Mohon tunggu...
annisa nabila
annisa nabila Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Perampasan Aset TPPU Terpidana In Absentia Melanggar HAM?

8 Juni 2024   09:25 Diperbarui: 8 Juni 2024   09:25 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Indonesia menjadi salah satu negara yang paling korup di dunia, tetapi anehannya justru di Indonesia "belum banyak koruptornya". Belum banyak koruptor disini adalah sebab seseorang belum dapat dikatakan bersalah sebagai koruptor apabila belum ada putusan pengadilan yang tetap (inkracth) yang menyatakan ia terbukti bersalah. Saat ini Tindak Pidana Pencucian Uang adalah salah satu kejahatan yang sangat serius, karena dapat menyebabkan ketidakstabilan ekonomi dan merusak integritas keuangan, terumata jika dilakukan oleh pelaku kejahatan yang terorganisir. Dan semua pihak setuju bahwa korupsi dan pencucian uang adalah tindak pidana yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) dan harus ditangani secara luar biasa pada saat ini sudah sangat banyak modus kejahatan Tindak Pidana Pencucian Uang itu sendiri dan semakin meningkat setiap saat, sampai dengan pada saat ini pelaku melakukan tindakan yang lebih canggih (Sophisticated crimes) dengan memanfaatkan jasa profesional dari  sarana perbankan dan non perbankan.

Pasal 79 Ayat (1) UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini memberikan makna bahwa, Peradilan in absentia dapat dilakukan pada tindak pidana pencucian uang dengan tujuan untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil dari tindak pidana pencucian uang. Sebagaimana yang tertuang pada bagian penjelasan Pasal 79 Ayat (1) yang menjelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan agar upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang dalam pelaksanaan peradilannya dapat berjalan dengan lancar serta sebagai landasan hukum yang kuat untuk menjamin kepastian hukum, efektivitas penegakan hukum serta penelusuran dan pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidana. Konsep peradilan in absentia menurut UU Tindak Pidana Pencucian Uang ini sejatinya bertentangan dengan konsep hadirnya terdakwa di sidang pengadilan menurut KUHAP.

Ketentuan Pasal 1 Angka 15 KUHAP menyebutkan bahwa, "terdakwa adalah seorang yang dituntut, diperiksa dan diadili di sidang pengadilan", selanjutnya Pasal 189 Ayat (1) KUHAP menyatakan bahwa, "keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang diketahuinya sendiri atau dialami sendiri." Pasal 1 Angka 15 juncto Pasal 189 Ayat (1) KUHAP secara tersirat dapat dikatakan bahwa terdakwa haruslah hadir di persidangan. Kehadiran terdakwa dalam pemeriksaan perkara pidana hakikatnya untuk memberikan ruang kepada terdakwa sebagai manusia yang berhak membela diri dan mempertahankan hak-hak kebebasannya, harta benda ataupun kehormatannya. Tujuan utamanya adalah agar terdakwa dapat mengerti dan benar-benar memahami apa yang didakwakan kepadanya, bagaimana keterangan saksi, ahli dan alat-alat bukti yang Iain, sehingga terdakwa dapat bebas dan leluasa mengatur jawaban dan pembelaannya.

Maka dalam sidang pengadilan tentulah terdakwa harus hadir sebagai salah satu syarat berjalannya persidangan. Namun pada praktiknya dalam kasus korupsi kebanyakan terdakwa jarang yang dapat hadir karena sudah menjadi Daftar Pencarian Orang (DPO), kenapa hal ini bisa terjadi? Karena terdakwa telah melarikan diri sebelum dilakukannya penangkapan/ pemeriksaan, yang mana terdakwa telah sengaja menghindar dari penyidikan/pemeriksaan sidang meskipun bukti-buktinya sudah cukup. Lalu apakah bisa dilakukan perampasan aset di peradilan in absentia dalam tindak pidana korupsi? Jawabannya bisa, diatur dalam Pasal 38 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi dan persidangan in absentia sendiri akan tetap membuat efek jera dan menyelamatkan aset milik negara dengan cara perampasan aset. Dan saat ini sudah ada pembicaraan mengenai aturan perampasan aset tanpa pemidanaan, sebab untuk melakukan perampasan aset sendiri tidak perlu menunggu putusan inkracht, karena semakin lama aset tersebut didiamkan bisa saja aset tersebut berpotensi pindah tangan, atau nilangnya berkurang, dan bisa dihancurkan dimana seharusnya dapat dikembalikan kepada negara menjadi tidak. Jika dikaitkan dengan HAM, perampasan aset bisa menimbulkan pertentangan dengan asas praduga tak bersalah hak atas kepemilikan aset oleh warga negara harus dilindungi dan dihormati oleh negara, sehingga terdakwa perlu menjelaskan dimuka persidangan bahwa aset tersebut didapat secara sah, dan mengajukan keberatan di pengadilan sesuai Pasal 79 ayat 5 UU TPPU.

Berdasarkan Pasal 28G ayat (1) UUD 1945: Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi. Perampasan aset tanpa pemidanaan memang sangat krusial dengan jaminan peerlindungan hak milik di dalam Pasal 28H ayat (4) UUD RI 1945 yang tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh siapapun. Perlindungan terhadap aset sesorang di dalam konstitusi memang sangat dilindungi  yang merupakan ciri khas negara hukum (rule of law). Namun yang penting diperhatikan adalah bagaimana perampasan aset tersebut dilaksanakan dengan tidak melanggar hak  konstitusi setiap orang. 

Pada satu contoh kasus perampasan aset peradilan in absentia adalah kasus Century Bank yang dilakukan oleh Hesham Al Warraq dan Rafat Ali Risvi aset yang disita berjumlah lebih dari Rp. 6,7 triliun baik aset yang ada didalam dan diluar negeri, sebab keduanya telah diputuskan bersalah dalam kasus korupsi dana talangan (bail out). 

PN Jakarta Pusat memutus secara in absentia dengan menjatuhi hukuman 15 tahun penjara, denda sebesar Rp15 miliyar, dan uang pengganti sebesar Rp3,1 triliun. PN Jakarta Pusat juga memerintahkan untuk menyita aset kedua terdakwa dan aset Robert Tantular serta aset istrinya juga ikut disita. Robert tantular sendiri dianggap melakukan tindak pidana bersama-sama, itu sebabnya asetnya juga ikut dirampas. Robert merasa keberatan karena hak-haknya tidak terpenuhi pada sidang in absentia dan mengajukan kasasi untuk memperjuangkan hak-haknya, yang ditolak oleh majelis hakim. Putusan tanpa hadirnya terdakwa atau in absentia tentunya dapat menimbulkan permasalahan hukum di kemudian hari, karena klaim atas hak-hak terdakwa tidak terpenuhi. HAM bersifat fundamental yang tidak bisa diintervensi oleh siapapun atau lembaga manapun. Manusia adalah subjek hukum yang dimana ada manusia pasti ada hukum.

Pada negara hukum, barangsiapa/siapa saja yang melakukan perbuatan yang merugikan subjek hukum lain, seseorang dapat dibatasi geraknya atau dicabut sementara waktu atau bahkan selama-lamanya berdasarkan hukum yang berlaku, termasuk merampas aset seseorang yang berbuat jahat, dan untuk melindungi hak asasi yang lebih luas dan penting. Perampasan aset juga merupakan sarana yang sangat efektif dalam pencucian uang, dan apabila sudah ada aturan undang-undang tentang perampasan aset menjadi satu hal yang lebih baik lagi untuk mendukung penegakan hukum terkait penelusuran uang-uang hasil kejahatan pencucian uang agar dapat dikembalikan kepada negara. Dalam tindak pidana pencucian uang tidak ada derita yang bersifat fisik pada 'korban', tetapi secara psikis masyarakat terbebani dengan keadaan sebab dampak buruk sebagai akibat pencucian uang dan stabilitas ekonomi menjadi buruk dan terganggu yang merugikan keuangan negara. Maka dari itu dapat disimpulkan negara dan masyarakat adalah 'korban' dari pencucian uang dan perampasan aset dapat dilakukan. Pencuci uang yang merupakan suatu pelanggaran HAM yang diderita oleh 'korban' Negara dan Masyarakat. Jika dilakukan pendekatan hukum melalui hukum pidana dan hukum perdata, perampasan aset untuk kasus-kasus berat sama sekali tidak bertentangan dengan HAM. Dan dalam konteks negara hukum, negara berwenanglah yang dapat menguasai aset yang digunakan sebagai alat melakukan kejahatan, atau aset yang merupakan hasil dari kejahatan itu sendiri. Negara sendiri tidak memberikan perlindungan konstitusi terhadap aset yang didapatkan secara tidak sah, sehingga perampasan aset bukanlah pelanggaran HAM.        

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun