Mohon tunggu...
annisa zulfa shabrina
annisa zulfa shabrina Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswi

mahasiswi universitas islam negri syarif hidayatullah jakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Mengapa Masyarakat Indonesia Masih Sulit Keluar dari Kemiskinan?

26 Juni 2023   22:25 Diperbarui: 26 Juni 2023   22:31 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kemiskinan bukanlah suatu hal yang asing bagi perekonomian Indonesia. kemiskinan secara umum merupakan kondisi dimana seseorang atau sekelompok orang tidak mampu memenuhi hak-hak  untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti kebutuhan makan. Uniknya,tingkat kemiskinan di Indonesia terus mengalami penurunan setelah adanya krisis moneter 1998. Bahkan pada tahun tersebut, penduduk golongan miskin mencapai 23,4% dari populasi Indonesia. Tapi persentase itu terus menurun, tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini sebesar 9,54%, kalau dibandingkan antara era reformasi dan saat ini, selisihnya cukup banyak.

Dengan begitu, apakah kemiskinan di Indonesia semakin menurun? Dan bisa dikatakan Indonesia terbebas dari kemiskinan?. Tergantung dari perspektif mana kita melihatnya. Jika kita berpedoman pada definisi kemiskinan dan data menurut data dari BPS, dapat dikatakan kemiskinan di Indonesia memang menurun setiap tahunnya. Menurut BPS, garis kemiskinan periode September 2022 tercatat sebesar Rp. 535.547,00 per kapita per bulan. Yang berarti, orang dapat dikatakan miskin apabila pengeluaran maksimal perbulan nya itu sebesar Rp. 535.547,00 atau Rp 18.000 per hari. Jadi orang yang pengeluaran per hari nya lebih dari Rp. 18.000 dapat dikatakan kaya. Padahal nyatanya, pengeluaran Rp.18.000 perhari itu sangatlah minim, mungkin jika dipergunakan untuk makan, hanya dapat sekali makan, dan tidak dapat menutupi biaya lain seperti obat, listrik, dan lain-lain. Maka, untuk menilai apakah kemiskinan menurun, kita tidak bisa terpaku pada definisi menurut BPS saja, namun juga perlu meninjau fakta dilapangan.

Lalu apakah bisa Indonesia terbebas dari masalah kemiskinan?. Mungkin bisa, namun harus melewati banyak tahap dan memakan banyak waktu. Karena menurut Rizky et al., (2019), 40% anak yang lahir dari keluarga miskin akan tetap miskin hingga dewasa. Yang dimana selisih penghasilan antara anak yang terlahir dari keluarga miskin dan berkecupan mencapai 87%. Ini menggambarkan sulit bagi mereka untuk keluar dari jurang kemiskinan. Hal tersebut sungguh memprihatinkan. Terdapat beberapa faktor yang menghambat masyarakat miskin untuk keluar dari jurang kemiskinan (kemiskinan struktural), yakni:

1. Pola pikir atau mindset yang keliru

Sebagian besar penduduk miskin Indonesia cenderung pasrah dan terima nasib atas apa yang terjadi. Mereka menganggap bahwa kemiskinan yang menimpanya itu ialah takdir, padahal masih bisa dirubah jika ada usaha. Tumbuh di keluarga dan lingkungan yang mayoritas nya miskin, membuat mereka menganggap bahwa kondisi kehidupan di sekitarnya adalah sebuah kewajaran dan juga takdir, jadi tidak termotivasi untuk keluar dari lingkup itu. Mudahnya, selagi mereka masih bisa makan dengan teratur, mereka akan menjalani kehidupan tersebut tanpa berusaha lebih keras lagi untuk keluar dari jurang kemiskinan.

2. Sulitnya akses pendidikan

Sulitnya mendapat pendidikan yang berkualitas juga merupakan faktor fundamental. Mereka yang terlahir dari keluarga miskin, sebagian besar hanya mampu sekolah ditempat yang akreditasinya rendah, yang mana kualitas dan fasilitas yang didapat pun berbeda dengan sekolah yang akreditasi nya tinggi, khususnya diperkotaan. Selain itu, pergaulan yang tidak sehat juga sering terjadi pada sekolah dengan akreditasi rendah, seperti bullying, tawuran, dan lain-lain. Tidak hanya itu, mereka yang terlahir dari keluarga miskin susah untuk mendapatkan suasana belajar yang kondusif. Tak jarang dari mereka mengalami kesusahan belajar karena tidak ada akses internet, tidak mampu untuk membeli sarana penunjang pembelajaran yang memadai (smartphone)

3. Keterbatasan akses sumberdaya

Mereka yang berkecukupan, mampu membeli aset dengan bunga cicilan yang rendah. Sedangkan mereka yang miskin, untuk membeli aset, harus menyicil selama bertahunâ‚‹tahun, yang apabila ditotal, bunga yang dibayar hampir setara dengan harga asetnya. Orang kaya yang tinggal diperkotaan juga lebih mudah mendapatkan pinjaman atau modal dari lembaga bank. Beda dengan orang miskin yang belum terjangkau dengan akses perbankan, khususnya yang dipelosok. Banyak dari mereka memutuskan untuk melakukan pinjaman illegal, yang mana itu justru dapat membahayakan mereka karena terjebak pada bunga yang tinggi dan kejaran rentenir, sehingga ekonomi mereka akan semakin terpuruk.Ketiga faktor diatas yang dapat menghambat seseorang untuk keluar dari lingkaran kemiskinan dan semakin memperparah kesenjangan di masyarakat. Kemiskinan struktural ini juga tercermin pada indeks kesenjangan ekonomi yang disebut ratio gini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun