RUMITNYA SISTEM PENDIDIKAN INDONESIA KINI JUGA MEMBANDROL HARGA KOMPETITIF UNTUK KESEMPATAN MENGENYAM PENDIDIKAN JUSTRU DISEBUT SEBAGAI KEBUTUHAN TERSIER
Beredarnya kabar tidak sedap di dunia pendidikan Indonesia saat ini dianggap sebagai bentuk robohnya sistem pendidikan yang ada. Salah satunya adalah tren kasus kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang mulai bertebaran di media sosial dan saluran berita Nusantara yang terjadi di beberapa Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Hal ini sontak menjadi konsumsi hangat publik karena dianggap tidak adil dan terkesan memberatkan para mahasiswa dengan nominal yang diberikan. Pasalnya, kabar tidak sedap ini awalnya muncul dari salah satu Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Indonesia yang dianggap memberikan range tinggi untuk nominal UKT kepada mahasiswa barunya. Namun, yang disayangkan adalah dengan adanya peningkatan nominal tersebut, masih ada beberapa fasilitas sarana dan prasarana yang tidak sesuai dengan nominal yang diberikan kepada mahasiswa. Berawal dari situlah kemudian mulai bermunculan juga kasus yang hampir serupa, bahkan beberapa Perguruan Tinggi Negeri yang dianggap tidak menaikkan range UKT justru ternyata menambah golongan UKT bagi mahasiswa baru tahun 2024 ini. Â
Bahkan jauh sebelum kasus kenaikan UKT seperti saat ini, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yaitu Bapak Nadiem Anwar Makarim juga sempat dianggap gagal dalam memimpin bidang pendidikan yang ada di jenjang pendidikan sebelum masuk PTN. Adanya perubahan pada sistem penerimaan siswa baru (PPDB) yang beralih menggunakan jalur zonasi pada 6 tahun silam juga masih mendapatkan respon yang kurang menyenangkan dari masyarakat Indonesia. Hal ini dikeluhkan dari semua kalangan yang ada mulai dari para pelajar, orang tua, bahkan tenaga pendidik yang juga mengakui jika kebijakan ini justru terkesan tidak berhasil dan penuh dengan coretan tinta hitam di dalamnya.
Siapa yang tidak tau jika sudah banyak sekali fenomena buruk yang sudah mencoreng kualitas keadilan di dunia pendidikan kita? Adanya kasus anak titipan, jual beli kursi PPDB dengan harga kompetitif, manipulasi data asli siswa, bahkan manipulasi jarak zonasi sudah seringkali terjadi. Bahkan dikutip dari tirto.id, salah satu anggota Ombudsman RI yaitu Bapak Indraza Marzuki Rais juga menyatakan bahwa "Hal seperti itu dilakukan oleh masyarakat sendiri dan juga kerja sama dengan orang-orang yang punya akses terhadap ini," ungkap Indraza, Selasa (5/9/2023). Yang mana artinya hal haram ini terjadi secara sadar antara peminat bangku tersebut dengan orang yang ada di dalam institusi pemilik bangku.
Rumitnya sistem pendidikan seperti saat ini terjadi tak lain juga karena adanya beberapa tuntutan hidup yang menanti mereka setelah mereka lulus dari bangku pendidikan. Dari sinilah bisa kita tarik kesimpulan jika dunia pendidikan memiliki pengaruh yang kuat untuk keberlangsungan hidup. Namun, di tengah riuhnya kasus di atas justru muncul pernyataan tidak menyenangkan dari salah satu anggota Kemendikbudristek yang mengungkapkan jika "Kuliah itu merupakan Tertiary Education" yang semakin memperkeruh keadaan. Pasalnya, ungkapan ini dinilai kurang pantas diucapkan terlebih lagi dari beliau yang memiliki jabatan di bidang yang sedang dikeluhkan.Â
Jika dilihat dari segi pandang masyarakat, mereka tentu saja akan menganggap jika ini tidak selaras dengan kondisi yang ada di Indonesia. Misalnya saja disaat para lulusan SMA/SMK dan yang ingin melanjutkan kehidupan setelah lulus sekolah kemudian memutuskan untuk berkerja seringkali merasa kesulitan untuk mendapatkan lowongan pekerjaan karena adanya pernyataan "Diutamakan bagi lulusan S1" yang ada dibeberapa lembaga. Bahkan bagi mereka fresh graduate yang lulus dari bangku kuliah pun setelah 1 tahun berjalan juga kerap kali merasa kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan. Terlebih lagi jika mereka berasal dari PTN/PTS yang masih belum dikenal secara luas.
Lalu bagaimana bisa mereka menyebut jika kuliah merupakan kebutuhan tersier? Hati generasi muda mana yang tidak kecewa jika perjuangan mereka untuk belajar masih dihalangi dengan harga yang kompetitif ini? Bahkan hak untuk mendapat kesempatan bersuara juga selalu ditutupi dengan begitu banyaknya klarifikasi-klirifikasi yang tidak ada ujungnya. Beginikah beratnya akses keadilan untuk berpendidikan di negeri ini? Akankah NKRI ini mampu mencapai SDGs Poin 4 yaitu Pendidikan Berkualitas jika sistem dasarnya saja sudah lemah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H