Malam ketiga. Cahaya di bawah remang-remang, padahal bulan tak nampak secuil pun, langit sangat gelap dan makam-makam tetaplah senyap. Cahaya dari tubuh Ibil pun belum ada di sana menemani mereka. Udara terasa lebih dingin mengusap tubuh.
Tempat baru, dunia baru, membuat mereka selalu ingin tahu. Kopt, Modd dan Vleta terbang dari puncak daun tertinggi pohon Buni, langsung menuju kelap-kelip cahaya misterius yang masih belum mereka ketahui asal muasalnya.
Memang, cahayanya indah terlihat dari puncak pohon Buni. Cahaya-cahaya itu berkumpul, bergerombol, bergulung, terbang berputar seperti bola pijar. Bintik-bintik cahaya itu berterbangan bersebelahan tanpa sungkan. Mereka – Kopt, Modd dan Vleta semakin mendekat.
Tiga Kecoa terbang di atas bintik-bintik cahaya yang berterbangan sambil bernyanyi, seperti yang biasa dilakukan oleh Modd atau seperti yang sering dikumandangkan oleh rombongan Semut selagi bahu membahu membawa makanan.
Ku ku ku ku
Kunang-kunang
Ku lebih menyukai kegelapan
Ku kerlap-kerlip terang benderang
Mencari jodoh dengan cahaya
Karena cahaya memudahkan jalanku,
Jalan kemana pun, menuju siapa pun
Ku ku Kunang-kunang
Ku lebih menyukai kegelapan
Karena gelap, ku ada ku senang
Ku ku Kunang-kunang
“Mereka terbang seperti kita!” ujar Kopt yang terbang bersebelahan dengan Modd sambil menikmati lagu yang terdengar syahdu.
“Ku, ku, ku, nang, nang, nang, nang, ku, ku, kwehehihihi” Modd merasa lagunya layak untuk dinyanyikan ulang, dan dia menganggap Kunang-kunang masih sebangsa dengannya, hanya ukurannya saja yang jauh lebih kecil, tidak lebih besar dari semut Rang-rang yang sempat bertemu dengannya di pohon Buni.
Vleta menyusul, “Pantatnya mengeluarkan cahaya? Sahihihihi, bagus!”
Tak perlu berkenalan, mereka langsung tahu kalau bintik-bintik cahaya itu berasal dari serangga bernama Kunang-kunang, karena lagu yang dikumandangkan mereka.
Kopt, Modd dan Vleta sangat gembira dan bersuka cita bisa bertemu serangga lain di tempat tinggal baru, setelah kemarin bertemu dengan beberapa Jangkrik.
Ada mitos di beberapa tempat, kalau Kunang-kunang dianggap sebagai kuku yang lepas dari jemari orang-orang yang sudah mati. Percaya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H