Sejarah Konflik Saudara antara Etnis Hutu dan Etnis TutsiÂ
Film Hotel Rwanda menceritakan mengenai genosida yang terjadi di Rwanda dalam rentang waktu 7 April sampai 15 Juli 1994. Dalam jangka waktu tersebut diperkirakan terdapat 800.000 orang yang tewas. Sebelumnya mari kita bahas pengertian dari genosida itu sendiri, menurut Genocide Convention 1948 genosida diartikan sebagai tindakan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama. Dari pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa tindakan genosida memiliki cakupan yang luas bukan hanya pembunuhan akan tetapi juga mencegah adanya keturunan ataupun tindakan lain yang dianggap membahayakan nyawa.
Rwanda merupakan negara yang terletak di Afrika bagian Timur yang sekitar 85% penghuninya adalah etnis Hutu, selain itu adanya etnis lain seperti Tutsi, Twa, dan Pigmi. Genosida yang terjadi di Rwanda dilakukan oleh etnis mayoritas Hutu kepada etnis minoritas Tutsi. Asal muasal ketegangan antara Hutu dan Tutsi telah berlansung sejak lama, pada abad ke-18 Rwanda merupakan negara berbentuk monarki dan Sebagian besar pimpinan pemerintahana adalah etnis Tutsi. Kemudian pada abad ke-20 Belgia menjajah Rwanda dan mengendalikan negara tersebut melalui raja-raja dari etnis Tutsi. Belgia memandang etnis Tutsi lebih unggul daripada Hutu, Â Tutsi diberikan kesempatan yang lebih luas dalam akses pendidikan dan pekerjaan, selain itu Belgia juga banyak menempatkan orang-orang Tutsi di pemerintahan. Hal tersebut tentu membuat etnis Hutu sebagai mayoritas dalam negaranya merasa cemburu dan ingin membalas dendam.
Kemudian pada tahun 1959 terjadinya Revolusi Rwanda dan memaksa Belgia untuk mengganti banyak kepala pemerintahan dengan etnis Hutu untuk meredam konflik dan menyelenggarakan pemilu pada tahun 1960. Pemilu tersebut dimenangkan oleh Gregoire Kayibanda menjadi presiden Rwanda dari etnis Hutu dan sekaligus mengakhiri status monarki Rwanda dan merdeka dari Belgia. [1] Akibat dari revolusi tersebut membuat etnis Tutsi tersisih dan sebagian besar mengungsi ke berbagai negara tetangga, namun juga adanya beberapa etnis Tutsi yang bertahan di Rwanda. Beberapa orang dari etnis Tutsi kemudian membentuk kelompok pemberontak yang dikenal sebagai Rwanda Patriotic Front (RPF) yang berbasis di Uganda. RPF kerap berkonflik dengan etnis Hutu sampai membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turun tangan untuk menyelenggarakan perdamaian, namun hal itu gagal.Â
Sipnosis Film: Hotel Rwanda
Hotel Rwanda menceritakan tokoh utamanya yaitu Paul Rusesabagina yang menggunakan pengaruhnya untuk menyelamatkan sekitar 1.200 orang dari genosida di Rwanda. Paul berasal dari etnis Hutu, akan tetapi dia tidak memusuhi etnis Tutsi bahkan istrinya berasal dari Tutsi. Paul merupakan seorang manajer hotel bernama de Milles Collines yang merupakan hotel milik Belgia. Hotel tersebut terkenal sebagai hotel mewah yang sering dijadikan tempat singgah para bangsawan, turis dan juga digunakan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk mengkampanyekan perdamaian di Rwanda. Dalam menjalankan pekerjaannya, paul sering kali di tawari oleh rekan bisnisnya untuk bergabung dalam kelompok ekstremis Hutu yang bernama Interhamwe, dimana kalompok tersebut secara terang-terangan membenci kaum Tutsi, namun Paul selalu enggan untuk bergabung.
