Bagaimana para mahasiswa ditarik ke dalam gerakan Negara Islam Indonesia?
NENI ROSIDA seumur hidup tak akan melupakan peristiwa siang itu. Seorang temannya di kampus, Esti, mengajaknya menemui seorang pria.
Esti hanya menyebut hendak menemui seorang kawan SMA yang sudah lama tak bersua. Hanya main saja, kata Esti.
Tak biasanya Esti berbuat demikian, pikirnya. Neni dan Esti berkawan baik sejak semester awal. Menginjak semester empat, keduanya aktif di organisasi intrakampus. Jadi aktivis, kata orang. Keduanya kerap cerita terusterang, bahkan ihwal pribadi masingmasing. “Dia bestfriend aku, kami sering jalan bareng,” kata Neni kepada MaJEMUK, akhir Agustus silam.
Rasanya ada yang ditutup-tutupi Esti, Neni penasaran. Meski tak jauh dari kampus, tak biasa pula Esti menjemputnya ke asrama. Tak mau karibnya kecewa, Neni mengiayakan saja ajakan karibnya yang tomboi itu.
Di sebuah tempat di bilangan Lenteng Agung, Jakarta Selatan, mereka bertemu. Teman SMA Esti rupanya seorang pria biasa—seperti pria kebanyakan. Tapi Neni terkesan, ia murah senyum, ramah, dan pandai bergaul.
Pria berkulit coklat itu rupanya juga kocak dan berwawasan luas. Keduanya amat terkesan saat ia cerita tentang masalah kegamaan. Sebuah tema yang memang disukai Neni sejak jadi mahasiswi. “Kebetulan, saat itu aku sedang tertarik pada banyak hal. Aku juga lagi butuh pegangan kokoh pada agama yang aku yakini,” tuturnya menerawang.
Tahu bahwa Neni terkesan dengan ceritanya, pria bernama Yunus itu kemudian bilang bahwa ia punya seorang kakak senior. Yunus menyebut seniornya seorang mahasiswa cemerlang dalam pemikiran keagamaan. Hal itu membawanya menjadi peserta pertukaran pelajar di Eropa. Yunus juga menawari Neni dan Esti untuk bertemu seniornya itu. “Gimana, kalian tertarik nggak ketemu dia?” ajak Yunus. Akhirnya, mereka bertiga sepakat untuk bertemu lagi dua hari berikutnya.
Tanpa pikir panjang, dengan dukungan Esti, Neni tertarik oleh ajakan pria yang baru dikenalnya itu. Neni sebelumnya memang sempat cerita kepada Esti bahwa ia “sedang mencari.” Mungkin ini jawaban dari Tuhan, pikir Neni.
“Wah, saat itu saya tertarik sekali. Aku pada intinya berminat, karena waktu itu dalam diriku lagi ada pertanyaan tentang bagaimana beragama yang benar, makanya aku tertarik sekali.”
***