Kesusastraan nusantara yang menyimpan khasanah ilmu pengetahuan begitu luas minim perhatian. Diperlukan visi kebudayaan.
Nada sendu terasa diantara paparan Abdul Hadi WM soal nasib kesusastraan klasik nusantara. Filolog Universitas Paramadina, Jakarta ini menyesalkan minimnya perhatian generasi sekarang pada kesusastraan tersebut. “Salah satu sebabnya, visi kebudayaan absen dalam kebijakan pendidikan dan pengajaran kita,” ujarnya dalam diskusi Islam dan Mistisisme Nusantara, Sabtu dua pekan lalu.
Minat pada kekayaan tradisi dan budaya bangsa tak hanya kian berkurang. Banyak naskah klasik kesusastraan terbengkalai, bahkan banyak dijual ke luar negeri, selain disimpan oleh pribadi-pribadi. Pengelolaan museum naskah yang minim dukungan membuatnya dikelola secara amatiran. “Banyak naskah penting yang rusak,” ujarnya.
Tiadanya politik kebudayaan yang memayungi kebijakan pengajaran sastra, disinyalir menyebabkan kosongnya pengajaran kebudayaan nusantara di banyak perguruan tinggi. Padahal, kekayaan kesusastraan kita berlimpah dan beragam dari pujangga besar seperti Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Ronggowarsito, atau pun Hasan Mustapa.
Tak heran jika generasi masa kini cenderung lebih mengenal kesusatraan asing ketimbang kesusastraan bernuansa sufistik seperti Syair Perahu, Gurindam Dua Belas atau Suluk Sunan Bonang.
Padahal, ajaran-ajaran yang terkandung dalam karya para sufi besar nusantara diakui telah lama melapisi khasanah intelektual dan kesusastraan. Ia tak hanya berisi metode menempuh jalan keruhanian dalam bingkai ajaran agama. Sebagai ilmu, tasawuf tak hanya bicara ihwal hubungan hamba dan Tuhannya, tapi juga mengulas panjang lebar ihwal metafisika, psikologi, epistemologi, hingga estetika dan etika.
Kosmologi yang biasanya lekat dengan ilmu fisika, juga tak luput dalam bahasan sastra sufistik. Demikian halnya dengan wawasan estetika. Dimensi estetik kesusastraan sufistik tampak kuat dalam bahasa yang digunakan, yakni bahasa metafor atau ibarat.
Kendati menyimpan mutiara khasanah pengetahuan begitu besar, hingga kini minat terhadap kesusastraan sufistik masih cenderung sepi dibanding minat pada kajian pengetahuan populer, yang mengagungkan rasional-positivisme.
Karya para pujangga seperti Hamzah Fansuri, Yasadipura, Ronggowarsito maupun Hasan Mustapa justru selalu diidentifikasi dengan ajaran kontroversial ihwal paham kesatuan wujud (wahdatul wujud). Ajaran-ajaran di dalamnya, diakui Abdul Hadi, kerapkali tak mendapat perhatian mendalam, namun lebih dianggap sebagai ajaran aneh dan cenderung distigma sesat.
Kendati karya Hamzah Fansuri juga tak luput dari kontroversi, karya-karya sufi agung kelahiran Barus, Sumatera Utara, pada pertengahan abad 16 ini masih lebih beruntung dibanding karya para sufi lain di nusantara. Hampir semua terjemahan syairnya masih bisa dijumpai. Kajian mendalam terhadap karyanya juga telah banyak dilakukan para sarjana.
Para ahli menemukan setidaknya ada tiga risalah tasawuf (sufisme) Fansuri yang paling dikenal, yaitu Syarab al-‘Asyiqin (Minuman Para Pecinta), Asrar al-‘Arifin (Rahasia Ahli Makrifat), dan al-Muntahi. Filolog yang juga filsuf terkemuka negeri jiran, Syeikh Naquib al-Attas, menilai Syarab al-‘Asyiqin sebagai risalah keilmuan pertama yang ditulis dalam bahasa Melayu baru.