Mohon tunggu...
Annysa Sovia
Annysa Sovia Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Akademisi, solusi konflik dari Thailand Selatan. Mengapa?

25 Oktober 2015   19:09 Diperbarui: 25 Oktober 2015   19:15 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Thailand sebagai sebuah negara yang multietnis tak dapat menghindarkan diri dari benturan-benturan yang terjadi antar kelompok. Benturan-benturan ini salah satunya disebabkan karena hubungan yang asimetris antara kelompok mayoritas dan kelompok minoritas. Akibatnya, muncul kekecewaan masyarakat yang kemudian berujung menjadi sebuah konflik sosial dalam negara (intra-states conflict) bernuansa etnis dan agama. Fenomena inilah yang terjadi di Thailand Selatan hingga saat ini.

Konflik ini ditandai dengan adanya gerakan separatis di Thailand Selatan (Pattani Raya). Hal ini bermula pada tahun 1902 ketika terjadi aneksasi yang menyebabkan jatuhnya Pattani Raya ke tangan kerajaan Thailand (Siam) dan terjadinya perjanjian Anglo-Siam pada 1909.[1] Maka akibat penggabungan ini, wilayah Thailand Selatan yang semula merdeka dan merupakan salah satu kelompok mayoritas berubah menjadi wilayah subordinat di Thailand dan menjadi minoritas di level nasional.[2] Keadaan ini semakin diperparah dengan kebijakan pemerintah Thailand pada masa kepemimpinan PM Phibul Songkhram yang menerapkan kebijakan pemaksaan identitas nasional. Semakin tingginya kesenjangan antara kelompok minoritas dan mayoritas juga semakin menguatkan sentimen-sentimen pemicu konflik. Sentimen ini mengakibatkan banyak terjadi pemberontakan dan insiden berdarah. Gerilyawan separatis melakukan aksi pembunuhan, militer membalas dengan kekerasan brutal, pemerintah tak mampu bertindak, sungguh ironis. Konflik ini semakin memanas sejak tahun 2004 salah satunya yang ditandai dengan peristiwa penembakan di Masjid Krisek (Krue Se) dan Peristiwa Tak Bai yang menewaskan ratusan orang.[3]

Bragam upaya telah dilakukan guna mencapai jalan damai namun hingga saat ini belum ada penyelesaian yang benar-benar efektif. Salah satu faktor utama kegagalan ini adalah karena pertimbangan pada akar masalah sering dikesampingkan. Konflik ini datang dari dalam masyarakat sehingga masyarakat merupakan akar sekaligus kunci dari resolusi konflik. Masyarakat sipil merupakan variabel yang hilang pada penelitian-penelitian sebelumnya. Penelitian pada tataran konflik etnis lebih banyak berfokus pada peran negara (state) atau intervensi pihak internasional. Ketika pada kasus konflik etnis lainnya negara atau pihak lain mampu berperan dalam mencapai jalan damai, yang terjadi di Thailand Selatan justru tidak demikian.

Sebagai bagian dari pilar civil society, kelompok akademisi merupakan salah satu kelompok yang berperan penting dalam melahirkan harapan baru terciptanya resolusi konflik di Thailand Selatan. Mengapa?

  • Akademisi merupakan corong informasi yang relevan bagi masyarakat (saluran pendidikan politik yang akan memberikan pendidikan politik yang cerdas dan akan melahirkan agen-agen perubah atau intellectual capital)

  • Dengan legitimasi ilmiah yang dimiliki, akademisi diharapkan mampu menjalankan perannya dalam civil society sebagai infrastruktur solidaritas sosial yang memberikan dukungan sepenuhnya sebagai mediator bagi masyarakat dan pembuat keputusan serta aktor-aktor lainnya di level makro.

  • Kasus di Thailand Selatan menunjukkan bahwa organisasi civil society yang lain kurang dapat berperan efektif karena kesulitan mendapatkan legalisasi dari pemerintah. Maka dari itu, sebagai kelompok yang berada di tengah-tengah antara masyarakat dengan pemerintah, akademisi memiliki kecakapan tersendiri untuk mendapatkan legalisasi dari pemerintah. 

Untuk alasan itulah, maka sebaiknya penelitian mengenai peranan akademisi ini baik untuk digalakkan. Akademisi merupakan salah satu harapan baru bagi timbulnya perdamaian bagi konflik di negeri Thailand yang tak kunjung usai ini.

[1] Neil J. Melvin, Conflict in Southern Thailand; Islamism, Violence and the State in The Patani Insurgency, Sweden: SIPRI (Stockholm International Peace Research Institute) Policy Paper No.20 September 2007, hlm. 5

[2] Paulus Rudolf Yuniarto, Minoritas Muslim Thailand: Asimilasi, Perlawanan Budaya dan Akar Gerakan Separatisme, Jakarta: Jurnal Masyarakat dan Budaya, Volume VII No. 1 Tahun 2005, hlm. 91

[3] Supara Janchitfah, Violence in the Mist: Reporting Presence of Pain in Southern Thailand, Bangkok: Kobfai Publishing 2004, hlm. 239-240

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun