Mohon tunggu...
Anom B Prasetyo
Anom B Prasetyo Mohon Tunggu... Peneliti, penulis, editor -

Lahir pada 12 Mei 1983. Penulis dan peneliti. Email: kalibenings@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Agar Publik Tak Gampang Panik

14 Januari 2014   22:39 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_306232" align="alignleft" width="480" caption="Otoritas Jasa Keuangan"][/caption] Pemahaman terhadap literasi keuangan dapat mendongkrak kesejahteraan dan mengurangi kemiskinan. Melindungi publik dari kejahatan serta mendukung stabilitas keuangan. Pemahaman masyarakat Indonesia terhadap produk dan jasa keuangan (literasi keuangan), tercatat masih sangat rendah. Survei Otoritas Jasa Keuangan (OJK), yang digelar tahun ini, menunjukkan fakta mengejutkan. Tingkat melek produk keuangan masyarakat Indonesia sangat memperihatinkan. Sangat banyak masyarakat kita yang kurang memahami produk-produk keuangan. “Tingkat pemanfaatan perbankan sudah 75,28 persen, tapi pemahamannya baru 21,8 persen,” kata Kusumaningtuti S Setiono, Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK, awal Desember silam. Dari enam produk keuangan yang ada, misalnya, baru bank yang cukup dikenal masyarakat. Hasil riset OJK juga menunjukkan, tingkat pemahaman paling rendah terdapat di pasar modal, yakni hanya 3,79 persen. Sedangkan pengambil manfaat dari produk keuangan tersebut, hanya kisaran 0,11 persen. Selebihnya, merata di sejumlah sektor, yakni produk asuransi, pegadaian, dana pensiun, dan sekuritas. Kondisi demikian memacu OJK untuk terus melakukan edukasi dan sosialisasi produk keuangan kepada publik. Rendahnya pengetahuan masyarakat ihwal industri keuangan, berikut produk-produknya, membuat masyarakat mudah terperosok pada produk investasi yang menawarkan marjin tinggi dalam jangka pendek. Fenomena demikian kerap terjadi, dan kerap juga tanpa menghitung risiko. Karena itu, literasi keungan diharapkan tak hanya mengedukasi publik, tapi menjadi upaya meningkatkan akses informasi terhadap penggunaan produk jasa keuangan yang sudah digagas oleh lembaga berwenang. Pada tahun depan, sebagai yang telah direncanakan, OJK membidik ibu rumah tangga dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Menurut Kusumaningtuti, ibu rumah tangga dipilih karena merupakan penentu dan pengelola keuangan dalam sebuah rumah tangga. Tingkat melek literasi keuangan di kalangan ibu rumah tangga tercatat masih rendah. Survei literasi keuangan yang digelar OJK di 20 kota, mencatat hanya 17 persen ibu rumah tangga yang memiliki pemahaman terhadap produk keuangan. “Ibu rumah tangga orang terdekat untuk membiasakan anak-anaknya dengan produk keuangan,” paparnya. Kendati demikian, hasil survei juga mencatat bahwa lebih 50 persen ibu rumah tangga yang menggunakan produk perbankan. Dengan program edukasi produk keuangan ini, Kusumaningtuti berharap, para ibu rumah tangga dapat mengelola keuangan secara lebih baik. Selain itu, sebagai bentuk investasi masa depan, mereka juga diharapkan dapat mengelola keuangan untuk hari tua. Segmen lain yang tengah dibidik adalah kalangan pelaku UMKM. Disadari bersama bahwa sektor ini merupakan salah satu penopang penting bagi perekonomian Indonesia.  Para pelaku soko guru ekonomi nasional ini memang sudah seharusnya memiliki pemahaman lebih baik atas produk keuangan. Pemahaman yang baik terhadap literasi keuangan, diharapkan membuat mereka dapat memanfaatkan produk keuangan untuk meningkatkan usahanya. Asumsinya, dengan makin meningkatnya  sektor UMKM, ekonomi Indonesia tak ragu lagi dapat makin meningkat. Guna memperluas akses publik terhadap produk dan layanan lembaga jasa keuangan, termasuk akses kepemilikan dan pemahaman, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meluncurkan program Strategi Nasional Literasi Keuangan. Pada 19 November 2013, bekerja sama dengan Asosiasi Lembaga Jasa Keuangan (LJK), OJK memperkenalkan Mobil Literasi Keuangan (Si Molek). Bertempat di Jakarta Hall Convention Center Jakarta, kerja bareng ini juga menerbitkan maskot dan jargon literasi keuangan (SiKAPI Uang dengan Bijak). Seperangkat mini website dan Financial Customer Care (FCC), di nomor 021-500 OJK, disiapkan guna mendukung ujung tombak edukasi literasi keuangan tersebut. Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Kusumaningtuti S Soetiono, mengatakan, langkah literasi keuangan dibuat untuk mengedukasi keuangan kepada masyarakat Indonesia, agar dapat mengelola keuangan secara cerdas. Dalam program strategi ini, guna memastikan pemahaman masyarakat tentang produk dan layanan yang ditawarkan lembaga jasa keuangan, dicanangkan tiga pilar utama. Pilar pertama mengedepankan program edukasi dan kampanye nasional literasi keuangan, di mana akses publik terhadap produk dan layanan lembaga jasa keuangan menjadi tujuan pokok. Pilar kedua adalah upaya penguatan infrastruktur literasi keuangan, sebagai pilar penting dalam mengedukasi publik agar melek literasi keuangan. Sedangkan pilar ketiga, berbicara ihwal pengembangan produk dan layanan jasa keuangan yang terjangkau. Pilar terakhir ini merupakan tindak lanjut sekaligus muara bagi edukasi dan pengembangan program ini. Penerapan ketiga pilar ini, tak diragukan lagi, dimaksudkan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang memiliki tingkat literasi keuangan yang tinggi. Sehinggam, masyarakat tak hanya menjadi melek literasi, melainkan dapat memilih serta memanfaatkan produk dan jasa keuangan guna meningkatkan kesejahteraan. Di samping terus mengawal berjalannya progam tersebut, kini OJK terus melakukan berbagai kegiatan guna meningkatkan tingkat melek keuangan masyarakat di Indonesia. Kegiatan edukasi menjadi begitu penting dan terutama di kalangan masyarakat yang masih jarang bersentuhan dengan produk-produk keuangan. Selain itu, saat yang sama, OJK juga terus meningkatkan kepercayaan masyarakat, yakni dengan meluncurkan blue print strategi nasional literasi keuangan. Dengan bertumpu pada tiga pilar di atas, cetak biru ini menjadi faktor terpenting dalam melakukan transformasi edukasi literasi keuangan. Awal Desember lalu, saat membuka Seminar Internasional Literasi Keuangan di Nusa Dua, Bali, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, Muliaman D Hadad, mengemukakan dua manfaat utama dari literasi keuangan. Pengetahuan terhadap literasi keuangan, menurut dia, membuat publik tak mudah panik. Rumor negatif di bidang keuangan yang kerap muncul, tak sekadar menganggu stabilitas keuangan, tapi juga membuat publik mudah terpengaruh terhadap gejolak keuangan. Dua manfaat yang dirasakan paling menonjol adalah, masyarakat bakal memiliki pemahaman tentang dunia keuangan. Dengan pemahaman ini, individu maupun keluarga dapat mengelola dan mengunakan uang serta sebesar-besarnya mengambil manfaat dari industri keuangan. “Dua manfaat ini meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong stabilitas keuangan,” tutur Muliaman. Secara makro, menurut bekas Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia ini, perbaikan literasi keuangan dapat mendorong stabilitas keuangan. Sebab, bagi ekonomi nasional, literasi keuangan yang baik bakal meningkatkan pemahaman terhadap risiko finansial. Muliaman mengatakan, ada relasi langsung antara derajat literasi keuangan rumah tangga dan stabilitas sistem keuangan. Kekuatan finansial tiap rumah tangga, menurut dia, akan mendukung stabilitas makro keuangan. “Keuangan rumah tangga yang aman menjadi tulang punggung stabilitas finansial yang kuat,” katanya. Muliaman menyadari, dalam upaya ini OJK tidak dapat berjalan sendiri menyukseskan literasi keuangan. Karena itu, OJK berharap dukungan dan kerja sama seluruh industri jasa keuangan guna mendorong masyarakat melek finansial. Kerja sama yang dijalin, kendati berupaya mensejahterakan masyarakat, juga diharapkan tetap berjalan dalam koridor yang menguntungkan secara bisnis. Keberhasilan program ini diyakini membuat industri keuangan bakal memetik beragam manfaat, di antaranya dalam bentuk nasabah yang loyal dan basis yang lebih luas. Di negara-negara maju sendiri, banyak masyakarat yang hanya mengeti produk keuangan, tetapi tanpa merasa perlu memahami manfaatnya. Rata-rata mereka juga tidak memahami dinamika siklus finansial, dan hal ini mudah memicu mereka untuk panik saat muncul isu sensitif terkait gejolak keuangan. “Semua bisa dicegah jika literasi keuangannya bagus. Setidaknya bisa mengurangi perilaku overreaktif,” kata Muliaman. Negara-negara yang tergabung dalam G-20, termasuk yang tergabung dalam Forum Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC), telah menjadikan Literasi keuangan dan inklusi keuangan (financial inclusion) sebagai program prioritas mereka. Langkah ini mereka yakini dapat mendorong  produktivitas warga kurang mampu. Selain itu, yang sangat penting diperhatikan, literasi keuangan penting bagi investor dan para keluarga yang saban hari harus membuat keputusan di bidang keuangan.[]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun