Melihat jumlah penduduk muslim di Indonesia yang merupakan mayoritas, tidak mengherankan apabila potensi Zakat, Infaq, dan Sodaqah (ZIS) yang diproyeksikan memiliki nilai yang besar. Seperti yang disebutkan oleh Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) proyeksi pengumpulan zakat di tahun 2021 adalah sebesar Rp327 triliun. Namun, realitanya jika dilihat dari outlook data zakat 2021 oleh BAZNAS besar pengumpulan zakat tahun 2021 lalu hanya mencapai angka Rp14,1 triliun yang mana hanya mencapai 4,28% dari yang telah diproyeksikan.
Belum optimalnya pengumpulan dana Zakat ini dapat diidentifikasi dari beberapa aspek. Seperti dari segi pemasaran, kurangnya edukasi dan literasi mengenai ZIS khususnya jenis-jenis zakat yang wajib dibayarkan selain dari zakat fitrah. Selain itu, masih banyak masyarakat yang juga belum menaruh kepercayaan pada Organisasi Pengelola Zakat (OPZ) atau Lembaga ZIS seperti BAZNAS dan LAZ ini dan lebih memilih menyalurkannya secara langsung atau melalui amil tradisional seperti masjid. Penyaluran secara langsung menyebabkan tidak tercatatnya dana zakat dalam data penghimpunan zakat (Kashif, 2018).
Dari segi kelembagaan kurangnya dukungan dari regulasi. Di mana pada UU No. 23 Tahun 2011 hanya terbatas pada peraturan mengenai pengelolaan wajib pajak. Tidak tercapainya proyeksi pengumpulan dana zakat ini juga dikarenakan oleh kebijakan Nomor Pokok Wajib Zakat yang belum bersifat memaksa dan tersentral sehingga hal ini menyebabkan sulitnya memetakkan muzakki.
Dari segi keuangan, permasalahan yang menjadikannya sebagai kelemahan dari Lembaga ZIS adalah kurangnya transparansi dalam pengelolaan. Kurangnya transaparansi dalam pengelolaan zakat ini dapat diatasi dengan menerapkan sebuah sistem penghimpunan yang kredibel dan transparan. Serta untuk pelaporan yang perlu dilakukan adalah penyempurnaan dan penerapan standar pelaporan.
Perlunya peningkatan edukasi dan literasi mengenai ZIS dan LAZ itu sendiri. Hal ini dikarenakan menurut penelitian Isthikomah & Ansori (2019) peningkatan literasi ini dapat berpengaruh positif terhadap kepercayaan masyarakat kepada Lembaga ZIS/ OPZ sehingga nantinya akan mengoptimalkan pengumpulan Zakat serta berdampak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perekonomian suatu negara (Mahfud, et al. 2020). Hal terpenting untuk dapat meningkatkan kepercayaan dari masyarakat adalah dengan meningkatkan kinerja dan profesionalisme serta mengkomunkasikan hasilnya melalui media-media yang ada.
Edukasi ini dapat juga dilakukan dengan memanfaatkan kemajuan teknologi komunikasi saat ini karena dilihat menurut survey APJII penetrasi internet di Indonesia mencapai 73,7%. Selain untuk media edukasi, teknologi informasi dan komunikasi ini juga dapat digunakan untuk mempermudah para muzakki untuk mengumpulkan zakat, sebagai contoh dengan teknologi keuangan terkini yaitu QRIS pembayaran zakat dapat dilakukan dengan hanya scan kode QR.
Peningkatan pada SDM Lembaga ZIS juga perlu dilakukan baik dengan cara motivasi agar memiliki dispilin kerja yang lebih baik lagi, peningkatan mental spiritual, serta pengawasan pada penghimpunan zakat itu sendiri. Hal ini perlu dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme serta kredibilitas dari Lembaga ZIS itu sendiri.
Perlunya dukungan dari regulasi terkait salah satunya dengan cara membuat sebuah peraturan bagi muzakki atau orang yang mampu untuk secara wajib mengeluarkan zkat bukan hanya sebuah kesukarelaan (Ascarya & Diana Yumanita, 2018). Selain itu, perlunya dukungan terintegrasi dari pemerintah. Hal ini dapat dilakukan dengan cara harmoniasi kebijakan dan program zakat dari Kemenag, BAZNAS, KNKS, MUI, Bank Indonesia atau Lembaga Keuangan lainnya, dan stakeholder terkait lainnya.
Regulasi juga harus lebih fokus pada penegakan aturan dan perangkat pengawasan terhadap lembaga terkait. Selain itu, mengenai ambiguitas otoritas pengawasan antara Kemenag dan BAZSAS juga harus diperjelas.
Sumber Data:Â
APJII. 2020. Laporan Survey Internet APJII 2019-2020 (Q2). Jakarta: Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia.