Ide untuk menjadikan dinar emas sebagai mata uang bersama negara Islam yang digunakan sebagai alternatif alat pembayaran dalam transaksi perdagangan, telah diajukan dalam persidangan Organisasi Konferensi Islam (OKI) di Kuala Lumpur, Malaysia, 10 Oktober 2003 lalu.
Ide tersebut dilontarkan Perdana Menteri Malaysia saat itu, Dr Mahathir Mohamad. Usulan tersebut kembali menggema pada Konferensi ke 12 mata uang ASEAN di Jakarta pada 19 September 2005.Â
Kali ini penggagasnya adalah Menteri Negara BUMN, Sugiharto. Beliau menilai bahwa dengan kondisi keuangan yang diliputi oleh ancaman inflasi setiap saat dan serangan spekulan yang unpredicted, maka penggunaan dinar-dirham perlu menjadi pertimbangan kita semua. (Republika dalam Mursid & Muhammad, 2013).
Sama halnya dengan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang tanpa kehadiran dinar dan dirham sangat sukar membebaskan dirinya dari praktek-praktek riba, gharar, dan gambling. Sementara itu, kebutuhan akan adanya dinar emas dan dirham perak sebagai mata uang di Indonesia agaknya sangat mungkin diterapkan, mengingat Indonesia adalah Negara dengan mayoritas penduduk muslim terbesar di dunia.
Setelah sempat vakum dari peredaran beringingan dengan runtuhnya Kekhalifahan Ustmaniyah, koin dinar emas dan dirham perak kemudian kembali dicetak pada tahun 1992 oleh kaum Muslimin di Granada, Spanyol. Sampai saat ini koin dinar dan koin dirham telah dicetak di berbagai tempat, termasuk di Dubai, Malaysia, dan Indonesia. Secara khusus, Indonesia memiliki prospek yang bagus sebagai tempat terbaik bagi penerapan ekonomi berbasis dinar emas dan dirham perak atau muamalat.
Di Indonesia sendiri, sesungguhnya sejak tahun 1999 sudah mulai ada gerakan untuk menggunakan dinar dirham sebagai alat tukar dan alat transaksi. Gerakan tersebut di prakarsai oleh beberapa tokoh misalnya Zaim Saidi dan lain-lain yang kemudian meluas dan dikenal berbagai lapisan masyarakat, sehingga pada ahirnya terbentuklah PT. Islamic Mint Nusantara (IMN) yang merupakan lembaga pencetakan Dinar Dirham di Indonesia dengan berbagai macam produknya, misalnya Wakala atau yang disebut kios dinarfrst dan sebagainya. (Mursid & Muhammad, 2013).
Selain PT. Islamic Mint Nusantara, menurut Hariadi (dalam Zami, 2018) PT. Aneka Tambang TBK juga turut memproduksi kedua logam ini, yang secara teknologi dan penguasaan bahan mampu memproduksi Dinar dan Dirham dengan kadar dan berat yang sesuai dengan standar Dinar dan Dirham di masa awal-awal Islam. Standar kadar dan berat Dinar dan Dirham di Indonesia tidak hanya di sertifikasi secara nasional oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) tetapi juga oleh lembaga sertifikasi logam mulia internasional yang sangat diakui yaitu London Bullion Market Association (LBMA). Jenis koin Dinar dan Dirham yang telah dicetak dan diedarkan di Indonesia terdiri atas:
Koin Dinar Emas dengan satuan 2, 1, dan 1/2Dinar.
Koin Dirham Perak dengan satuan 1/6, 1/2, 1, 2, dan 5 Dirham
Sementara untuk standarisasi Dinar dan Dirham dunia saat ini telah dilakukan oleh World Islamic Trading Organization (WTO), yang bermarkas di London. Peredaran kembali Dinar dan Dirham itu, bila sukses dan berhasil, dapat dipastikan akan mempengaruhi sistem moneter dunia, dan bisa jadi mengubah tatanan ekonomi politik global. (Saidi dalam Zami, 2018).
Kelegalan Dinar dan Dirham di Indonesia Sebagai Alat Tukar
Setelah munculnya Dinar-Dirham di Indonesia, banyak toko-toko yang mempersilahkan para pelanggannya untuk membayar menggunakan Dinar dan Dirham. Namun apabila melihat dari peraturan yang berlaku di Indonesia, apakah hal ini diperbolehkan? Menurut Direktur Departemen Pengedaran Uang Bank Indonesia, Adnan Djuanda, selama masih di kawasan negara Indonesia, hanyalah rupiah yang menjadi alat pembayaran yang sah. Bahkan katanya, ancaman kurungan penjarapun bisa diberikan kepada siapa saja yang menggunakan alat pembayaran non rupiah. Adnan juga mengecualikan, transkasi yang bersifat internasional dan telah ada kesepakatan sebelumnya diperbolehkan untuk menggunakan alat transaksi selain rupiah. (zul/dru, 2012).