Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Menagih Kiprah Bank Syariah

22 Mei 2012   03:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:59 769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13376608421855990860

[caption id="attachment_189699" align="aligncenter" width="320" caption="ilustrasi/admin(KOMPAS.com)"][/caption] Meski tumbuh dengan pesat, kontribusi perbankan syariah pada perekonomian nasional dinilai belum signifikan. Kecenderungannya masih membidik nasabah makmur. Arviyan Arifin selalu bersemangat bicara tentang ketangguhan bank syariah menghadapi krisis. Krisis keuangan yang menghantam Asia pada 1997 menjadi catatan penting bagi Direktur Utama Bank Muamalat ini, membikin rontok hampir 60 industri perbankan nasional, krisis tak membuat perbankan yang kini ia pimpin ikut tenggelam. “Dari situlah orang menilai ada bank yang tahan krisis,” kata Arviyan, Selasa pekan lalu. Industri perbankan syariah mengalami tren peningkatan signifikan di Indonesia. Perkembangan bisnis keuangan berslogan antiriba ini mencapai rata rata 15-20 persen dari tahun ke tahun. Bank syariah di Indonesia membukukan peningkatan yang terbilang mencengangkan. Dari 1992, grafik menunjukkan tren positif, dan bertengger di 35 persen sejak 2000 hingga 2011. “Ini luar biasa,” ujar pakar ekonomi syariah M Amin Suma. Rezeki nomplok akibat meroketnya transaksi di perbankan syariah juga mengalir ke pundipundi Bank Muamalat. Dalam tiga tahun terakhir, bank syariah pertama di Indonesia ini membukukan keuntungan berlipat dari biasanya. Jika pada 2008 total transaksi terhitung pada kisaran 12 triliun, angka itu meningkat pesat menjadi 32 triliun pada 2011. Pertumbuhan selama 3 tahun terakhir ini, diakui Arviyan lebih besar dari pertumbuhan selama 17 tahun. Perkembangan serupa juga tampak di sejumlah negara. Di Malaysia, perbankan syariah menyumbang besar perekonomian negeri jiran itu. Demikian halnya di Mesir dan Pakistan. Arviyan menyatakan tak ada perbedaan signifikan dalam pengelolaan perbankan syariah, baik di Indonesia maupun mancanegara. Perbankan syariah memiliki basis yang sama karena mengacu pada asas-asas syariah, akad jual beli dengan prosentase yang jelas sejak awal. Hanya saja, perbankan syariah di sejumlah negara itu diakui lebih maju karena lebih dulu ekspansi dan memiliki keunggulan produk serta lebih beragam. Di Malaysia, misalnya, perbankan syariah sudah memiliki ratusan produk layanan perbankan. Berkembangnya beragam produk ini dipicu oleh kebutuhan masyarakat pengguna jasa perbankan. “Produk-produknya lebih variatif dibanding kita,” ujar Arviyan. Perbedaan juga tampak pada regulasi yang berlaku, baik dari perizinan maupun dari kebijakan pembukaan cabang. Di Indonesia, pembukaan cabang bank syariah bisa dilakukan kapan saja. Hal ini menjadikan bank raksasa macam HSBC kepincut membuka layanan bank syariah. Dikhawatirkan, bank-bank asing besar lain juga akan masuk dan kemudian dominan di industri perbankan syariah Indonesia. “Mestinya dibedakan badan hukumnya. Kalau HSBC syariah, misalnya, itu akan mengikuti induknya. Harus diubah aturannya,” kata Wakil Ketua Komisi XI Achsanul Qosasi. Perkembangan ini ditengarai ekonom Universitas Gadjah Mada, Revrisond Baswir, sebagai fenomena perekonomian global. Sistem perbankan syariah yang sonder spekulasi membuat industri ini dinilai lebih stabil. Kendati dituding tak ada perbedaan dalam transaksinya, perbankan syariah telah menjadi alternatif dari sistem perbankan konvensional yang kapitalis dan sarat riba dalam transaksinya. “Kalau bicara transaksi, produknya jelas beda,” ujar Revrisond. Namun demikian, keuntungan besar yang dipanen perbankan syariah dinilai tak banyak membawa manfaat bagi masyarakat. Sumbangannya terhadap perekonomian nasional masih jauh tertinggal dibanding bank konvensional. Kecenderungan perbankan syariah yang lebih peduli pada nasabah makmur juga membuat industri yang berlabel dikelola secara syariah ini menuai banyak kritik. Klaim perbankan syariah yang hendak menganulir riba dalam transasksinya dinilai peneliti Baitul Mal Nusantara Zaim Saidi sekadar merek dagang. Ia menuding tak ada perbedaan antara sistem dalam perbankan syariah dan bank konvensional, keduanya sama-sama perusahaan. Pemakaian istilah syariah menurut dia hanya agar dikenal sebagai bank umat Islam, yang diketahui merupakan pasar besar di negeri ini. “Kecurangan dalam manipulasinya tidak berbeda,” tegas Zaim. Upaya perbankan syariah untuk meratakan modal, dengan demikian meratakan kesejahteraan, bagi dia tak lebih pepesan kosong, karena bank-bank syariah terbukti hanya peduli pada perusahaan-perusahaan besar. “Banking is holding,” katanya. Baik perbankan syariah maupun konvensional bagi dia sama-sama praktik riba, yang potensial menjadi kolaps. Karena itu, melalui lembaganya, ia mengkampanyekan kembali pada transaksi dengan dinar (emas) dan dirham (perak), yang lebih menjamin keadilan dan menghindarkan riba. Sumbangan perbankan syariah diakui Arviyan dari sisi persentase masih di kisaran 5 persen. Peran perbankan syariah yang rata-rata mengelola sektor riil dinilainya menjadi sektor penting yang dapat mendongkrak perekonomian nasional. Demikian halnya dengan cabang-cabangnya di daerah, dengan jaringan baitul mal wattamwil yang bergerak pada jasa pinjaman usaha, diakui berperan membangkitkan ekonomi rakyat. Kecenderungan perbankan syariah pada nasabah makmur diakui Achsanul menjadi keunikan bank syariah. Sebab, kata dia, bicara murabahah yang berbasis pada kredit dan modal kerja, perbankan syariah cenderung berhati-hati dalam memilih nasabah, sehingga hanya perusahaan-perusahaan besar dan settle yang lebih mudah mendapatkan kredit. Selain itu, pasar yang begitu kompetitif tak membuat bank syariah berupaya membuka ceruk pasar baru. “Bank syariah tak pernah berusaha membuka pasar baru.” Achsanul menyayangkan perbankan syariah yang jarang sekali melakukan pelatihan atau mendidik nasabah dan hanya mengambil alih nasabah bank konvensional. Karena persaingan perbankan yang begitu besar, jalan instan dengan cara melakukan take over menjadi tak terhindarkan.[] Anom B Prasetyo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun