Mohon tunggu...
Annisa Ulil Amri
Annisa Ulil Amri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Mahasiswa Universitas Negeri Semarang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perempuan, Kodrat, dan Patriarki

14 Desember 2021   16:01 Diperbarui: 14 Desember 2021   16:03 661
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Menurut kalian, apakah pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti halnya memasak, mencuci, mengepel, dan lain-lain itu merupakan sebuah kewajiban dan kodrat dari seorang perempuan atau seorang istri? Mari kita diskusikan lebih lanjut. Sebelumnya, jika kalian suka menonton video TikTok, pasti setidaknya kalian tahu tentang hal-hal yang sedang trending di media sosial, tentang apapun hal itu. Lalu, belakangan ini ada sebuah video TikTok yang viral karena di dalam video tersebut ada seorang laki-laki yang menyatakan bahwa perempuan atau istri itu pekerjaannya hanya di rumah, memasak, melayani suami, mencuci, dan sejenisnya. Bahkan sampai ada suami yang melarang istrinya bekerja setelah menikah, demi fokus mengurus kehidupan rumah tangga mereka. Apakah hal-hal tersebut benar adanya? Apakah seorang perempuan atau istri harus selalu dituntut untuk hanya mengerjakan urusan rumah tangga?

Di dalam budaya Jawa Kuno, dikenal juga dengan yang namanya 3M bagi perempuan. Yakni masak, macak, dan manak (masak, berdandan, dan beranak). 3M ini seolah mengibaratkan kewajiban dari seorang perempuan atau istri yang harus dipatuhi dalam hidupnya. Pada zaman dulu, sebelum adanya emansipasi wanita, utamanya di daerah Jawa, para kaum perempuan semasa hidupnya hanya diperbolehkan untuk melakukan 3M tersebut. Selain itu, kaum perempuan juga dilarang untuk mengenyam pendidikan tinggi, bahkan dilarang untuk bersekolah.

Hanya kaum laki-laki saja yang boleh dan harus mendapatkan kedudukan yang tinggi, terutama di sosial masyarakat. Hanya kaum laki-laki pula yang ditugaskan untuk bekerja, mencari jati diri mereka, melakukan hobi, meraih cita-cita, dan lain sejenisnya. Budaya ini selalu diturunkan dan memunculkan stigma bahwa kaum perempuan merupakan kaum yang lemah dan rendah, hanya boleh melakukan pekerjaan rumah tangga, dan sejenisnya. Budaya ini sangat sulit untuk diubah ataupun dihilangkan, karena mayoritas masyarakat telah melakukannya secara turun-temurun dan secara tidak langsung, mereka menerima budaya yang sangat merendahkan kaum perempuan tersebut. Budaya inilah yang dikenal dengan budaya Patriarki.

Sebelum membahas lebih lanjut mengenai budaya Patriarki, mari kita bahas dahulu mengenai sistem kekeluargaan yang ada di bangsa ini. Bangsa Indonesia memiliki beberapa sistem kekeluargaan yang dianut oleh masyarakat, yakni terdapat patrilineal, matrilineal, dan parental. Yang pertama yakni sistem kekeluargaan patrilineal. Sistem patrilineal ini merupakan sistem kekeluargaan yang ditarik dari garis ayah sebagai kepala keluarga, dan juga garis keturunannya. Dalam patrilineal, pihak istri harus mengikuti suami dalam segala hal. Yang kedua ada matrilineal, matrilineal ini merupakan kebalikan dari patrilineal. Matrilineal adalah sebuah sistem kekeluargaan yang ditarik dati garis ibu sebagai kepala keluarga dan juga garis keturunannya. Dalam matrilineal, justru pihak suamilah yang harus mengikuti istri dalam segala hal. Sedangkan yang terakhir yakni sistem kekeluargan parental, yang merupakan gabungan dari sistem patrilineal dan matrilineal. Sistem parental ini ditarik dari garis dua sisi, ayah dan ibu, di mana kedudukan suami dan istri adalah sama derajatnya.

Mayoritas masyarakat/suku yang ada di Indonsia menganut sistem kekeluargaan patrilineal, seperti masyarakat/suku Jawa, Sunda, Betawi, dan lainnya. Namun, terdapat juga masyarakat/suku yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, yakni suku Minang. Suku Minang hingga sekarang masih menjalankan pihak ibu sebagai pemegang kekuasaan dalam sebuah keluarga. Memang jarang masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan matrilineal, karena dalam sejarah Indonesia, pihak-pihak penjajah juga menurunkan tradisi sistem kekeluargaan Patrilineal yang sangat kuat dan berpengaruh untuk masa depan. Lalu, apa hubungannya dengan pekerjaan perempuan seperti memasak, mencuci, dan lainnya? Mari kita kembali ke topik awal mengenai peran perempuan.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, mayoritas masyarakat Indonesia menganut sistem kepercayaan Patrilineal, pemegang kekuasaan dalam sebuah rumah tangga adalah ayah. Dalam Patrilineal, biasanya peran ayah/suami lebih unggul dari peran ibu/istri, seperti bekerja, mengatur arah rumah tangga, dan sejenisnya. Sedangkan peran ibu/istri biasanya berhubungan dengan pekerjaan rumah seperti memasak, mengurus anak, dan sejenisnya. Jika sistem ini dijalankan dengan benar dan tidak berlebihan, maka masih dapat dianggap bahwa sebuah keluarga normal yang menjalankan peran masing-masih tanpa adanya batasan yang ketat. Namun, jika terdapat sebuah sistem keluarga Patrilineal yang sangat ketat, mengatur apapun dalam rumah tangga mereka hingga sudut terkecil, misalnya, sang istri tidak boleh melakukan hobinya, sang istri dilarang keras untuk bekerja, dan sang istri dilarang untuk mencapai cita-citanya setelah menikah, ini bukanlah Patrilineal lagi, namun ini disebut Patriarki.

Patriarki berasal dari kata patriarkat, yakni struktur yang menempatkan peran laki-laki sebagai penguasa tunggal, sentral, dan segala-galanya. Sistem patriarki yang mendominasi kebudayaan masyarakat menyebabkan adanya kesenjangan dan ketidakadilan gender yang dapat mempengaruhi hingga ke berbagai aspek kegiatan manusia. Laki-laki memiliki peran sebagai kontrol utama di dalam masyarakat, sedangkan perempuan hanya memiliki sedikit pengaruh atau bisa dikatakan tidak memiliki hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan psikologi, bahkan termasuk di dalamnya institusi pernikahan. Hal ini menyebabkan perempuan diletakkan pada posisi subordinat atau inferior. Pembatasan-pembatasan peran perempuan oleh budaya patriarki membuat perempuan menjadi terbelenggu dan mendapatkan perlakuan diskriminasi (Sakina & A., 2017).

Dengan adanya Ptriarki, peran-peran perempuan sangat ketat dibatasi oleh kaum laki-laki yang dengan bangganya berkuasa penuh atas hak-hak yang dimilikinya. Kaum perempuan menjadi tidak dapat berkembang lebih baik. Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, perempuan jugalah seorang manusia yang memiliki hak, kemampuan, keinginan, bakat, dan lain sebagainya yang harus dikembangkan untuk mencapai apa yang ia inginkan. Pembatasan yang sangat ketat inilah yang menjadikan kaum perempuan tidak dapat berkembang dan hanya terkekang dalam pekerjaan yang itu-itu saja. Seprti, memasak, mencuci, mengurus anak, mengepel, dan lain-lain yang seharusnya hal-hal tersebut dapat dikerjakan bersama dengan sang suami agar dapat tercipta hubungan keluarga yang harmonis.

Contohnya, memasak, memasak bukanlah kodrat dan kewajiban hanya untuk kaum perempuan. Justru memasak adalah kemampuan bertahan hidup yang siapa saja harus dapat menguasainya agar dapat tetap bertahan hidup dan tidak selalu bergantung kepada orang lain. Sama halnya dengan mengurus anak. Mengurus anak seharusnya merupakan peran dari kedua orang tua. Kedua orang tua wajib mengurus anak sesuai dengan perannya masing-masing. Jika seorang anak hanya dibesarkan dengan peran seorang ibu, maka anak tersebut akan kehilangan peran sorang ayah dalam hidupnya. Dan juga sebaliknya. Hal-hal seperti ini juga akan memicu gangguan kesehatan mental sang anak kelak pada saat dewasa. Contoh lain yakni bekerja. Tidak menuup kemunginan seorang istri juga ikut bekerja. Justru, dengan ikut bekerja, penghasilan dan finansial sebuah keluarga anak lebih terjamin dan memiliki opsi lain jika sesuatu buruk terjadi.

Praktik budaya patriarki ini masih berlangsung hingga saat ini, ditengah berbagai gerakan feminis dan aktivis perempuan yang gencar menyuarakan serta menegakkan hak perempuan. Praktik ini terlihat pada aktivitas domestik, ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga hasil dari praktik tersebut menyebabkan berbagai masalah sosial di Indonesia, seperti merujuk pada definisi masalah sosial dari buku karangan Soetomo, masalah sosial adalah suatu kondisi yang tidak diingingkan terjadi oleh sebagai besar dari warga masyarakat, yaitu Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), pelecehan seksual, angka pernikahan dini, dan stigma mengenai perceraian.

Hal-hal seperti ini perlu ditindak lanjuti agar dapat menciptakan kedamaian. Feminism hadir untuk menyuarakan ketimpangan sosial mengenai kesetaraan gender ini. Kesetaraan gender mulai digaungkan demi mengangkat derajat perempuan yang telah lama tertindas. Perjuangan melawan budaya patriarki yang menjadikan perempuan sebagai objek yang lemah telah dilakukan sekitar satu abad yang lalu oleh Raden Ajeng Kartini, hingga sekarang tentunya telah terjadi banyak perubahan secara substansi, struktur, maupun kultur mengenai perjuangan perempuan. Meskipun tidak mudah untuk mengubah kebijakan yang bias gender dengan konstruksi yang lebih adil gender dan ramah perempuan, namun hal itu harus tetap diupayakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun