Kasus pemerkosaan remaja 15 tahun di Sulawesi Tengah oleh 11 orang dewasa yang tengah viral akhir-akhir ini telah menambah deretan panjang daftar kasus pemerkosaan anak di bawah umur. Masyarakat merasa miris atas kasus yang terjadi. Bagaimana tidak? Korban baru berusia 15 tahun, ditambah lagi pemerkosaan sudah mulai dilakukan di tahun 2022. Anak-anak di bawah umur menjadi kelompok yang paling rentan terhadap kekerasan seksual, karena mereka selalu diposisikan sebagai sosok lemah.
Berdasarkan catatan KemenPPPA, kasus kekerasan seksual terhadao anak mencapai 9.588 kasus pada 2022. Jumlah tersebut mengalami kenaikan dari tahun sebelumnya, yakni 4.162 kasus. Fenomena kenaikan kasus ini salah satunya disebabkan minimnya edukasi tentang pendidikan seks bagi anak. Pendidikan seks bagi anak-anak masih dianggap tabu oleh sebagian masyarakat Indonesia. Padahal, pendidikan seks sejak dini dapat menjadi pengetahuan dasar bagi anak tentang batasan dirinya dan orang lain.
Sama halnya anak-anak pada umumnya, anak berkebutuhan khusus juga mengalami perkembangan secara seksual. Kasus kekerasan seksual pada anak berkebutuhan khusus pun tidak terelakkan. Maka dari itu betapa pentingnya pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus.Â
Hal pertama dari pentingnya pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus yaitu membangun kesadaran tentang tubuh dan privasi. Ini penting untuk mengembangkan rasa hormat terhadap tubuh mereka sendiri dan orang lain.Â
Kedua, mengajarkan batasan dan hak-hak pribadi, termasuk hak menolak sentuhan yang tidak diinginkan dan hak menjaga privasi mereka. Anak berkebutuhan khusus dapat belajar tentang batasan-batasan yang sehat dalam hubungan sosial.Â
Ketiga, menjaga kesehatan seksual. Pendidikan seks memberikan pemahaman tentang kesehatan reproduksi, menjaga kebersihan pribadi, dan mencegah penyebaran penyakit. Keempat, meningkatkan kemandirian anak dalam mengelola hubungan sosial dan kehidupan pribadi mereka. Ini melibatkan pembelajaran tentang keterampilan komunikasi, pengambilan keputusan, mengenali perbedaan antara hubungan sehat dan tidak sehat. Kelima, pendidikan seks yang inklusif dapat membantu mengurangi stigma dan diskriminasi yang dihadapi anak berkebutuhan khusus. Keenam, yang paling menjadi perhatian yaitu mencegah pelecehan atau kekerasan seksual pada anak berkebutuhan khusus.
Dengan pemahaman yang tepat tentang mengidentifikasi situasi yang tidak aman dan apa yang harus dilakukan jika merasa tidak nyaman, anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar melindungi diri mereka sendiri. Namun pendidikan seks pada anak berkebutuhan khusus tentunya menghadapi tantangannya tersendiri.Â
Salah satunya yaitu ketidaktahuan orangtua dan guru tentang pentingnya pendidikan seksual itu sendiri. Selain itu kurangnya sumber daya dan kurikulum yang sesuai juga menjadi tantangan pendidikan seksual anak berkebutuhan khusus. Meskipun begitu, kita tetap berharap kedepannya sama-sama dapat berkolaborasi dengan berbgai pihak dalam meningkatkan kesadaran akan pentingnya pendidikan seksual bagi anak berkebutuhan khusus.
Dengan memperhatikan pentingnya pendidikan seks bagi anak berkebutuhan khusus, kita dapat memberikan mereka kesempatan yang sama untuk memahami dan mengelola asek-aspek penting dalam kehidupan seksual dan hubungan sosial mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H