Mohon tunggu...
Humaniora Pilihan

Satu Minggu Satu Buku dan Satu Bulan Satu Hari Buku

14 Oktober 2017   21:03 Diperbarui: 14 Oktober 2017   21:30 1823
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
dokumentasi pribadi

Menumbuhkan budaya baca di tingkat sekolah dasar memiliki beragam faktor tantangan. Berdasarkan hasil  survei minat baca oleh UNESCO pada tahun 2012, Indonesia mendapatkan hasil 0,001%, menempati posisi 60 dari 61 negara disurvei. Survei dalam negeri oleh BPS juga mencatat bahwa tingkat minat baca anak-anak Indonesia hanya 17,66% jauh lebih rendah dibandingkan minat menonton yang mencapai 91,67%. Tontonan televisi dan beragam permainan pada gawai (gadget) menarik perhatian siswa SD di perkotaan sehingga mengalihkan minatnya dari membaca buku. Hal ini sangat memprihatinkan, padahal membaca adalah modal penting untuk mendapatkan pengetahuan dan pemahaman berbagai ilmu.

Di beberapa daerah, rendahnya minat baca siswa sekolah dasar bukan 100% disebabkan oleh kurangnya minat anak untuk membaca, namun juga dipengaruhi oleh akses buku yang tidak mudah didapatkan. Buku tidak terdistribusi secara menyeluruh terutama ke wilayah pelosok yang tidak mudah dijangkau. Seperti halnya di sekolah tempat saya mengajar saat ini, buku bacaan masih sangat langka.

Sekolah kami baru saja berdiri kurang lebih dua tahun. Perpustakaan pun belum memiliki koleksi buku bacaan untuk siswa. Ketika sekolah mulai memiliki majalah anak-anak, mata mereka bersinar. Mereka dengan antusias bergantian dan berebut untuk membaca. Namun, tentu akan menjadi kebosanan bagi siswa sendiri jika beberapa majalah ini selesai dibaca. Keterbatasan buku bacaan untuk siswa menjadi masalah bagi kami, sebuah SD yang berlokasi di tengah perkebunan sawit di salah satu desa di Provinsi Kalimantan Tengah. 

Toko buku terdekat di kota kabupaten kami baru bisa dicapai dengan menempuh 4 jam perjalanan darat dengan biaya transportasi yang mahal. Anak-anak bukan tidak suka membaca, tetapi ketersediaan buku yang terbatas yang menghalangi mereka untuk membaca. Namun, meski demikian kami tetap berusaha mengajak siswa untuk terus membaca dengan menggunakan beberapa buku yang masih ada di sekolah sambil sedikit demi sedikit berupaya mengisi koleksi buku perpustakaan. Seperti itulah sedikit gambaran literasi di sekolah-sekolah daerah.

Tingkat literasi mencerminkan kondisi sebuah negara. Idealnya membaca harus menjadi budaya bagi anak bangsa, sehingga mempercepat kemajuan Indonesia sebagai negara berkembang. Berbagai gerakan donasi buku anak ke pelosok negeri sudah muncul sebagai upaya masyarakat memecahkan masalah distribusi buku di berbagai daerah. Sedangkan kunci dari permasalahan di perkotaan adalah orang tua.

Meskipun begitu, seperti kita ketahui bersama, kesadaran orang tua akan pentingnya membaca bagi anak juga belum sepenuhnya muncul karena membaca belum menjadi budaya masyarakat di Indonesia. Bukan rahasia bahwa buku tidak menjadi kebutuhan penting mayoritas penduduk Indonesia, bahkan mungkin tidak pernah ada dalam daftar belanja. Disinilah peran guru dan sekolah menjadi penting sebagai fasilitator dalam usaha menumbuhkan budaya minat baca anak.

Mewujudkan budaya baca tak lepas dari langkah pembiasaan yang sangat penting dalam meningkatkan minat membaca anak. Jika membaca sudah menjadi rutinitas harian di sekolah dasar, maka siswa yang tadinya tidak tertarik membaca lama-lama menjadi terbiasa. Dengan terbiasa diharapkan anak-anak akan menjadi senang membaca dengan sendirinya. Sekolah-sekolah di berbagai negara maju telah menerapkan kurikulum literasi yang intens bagi para siswa. Sebagai contoh di Negara Australia, sejak tingkat prasekolah setiap hari anak dibawakan satu buku yang dipilihkan oleh guru sebagai PR membaca dengan catatan bahwa orang tuanya yang membacakan atau membimbingnya untuk membaca. Namun demikian, mewajibkan pembimbingan anak untuk membaca sejak dini bukan satu-satunya cara. 