Pada awal film ini menunjukkan keadaan di Rwanda yang semakin memanas, etnis Hutu semakin menunjukkan kebenciannya kepada Tutsi, sampai PBB menurunkan militer ke Rwanda untuk mecegah terjadi perang saudara. Upaya perdamaian yang diinisiasi PBB kemudian menemukan titik terang ketika pada tahun 1994 presiden Rwanda Juvenal Habyarimana akan menyetujui perdamaian dengan RPF yang kesepakatannya akan dilakukan di Tanzania. Kesepakatan perdamaian yang akan ditanda tangani tersebut membuat adanya beberapa asing yang akan meliput di Rwanda dan akan menginap di Hotel tempat Paul bekerja. Â Namun pada tanggal 6 April 1994 saat Kembali dari Tanzania, pesawat yang ditumpangi presiden Habyarimana ditembak dan jatuh yang menyebabkan meninggalnya presiden. Atas peristiwa tersebut militer Rwanda dan para ekstermis Hutu menuduh bahwa RPF sebagai dalang dibalik penembakan tersebut dan konflik antara Hutu dan Tutsi pecah yang kemudian dimulainya terjadinya genosida. Para ekstermis hutu meyakini bahwa etnis Tutsi harus dimusnahkan untuk mempertahankan kekuasaan Hutu, selain Tutsi mereka juga mengincar kelompok Hutu moderat yang menghambat aktivitas mereka dan etnis minoritas lain.Â
Pada awal menyebarnya informasi kematian Presiden Habyarimana, istri Paul dan para tetangganya yang beretnis Tutsi berlindung di rumah Paul. Para tetangga takut karena mereka diincar dan rumahnya dibakar oleh Hutu, mereka menganggap bahwa Paul sebagai orang Hutu yang dapat dipercaya yang dapat melindungi mereka. Para ekstremis Hutu melakukan propaganda melalui radio yang menyatakan kematian Presiden Habyarimana disebabkan oleh pemberontak Tutsi dan mengajak semua kalangan Hutu untuk turut melakukan pembantaian kepada Tutsi yang ditemuinya. Kemudian melalui siaran TV pejabat PBB yang menyatakan bahwa militer Rwanda secara diam-diam telah melatih dan memberikan senjata kepada internalhamwe, akan tetapi Jendral Angkatan darat Rwanda yang bernama Agustin Bizimungu membantah pernyataan tersebut, dan menyatakan pihak militer mendukung adanya kesepakatan perdamaian yang diajukan Presiden Habyarimana.Â
Paul berusaha melindungi keluarga dan tetangganya yang beretnis Tutsi dengan membahwa mereka menuju hotel tempatnya bekerja untuk berlindung, terlebih di hotel tersebut adanya utusan militer dari PBB yang menginap. Untuk melancarkan aksinya Paul menyuap pejabat militer untuk membiarkan dia membawa keluarga dan tetangga ke hotel. Keadaan di hotel juga cukup kacau, para turis yang menginap merasa khawatir karena konflik yang sedang terjadi dan memungkinkan bandara Rwanda akan tutup sehingga mereka tidak mempunyai akses untuk keluar dari Rwanda. Selain itu banyaknya permintaan kamar hotel dari etnis Tutsi yang ingin berlindung dari kejaran Hutu.
Semakin hari konflik antara Hutu dan Tutsi semakin memanas, di sisi lain Kolonel Oliver  yang merupakan pimpinan militer yang di utus PBB mengalami kewalahan dalam menghadapi konflik dan membawa kaum Tutsi untuk mengungsi di hotel de Milles Collines yang dianggap sebagai tempat paling aman. Selain itu Madame Archer yang merupakan kenalan paul yang berasal dari Comite International Geneva (merupakan organisasi kemanusiaan internasional yang memiliki misi untuk memberi bantuan kemanusiaan kepada mereka yang membutukan termasuk dalam korban konflik bersenjata)  membawa banyak anak yatim beretnis Tutsi dari panti asuhan,  dan meminta bantuan Paul untuk melindungi mereka di hotel. Hotel de Milles Collines menjadi tempat yang aman karena dilindungi oleh militer dari PBB, selain itu hotel tersebut adalah milik pemerintah Belgia, sehingga militer Rwanda dan interhamwe juga tidak berani untuk menyerang hotel tersebut.
Seiring berjalannya waktu Kolonel Oliver merasa kuwalahan dalam menghadapi konflik yang terjadi, dan semakin hari hotel semakin banyak didatangi  orang-orang Tutsi untuk berlindung. Hingga kemudian datanglah para tentara asing untuk membantu, akan tetapi yang membuat Paul dan Kolonel Oliver kecewa adalah tentara tersebut hanya akan mengevakuasi warga negara asing yang ada di hotel dan pergi. Mereka akan membiarkan pembantaian terhadap Tutsi terus terjadi, meninggalkan orang-orang yang seharusnya mereka bantu. Kemudian kisah berlanjut dengan bagaimana Paul dapat menggunakan relasi dan pengaruhnya untuk melindungi para kaum tutsi yang mengungsi di hotel tempat dia bekerja yang menjadi tempat pengungsian. Dalam keadaan tersebut paul memiliki dua peran disatu sisi dia harus professional sebagai manajer hotel untuk menjaga kenyamanan tamu terlebih saat terjadinya konflik, dan di sisi lain Paul harus melindungi para pengungsi di hotel.