Dalam bukunya, Tasawuf yang Tertindas: Kajian Hermeneutik Terhadap Karya-karya Hamzah Fansuri, Abdul Hadi mencatat sedikitnya terdapat 32 untaian (ikatan) syair tasawuf Fansuri. Karya tersebut diyakini sebagai “syair Melayu” pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu, yaitu sajak empat baris berpola bunyi a-a-a-a di tiap barisnya. Syamsudin al-Sumatrani, seorang sufi terkemuka nusantara lainnya, menyebut sajak-sajak tersebut sebagai ruba’i , yaitu sajak empat baris dengan dua misra’ atau sampiran.
Membaca sajak-sajak tersebut, segera tampak beberapa ciri menonjol, yang di antaranya menjadi konvensi sastra atau puisi Melayu klasik. Ciri tersebut, misalnya, tampak dari pemakaian penanda kepengarangan, seperti faqir, anak dagang, anak jamu, dan ‘asyiq. Semua penanda ini ditransformasikan dari gagasan sufi tentang peringkat ruhani (maqam) tertinggi di jalan ruhani.
Di sana-sini juga terdapat banyak petikan ayat Alquran, Hadits, pepatah dan kata-kata berbahasa Arab, yang beberapa telah dijadikan metafor para sufi Persia seperti Bayazid al- Bushtami, Mansur al-Hallaj, Junaid al-Baghdadi, Ibnu ‘Arabi, dan lainnya.
Tak kurang terdapat 1200 kata berbahasa Arab dalam 32 untaian syair tersebut. Kalangan pengkaji syair-syair Fansuri mengakui, kutipan tersebut menunjukkan derasnya proses Islamisasi di nusantara, yang untuk kali pertama melanda bahasa, kebudayaan dan sastra Melayu pada abad 16 Masehi “Pantaslah jika Aceh menyandang sebutan Serambi Mekah,” tutur Abdul Hadi.
Terdapat banyak tamsil yang diambil dari alam dan kehidupan Melayu, seperti kayu, kapur barus, serta perahu. Dalam estetikanya, para penyair sufi memandang citraan yang diambil dari alam indrawi dapat dijadikan sebagai sarana transendensi, tangga menuju alam keruhanian (pengalaman religius-sufistik). Simbolisme ini dijadikan sarana untuk menggambarkan kesufian penyair di sekitar maqam dan ahwal (keadaan ruhani) yang dicapai oleh seorang penempuh jalan keruhanian (suluk).
Sebagaimana syair para sufi pada umumnya, syair-syair Fansuri memadukan metafisika, logika, dan estetika secara seimbang. Hal ini menunjukkan bahwa pengetahuan intuitif (di atas akal), rasional dan empiris sama-sama penting dalam penciptaan puisi.
Menemukan kembali minat pada kesusastraan Islam nusantara bukan perkara mudah. Selain diperlukan pembenahan sistem kebijakan pendidikan dan pengajaran, visi kebudayaan untuk memajukan khasanah intelektual bangsa sendiri mesti menjadi perhatian. “Kita perlu belajar dari Iran, Jepang, China yang bangga dan mengutamakan kekayaan bangsa sendiri,” ujar Abdul Hadi.[] Anom B Prasetyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H