Pameran tunggal jurufoto muda dengan sederet penghargaan. Hasil karyanya lebih banyak bercerita tentang kemenangan jiwa manusia.
Di tubir tanggul, perempuan muda itu memeluk anaknya di gendongan seraya menatap cakrawala. Matahari petang yang menguning membuatnya takjub kendati perkampungan tempat ia tinggal tak lagi tampak di bawah sana. Semburan lumpur telah menguburnya menjadi danau seluas anak lautan.
Momen mengharukan itu merupakan satu dari seratusan gambar bergerak yang turut ditampilkan dalam pembukaan pameran foto bertajuk Aftermath: Indonesia in The Midst of Catastrophes karya Kemal Jufri yang digelar di Galeri Salihara, Jakarta, Rabu pekan lalu.
Pameran tunggal fotografi dan presentasi audio-visual yang diiringi penampilan cellis terkemuka Indonesia, Dimawan Krisnowo Adji, dengan olah suara etnomusikolog Nyak Ina "Ubiet" Raseuki berkisah tentang sederet bencana di tanah air. Karya-karya hasil jepretan Kemal saat meliput semburan lumpur yang dipicu oleh eksplorasi minyak dan gas PT Lapindo Brantas, pemandangan pascatsunami Aceh, serta letusan Gunung Merapi ini dipamerkan hingga 29 Mei mendatang.
Gempa Nias dan Yogyakarta, dengan alasan keterbatasan tempat, tak ditampilkan dalam pameran dan akan dimuat dalam buku yang dijadwalkan terbit Juli mendatang. Kemal yang kerap terlibat dalam pameran fotografi internasional tak sendirian menggelar pameran pertamanya ini. Ia berkolaborasi dengan beberapa seniman berbakat lainnya, bahkan komposisi musik secara khusus diciptakan cellis dan komposer Dimawan Krisnowo Adji untuk acara ini.
Foto-foto Kemal berisi rekaman visual dengan guratan optimisme yang kuat. Di sana sini tampak menonjol perjuangan dan kegigihan manusia Indonesia menghadapi tantangan yang melampaui dirinya, sebagai akibat dari serangkaian bencana besar yang mewabah di nusantara.
Lelaki yang belajar dan magang fotografi di Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA), Jakarta, ini mengaku ingin berbuat lebih dari sekadar mengabadikan peristiwa bencana yang terjadi di nusantara. Rangkaian peristiwa memilukan itu menariknya untuk bisa membantu secara langsung para korban bencana. Kendati awalnya terhambat masalah dana, ide pameran yang sudah muncul sejak ia meliput daerah bencana baru dapat terwujud tahun ini.
Pameran kali ini bagi dia merupakan dokumentasi fenomena bencana serta kehidupan orang-orang yang dipengaruhinya. Tergerak oleh tanggung jawab moral profesinya, ia merasa perlu berseru selain ingin mengambil langkah lebih jauh dengan menggalang dana buat para korban. Ia berharap pameran kali ini bisa mengumpulkan dana yang signifikan buat para korban. Bukan membantu ala kadarnya, tetapi membuat perubahan dalam kehidupan satu atau sekelompok orang. “Bisa dalam bentuk beasiswa misalnya,” ujar Kemal, ditemui di lokasi pameran.
Aftermath juga merupakan respon sosial ihwal kesiapan dan pengelolaan bencana, yang juga bahan pelajaran agar kita lebih siap mengantisipasi fenomena serupa di masa datang. Kesiapan dan antisipasi bencana sedari awal menjadi penting agar dapat dirumuskan langkah-langkah yang bisa diambil, termasuk early warning system yang andal agar jatuhnya korban yang begitu besar tak lagi terulang.
Kendati kita tak bisa menghindari bencana, tapi upaya untuk meminimkan dampak dan jumlah korban tetap bisa dilakukan. Rangkaian bencana menjadi pelajaran berharga agar kita lebih siap menghadapinya. Dengan begitu, ke depannya kita lebih siap mengantisipasi bencana. “Jangan sampai itu terulang lagi,” katanya.
Sebagai pena visual, fotografi dapat digunakan dalam bebagai cara, tergantung pada apa yang hendak dicapai fotografernya. Dalam Aftermath, Kemal mencoba menyampaikan intisari pemikirannya dengan menyusun kolase karya-karya yang dibidik dari sejumlah tempat terjadinya bencana alam dan bencana buatan manusia, sebagai cermin bagi pengunjung.
Gambaran yang terekam dalam rangkaian foto karya Kemal diakui Oscar Matuloh, kurator pameran ini, lebih dari sekadar artefak seremonial. “Karyanya merupakan analisis visual atas catatan bersejarah peradaban kita yang berlaku sebagai tumpuan nyata untuk perenungan jejak-jejak penting yang ditinggalkan umat manusia,” katanya.
Kemal memulai karir sebagai jurufoto lebih dari satu dekade lalu. Bekerja untuk Agence France Presse (AFP) biro Jakarta pada 1996 dan kontributor majalah Asiaweek sejak 2008. Putra wartawan senior Fikri Jufri ini memilih bekerja lepas begitu Asiaweek tutup pada 2001, meliput berita di kawasan Asia Tenggara untuk publikasi penting di seluruh dunia termasuk Kompas, Newsweek, The New York Times, Stern, Der Spiegel, serta Business Week International.
Jejaknya juga tampak kuat dalam fotografi peristiwa krisis keuangan Asia 1997, berikut huru hara politik menjelang kerusuhan Mei 1998 yang berujung pada lengsernya Suharto. Termasuk konflik etnis mematikan di Kalimantan Tengah antara pribumi Dayak dan migran Madura yang mengakhiri hidup ribuan jiwa. Jepretan peristiwa letusan Gunung Merapi 2008 membawanya meraih juara dua kategori People in The News Stories dalam penghargaan bergengsi World Press Photo 2011.[] Anom B Prasetyo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H