Anom B Prasetyo*
Brunei Darussalam menandai babak baru dalam sistem hukum pidana negaranya. Sultan Brunei, Hassanal Bolkiah, mengumumkan berlakunya hukum syariat di negara monarki Islam ini, awal Mei silam. Hassanal Bolkiah tanpa ragu menyebut penerapan hukum syariat sebagai 'prestasi besar’ yang telah diraih Brunei.
Keputusan menerapkan hukum syariat menurut dia tidak untuk senang-senang, tapi demi menaati perintah Allah seperti tertulis dalam Al Quran. Penerapan hukum ini, dikatakan Jaksa Agung Brunei Datin Hjh Hayati, melewati proses yang sangat ketat dan kompleks. Langkah ini menjadikan Brunei sebagai negara pertama di Asia Tenggara yang menerapkan hukum syariat.
Sekitar 55 peraturan tercantum di dalamnya. Diberlakukan secara bertahap, tahap pertama mengatur masalah keagamaan, seperti meninggalkan shalat Jumat, tidak menghormati bulan Ramadhan, dan menghasut orang untuk bercerai. Sanksi pada tahap ini berupa denda, penjara, atau denda dan penjara.
Setelah berjalan selama 12 bulan, tahap kedua diberlakukan. Tahap berlaku sanksi fisik, seperti cambuk atau pemotongan bagian anggota tubuh, yakni tangan atau kaki. Tahap ketiga berlaku setelah 24 bulan penerapan hukum tahap pertama, di mana hukuman mati dengan cara dirajam (dilempar batu hingga mati) dikenakan untuk pelaku kejahatan pemerkosaan, hubungan homoseksual, zina dan sodomi.
Diskriminatif
Hukuman berlaku untuk semua warga negara Brunei, termasuk mereka yang bukan pemeluk Islam. Dua pertiga warga negara berpenduduk 440 ribu ini beretnis Melayu Islam, dan sepertiganya memeluk Buddha, Kristen, Katholik, dan kepercayaan nenek moyang. Sebagian warga minoritas beretnis Tionghoa, dan mereka berperan amat penting dalam sektor perekonomian Brunei.
Kebijakan sultan yang telah berkuasa selama 47 tahun itu, tak diragukan lagi, memantik kekhawatiran kalangan minoritas. Selain puluhan ribu etnis Tionghoa Brunei, kalangan minoritas termasuk para pekerja migran di sektor perminyakan yang berasal dari Eropa. Lebih dari 30 ribu pekerja migran asal Filipina, termasuk di dalamnya.
Kalangan pegiat hak asasi manusia mengecam keputusan ini. Amnesty International, misalnya, menilai legalitas hukum syariat akan membawa Brunei kembali ke jaman kegelapan. Dalam pernyataan resminya, Amnesty menyebut langkah ini ejekan terhadap komitmen hak asasi manusia.
Sebagaimana Amnesty International, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan agar Brunei segera mencabut hukum ini. Sebelumnya, pada awal April lalu, PBB mendesak Brunei agar menunda penerapannya. Penundaan dimaksudkan agar hukum syariat ditinjau kembali, guna memastikan apakah memenuhi standar hak asasi manusia internasional.
Dalam hukum internasional, merajam orang sampai mati merupakan penyiksaan yang sangat kejam. Selain tak manusiawi, hukum rajam merendahkan harkat manusia, karena itu dilarang dalam hukum internasional. Penerapan hukum ini potensial mendorong kekerasan lebih lanjut, termasuk diskriminasi terhadap perempuan.