Mohon tunggu...
Anny Izzatul Mujahidah
Anny Izzatul Mujahidah Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Menulis untuk berbagi dan menggerakkan hati.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

100 Persen Ibu, 100 Persen Guru

4 Juli 2020   17:27 Diperbarui: 4 Juli 2020   17:22 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Secara historis, Ibu adalah pembangun masyarakat, menjaga generasi muda yang melahirkan para pejuang.  

Diriwayatkan oleh al Hakim dalam kitab Mustadrak, Ali bin Abi Thalib r.a menafsirkan firman Allah  Q.S At Tahrim ayat 6  yang artinya "Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka", memiliki makna "Ajarilah diri kalian dan keluarga kalian dalam kebaikan." 

Penjelasan ini jelas tak membatasi soal belajar. Seorang ayah sebagai pemimpin harus belajar untuk mendidik keluarganya sehingga mereka selamat dari api neraka, begitu juga Ibu. Sehingga orang tua dapat menjadi rujukan bagi anak-anaknya.

Secara psikologis, idealnya anak-anak merasakan didikan dari ayah dan ibunya secara lengkap. Ayah menurunkan ilmu keberanian, tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Ibu menurunkan ilmu kasih sayang, kelembutan dan pokok pendidikan itu sendiri.

Melihat kondisi dimana kaum Ibu lebih banyak diluar rumah karena harus turut menjemput rezeki ataupun  karena terhasut ide-ide bahwa wanita lebih tinggi derajatnya jika bekerja oleh para feminis, tentu menjadikan fungsi ideal rumah tangga menjadi kacau balau. 

Perekonomian menjadi pasak utama yang terus dibangun, sedang pasak-pasak lainnya dibiarkan roboh sedikit demi sedikit. Termasuk pasak pendidikan. 

Pendidikan hari ini dicukupkan untuk menghasilkan para tenaga kerja. Tak sedikit lulusan sarjana menganggur karena sedikitnya lapangan kerja. Tak sedikit pula yang putus sekolah demi bekerja seadanya karena merasa sekolah hanya membuang waktu, toh lulus sekolah tak menjamin langsung kerja. 

Tujuan yang sengaja ditanamkan dari sekolah dan belajar adalah bekerja dan menghasilkan rupiah, semakin tinggi gelar semakin banyak rupiah yang didapat. Segalanya ditolak ukurkan pada rupiah dan menghilangkan arti penting dari pendidikan dan pembelajaran itu sendiri.

Masyarakat telah melihat ini sebagai fakta yang sulit dihindari, sudah menjadi rahasia umum bila rupiah yang menguasai secara sistemik pada berbagai elemen negara, termasuk pendidikan  dan berdampak pada keluarga atau mengorbankan anak-anak. Anak-anak dipaksa mengikuti arah pendidikan berbasis rupiah jaman sekarang, disiapkan menjadi pegawai dan buruh yang dihargai lebih murah dari pada tenaga kerja asing. Ironis.

Memang tantangan yang begitu berat bagi seratus persen ibu yang memegang prinsip seratus persen guru bagi anak-anaknya. 

Mendidik anak-anak di jaman yang informasi begitu masif dan kadang tak terfilter dengan baik dan lingkungan yang kadang tak kondusif membutuhkan usaha lebih berat, lebih disiplin dan lebih cerdas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun