Garin Nugroho mengangkat kisah nyata uskup pribumi pertama, Mgr. Albertus Soegijapranata, ke layar perak. Menjadi kritik bagi pemimpin masa kini.
Pria berkacamata minus itu duduk tenang di antara relawan pejuang yang tengah menyiapkan nasi bungkus untuk desa sekitar Yogyakarta di awal masa gerilya. Ia berpesan agar penduduk dan pejuang lebih dulu merasa kenyang ketimbang para imam gereja. “Para imam sebaiknya lebih dulu merasa lapar ketimbang umatnya,” tutur Monsinyur Albertus Soegijapranata kepada Lantip, pimpinan pemuda pejuang gerilya di Yogyakarta.
Pada adegan berikutnya, kepada Lantip yang datang tergopoh- gopoh melihat kenyataan pahit datangnya agresi Belanda II, dengan tegas ia berpesan agar ikut mengobarkan perang gerilya yang dimaklumatkan Jenderal Soedirman.” Ini saatnya kita terpanggil mempertahankan hak Allah dan hak bangsa kita. Kemanusiaan itu satu, kendati berbeda bangsa, asal usul, dan ragamnya. Semua merupakan satu keluarga besar kemanusiaan.”
Penggalan menyentuh itu menjadi bagian dari Soegija, film besutan sineas kenamaan Garin Nugroho yang dijadwalkan hadir di layar lebar mulai 7 Juni mendatang. Soegija bercerita tentang perjuangan Monsinyur (Uskup) Albertus Soegijapranata melawan penjajah Jepang dan Belanda saat republik dibekap Perang Pasifik pada 1940-1949.
Jika Proklamator Soekarno- Hatta bergerak di wilayah politik praktis dalam pentas politik masa itu, Romo Kanjeng, panggilan yang diberikan warga kepadanya, bergerak di jalan sunyi dengan menggelorakan semangat nasionalisme Indonesia melalui jalur diplomasi gerejani. Melalui artikel yang ia kirimkan ke media asing, serta surat-menyurat antara dirinya dengan tokoh semacam Sjahrir dan Soekarno, ia berjuang secara silent diplomacy. Ditemani Koster (pembantu uskup) Toegimin, diperankan Butet Kertaradjasa, ia berkeliling Semarang untuk datang ke desa-desa dan mendengar keluhan penduduk di sana.
Di tengah amuk Perang Pasifik yang ikut mengoyak republik, sekuat tenaga ia memandu religiusitas warga dalam perspektif nasionalisme yang humanis. Jejaknya tak pernah dilupakan sebagai motor perundingan damai antara pihak republik dan sekutu, termasuk Belanda dan Jepang di tengah perang lima hari yang mengoyak Semarang. Dengan begitu memikat, Garin berhasil menampilkan sosok Soegija, diperankan sastrawan Nirwan Dewanto, yang mendukung pengorganisasian gerakan pemuda dan pelayanan sosial untuk mendukung kemerdekaan.
Soegija bahkan memindahkan Keuskupan Semarang ke Yogyakarta sebagai dukungannya atas pemindahan ibu kota Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta. Sejarah mencatat jasa besar pria kelahiran Solo, 25 November 1896, ini saat republik yang baru lahir agar segera mendapat pengakuan dunia internasional. Diplomasi yang ia tempuh membuahkan hasil berupa pengakuan Tahta Suci Vatikan atas Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.
Garin memang sutradara yang kenyang pengalaman. Dia telah menyutradarai banyak film bagus dan serius, di antaranya Daun di Atas Bantal, Mata Tertutup, Bulan Tertusuk Ilalang, dan Kisah Sebening Kasih. Kini, untuk pertama kalinya, publik sinema Indonesia bisa menikmati karya sineas kelahiran Yogyakarta, 6 Juni 1961, ini yang paling ngepop dan renyah. Pendekatan sejarah populer, dengan bahasa hari ini, sengaja ia pilih dengan menggabungkan kisah nyata Mgr. Soegijapranata dengan tafsiran kisah-kisah di tengah revolusi yang diambil dari berbagai sumber.
Film yang dibuat dengan latar belakang Yogyakarta dan beberapa kota di Jawa Tengah, antara lain Semarang, Ambarawa, Magelang dan Klaten ini juga didukung pemain asing, dari Belanda dan Jepang. Pelibatan banyak aktor dan aktris asing diakui Garin merupakan usaha menghadirkan situasi multikultur dalam karyanya.
Penggunaan beragam bahasa, Indonesia, Jawa, Inggris, Belanda, Jepang, dan Latin membawa Soegija pada penghargaan Museum Rekor Indonesia (MURI) belum lama ini. “Dalam Soegija, Garin berkisah tentang multikulturalisme,” kata antropolog Moeslim Abdurrahman saat press screening di 21 Setiabudi, Kamis pekan lalu.
Menghidupkan peristiwa di masa revolusi bukanlah perkara mudah. Digagas sejak lima tahun silam, dengan diawali berbagai riset yang panjang dan melelahkan, akhirnya dapat diwujudkan tahun ini. Lamanya proses karena didahului riset mendalam terhadap foto-foto, lokasi, saksisaksi, dan juga sejarah kehidupan masyarakat di masa itu.