Besarnya anggaran belanja pegawai menyebabkan sejumlah daerah pemekaran nyaris mengalami kebangkrutan. Undang-undang Pemerintahan Daerah dituding menjadi biang kerok.
Perkembangan daerah hasil pemekaran menarik perhatian Hadi Prayitno. Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran ini melihat kecenderungan sejumlah daerah yang memilih mandiri justru tidak tumbuh berkembang, malah berjalan terseokseok. Kegagalan daerah hasil pemekaran ini menurut Hadi, telah nampak sejak awal. “Kegagalan pembangunan daerah dipicu besarnya beban anggaran belanja pegawai,” ujarnya.
Menurutnya, pada 2012 terdapat 291 kabupaten/ kota yang memproyeksikan belanja pegawai lebih dari 50 persen. Jumlah ini meningkat signifikan sebesar 135 persen dibanding tahun 2011 yang mencapai 124 daerah. Dari jumlah tersebut, terdapat 11 kab/ kota memiliki belanja pegawai di atas 70 persen dari anggaran pembangunannya
Ia menengarai penetapan kenaikan gaji pegawai secara berkala, sejak 2007 sampai 2011, antara 5-15 persen, serta adanya gaji ke-13 menjadi salah satu pemicu borosnya APBD. Rekrutmen PNS secara terusmenerus tanpa mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah, juga menambah beban anggaran daerah.
Hadi menuding UU Nomor 32 Tahun 2004, yang mengatur desentralisasi, sebagai biang kerok. Beleid itu membebankan 70 persen anggaran pelayanan publik kepada pemerintah daerah. Padahal, anggaran yang mengucur ke seluruh pemda, secara agregat, cuma 30 persen dari APBN. “Bagaimana mereka mau menjalankan pembangunan,” ujarnya.
Penilaian terhadap kegagalan kinerja pembangunan daerah tak hanya di daerah pemekaran. Amat sedikit daerah yang tercatat berhasil membangun daerahnya.
Keadaan ini dinilai menunjukkan fungsi Pemda untuk memberikan pemenuhan pelayanan publik berkualitas tidak akan pernah mampu diwujudkan, karena sisa anggaran yang masih tersedia untuk belanja program kegiatan hanya sebesar 9 sampai 14 persen.
Laporan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) juga memberi catatan mengejutkan. Mayoritas kabupaten/kota hasil pemekaran tak memiliki kinerja yang baik. Dilihat dari aspek penting pembangunan daerah, seperti pendidikan, kesehatan dan infrastruktur berupa air bersih, jalan, serta listrik tak terpenuhi dengan baik. Daerah pemekaran juga lemah dalam parameter ekonomi, seperti pendapatan perkapita, tingkat pertumbuhan ekonomi, dan tingginya angka pengangguran.
Yang juga krusial, menurut Direktur Eksekutif KPPOD Agung Pambudi, daya saing daerah pemekaran lemah jika dilihat dari iklim investasi. Ia menuding hal ini akibat pemekaran daerah yang tak diawali studi kelayakan, termasuk pertimbangan dari PPOD yang belum diberikan, namun UU-nya sudah dibahas DPR. “Itu menunjukkan pemekaran lebih didominasi kehendak politis partai tertentu,” ujarnya, Selasa pekan lalu.
Soal sengkarut daerah pemekaran ini, dibenarkan pihak Kementerian Dalam Negeri. Menurut Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, Raydonnyzar Moenek, pembangunan sejumlah daerah pemekaran diakui gagal karena tak mampu meningkatkan kesejahteraan, penyediaan kebutuhan dasar serta mempercepat pelayanan publik.
Evaluasi soal pemekaran itu menjadi dasar Kemendagri mengajukan moratorium pemekaran kepada Senayan. Dilihat dari fiskal daerah, diakui Donny, dari 524 kabupaten-kota terdapat 297 kabupaten-kota yang membelanjakan APBD untuk pegawai di atas 50-73 persen. “Dari 205 kabupaten-kota, dalam pemekaran pada 1999 – 2011, dari 57 daerah berusia 3 tahun yang kita evaluasi, kami temukan 78 persen gagal. Hanya 22 persen saja yang berhasil.”