Finlandia, negara yang mendapat peringkat pertama The World's Most Literate Nations (WMLN) di tahun 2016 melalui riset Jhon W. Miller, melakukan pendekatan berbeda dari negeri kanguru. Anak-anak prasekolah memperoleh porsi bermain di sekolah jauh lebih banyak daripada porsi belajar membaca. Di negara paling terpelajar dalam bidang literasi ini mereka hanya dibimbing untuk membaca ketika mereka menunjukkan ketertarikan untuk belajar membaca.

 Sebagai upaya menumbuhkan budaya baca, pemerintah Indonesia melalui Dirjendikdasmen mulai tahun 2016 tengah menggalakkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS). Program ini sebagai pengembangan Program Pengembangan Budi Pekerti yang tertuang dalam Permendikbud no 23 tahun 2015. Dalam buku panduan pelaksanaan GLS di Sekolah Dasar terdapat tiga tahapan pelaksanaan yaitu pembiasaan, pengembangan, dan pembelajaran. Langkah-langkah kegiatan pembiasaan yang bisa dilakukan sekolah yaitu :

  • Membaca buku non pelajaran 15 menit sebelum pelajaran dimulai setiap hari. Pelaksanaannya bisa guru membacakan (read aloud) atau siswa membaca sendiri dalam hati (sustained silent reading).
  • Menata sarana dan lingkungan kaya literasi dengan mengelola perpustakaan SD, sudut baca kelas yaitu sudut di ruangan kelas yang dilengkapi koleksi buku yang ditata menarik dan area baca berupa mading (majalah dinding), keranjang baca, maupun gerobak baca. Begitu juga di UKS, kantin dan kebun sekolah siswa harus bisa mendapatkan pengetahuan baik itu kampanye hidup sehat maupun panduan berkebun.
  • Menciptakan lingkungan kaya teks dengan memasang karya peserta didik, poster-poster pendidikan, kliping, label nama anak dan nama benda dll.
  • Memilih buku bacaan di SD. Guru bisa mendampingi siswa kelas rendah memilih buku di perpustakaan.   
  • Pelibatan publik dengan melibatkan komite sekolah, orang tua, alumni, dan tokoh masyarakat sebagai relawan dalam program GLS.

Sejalan dengan langkah pembiasaan, dilaksanakan pula langkah-langkah pengembangan yang termasuk diantaranya :

  • Mendiskusikan cerita, bisa dikembangkan dengan siswa seolah-olah menjadi pengarang atau tokoh ceritanya. Setelah mereka membaca, persilahkan anak untuk melatih imajinasinya misalnya dengan mengubah sifat tokoh antagonis maka bagaimana jalan cerita selanjutnya biarkan anak berkreasi.
  • Catatan setelah membaca. Anak bisa diberikan tugas membuat berbagai catatan yang berhubungan dengan buku yang mereka baca. Contoh catatannya bisa tentang tokoh, kutipan favorit, membuat peta cerita, atau daftar kata-kata sulit yang mereka temui.
  • Pemberian penghargaan (reward)pada anak sebagai senjata ampuh meningkatkan rasa percaya diri anak dalam awal pembiasaan membaca. Sekolah maupun orang tua bisa memberikan hadiah tertentu, bisa berupa buku bacaan baru atau sekedar kartu kecil ucapan selamat pada anak karena sudah membaca sekian buku, telah dapat menulis resume dengan baik, atau mencapai level tertentu yang telah disepakati sebelumnya.

Pada tahap terakhir yaitu pembelajaran, sekolah meningkatkan kemampuan literasi dengan menggunakan buku pengayaan dan strategi membaca di semua mata pelajaran. Sebagai peningkatan kemampuan literasi kita bisa mengajak anak-anak untuk menuangkan pikiran mereka dalam bentuk tulisan. Kita berikan mereka pemahaman bahwa semakin banyak mereka membaca maka semakin banyak materi yang bisa mereka tulis dan semakin baik tulisan mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun