkan itu tiba-tiba pergi tanpa pamit. Entah kenapa, kali ini Nagora benar-benar kaku, tak bisa berkata apa-apa, tak bisa bertindak apa-apa, tegang bertemu Ibil yang sangat mirip manusia, karena memang hanya manusia saja satu-satunya mahluk di seantero bumi ini yang paling dia takuti, meskipun dia burung pemberani dan tangguh.

Cengkeraman kakinya mendadak melunak, merenggang dari dahan yang jadi pijakan. Cuma lirikan matanya saja yg bergerak menguat. Helai-helai bulu terluar yang tumbuh di badannya melambai diusap angin pelan, yang memaksa menyelinap melalui ranting dan dedaunan yang enggan bergerak. Sementara Kopt merasa lega dengan kehadiran Ibil. Modd dan Vleta akhirnya berani tak berjarak, berdiri di belakang Kopt.

“Aku bawakan makanan buatmu” kata Ibil, sambil meletakkan secara perlahan tiga ekor Udang mentah yang sengaja dia ambil dari lemari es di rumah Nasyrah.

Dia langsung mematuk dan menelan ketiganya sekaligus. Mukanya gembira. Warna merah pada tubuh Ibil berangsur hilang, berganti dengan warna hijau muda, kuning telur dan magenta. Sebenarnya, Ibil amat kagum terhadap kegagahan Maskot Jakarta. Seringkali dia berpapasan pada waktu bermain-main di dekat awan, namun baru kali ini Ibil mendapat kesempatan untuk berbicara sedekat ini.

“Khakakaka… Enak!” Nagora melupakan ketegangannya, rasa laparnya lenyap untuk waktu sekejap.

“Di belakang sana pernah kulihat ada sebuah situ… Danau kecil yang permukaan airnya ditumbuhi eceng gondok, sepertinya tempat tinggal banyak ikan” ujar Ibil sambil tersenyum.

Kepala Nagora melenggok menoleh keluar, melihat harapan dari balik dedaunan pohon Buni, kemudian dia manggut-manggut, berterima kasih. Wibawa dan rasa kebanggaannya dia kesampingkan untuk sementara.

“Jangan ganggu mereka! Semua binatang yang berada di sini bersahabat, saling bantu, tidak saling buru, karena kebanyakan yang hidup disini cuma memakan buah-buahan! Kecuali orang-orang yang sudah berbaring di bawah sana, yang selagi hidup memakan segala, yang menjadikan perut-perutnya sebagai kuburan segala jenis yang bernyawa” ujar Ibil, menatap sekilas gundukan-gundukan tanah.

Seperti biasa, Ibil lebih sering memilih untuk menghilang setelah berbincang.

“Coba ini, kwehehihihi” ujar modd, menyodorkan beberapa buah buni masak yang barusan dipetiknya.

“Buah?! Aku tidak makan buah!”

“Coba saja dulu, sahihihihi” kata Vleta.

Ternyata suara betina lebih bertenaga untuk menundukkan Nagora yang penuh bangga dan wibawa itu. Dengan paruhnya, dia mematuk dan mengulum ragu buah buni yang disodorkan Modd di atas dahan.

“Hmmm… Lumayan!” ujar Nagora. “Tapi aku tetap memilih untuk makan Ikan dan Udang, Khakakaka” katanya melanjutkan, sambil mengepak-ngepak, melepaskan cengkeraman kakinya dari dahan, mengangkat tubuhnya yang gagah, menerobos ranting dan dedaunan, menuju tempat yang baru saja diberitahu Ibil.

“Kopt, yang barusan, mirip dengan yang waktu itu ya, yang tergantung di depan dalam rumah kosong itu, kwehehihihi”

“Hah, yang mana?!” tanya Kopt.

Maksud Modd adalah Burung Garuda yang terpajang di depan kelas dalam sekolah yang sempat mereka kunjungi waktu itu (di buku pertama). Kopt pikun, kini umur mereka beranjak 30 minggu, dan mereka masih belum kawin, untuk memiliki keturunan, untuk meneruskan perjalanan, menurunkan kisah keturunan pada anak-anak mereka kelak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun