Mohon tunggu...
Annisa SuciSukmawati
Annisa SuciSukmawati Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Istilah Childfree Melejit, Apakah Hanya Pop Culture atau Sebuah Pilihan Hidup?

6 Januari 2023   12:22 Diperbarui: 6 Januari 2023   12:55 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perkembangan teknologi yang begitu pesat dan tidak dapat dihentikan memengaruhi proses komunikasi dalam masyarakat. Teknologi juga melahirkan platform-platform sebagai wadah untuk menyampaikan berbagai ide, kritik, aspirasi, hingga gagasan. Media sosial adalah salah satu platform yang marak digunakan sebagai penyalur pendapat pribadi yang bisa dilihat atau didengar oleh seluruh penggunanya.

Adanya fenomena bebas berekspresi dan berpendapat pada media sosial menghasilkan banyak berita-berita yang mengundang argumen publik. Terutama isu mengenai manusia dinilai memiliki hak atas kehendak hidupnya, tidak terbatas kelas ekonomi, sosial, ataupun gender.

Isu kebebasan dalam berpendapat dan memilih banyak digunakan oleh perempuan untuk melepaskan dirinya dalam "kekangan" masyarakat. Saat ini perempuan bebas untuk melangkah dalam berbagai aspek kehidupan seperti pendidikan dan pekerjaan yang pada akhirnya meningkatkan kedudukan perempuan di tengah masyarakat, khususnya Indonesia.

Perempuan dahulu selalu dikaitkan dengan pekerjaan rumah tangga hingga dilarang bekerja, namun di masa kini perempuan sudah dapat menentukan pendidikan, memilih pekerjaan, memilih pasangan, hingga memutuskan untuk childfree. Istilah "childfree" merupakan sebuah julukan yang merujuk kepada orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak. Dilansir dari Academic Drone Emprit, childfree mencapai 10,461 mention di media sosial pada bulan Agustus 2021. 

Peristiwa pasangan memilih tidak memiliki anak merupakan hal yang tabu karena Indonesia memiliki konstruksi sosial berupa "banyak anak, banyak rezeki" yang menandakan bahwa anak menjadi sebuah "sign" atas keberhasilan sebuah keluarga. Terlebih lagi, mayoritas masyarakat Indonesia merupakan muslim yang memandang bahwa dalam pernikahan, kehadiran seorang anak begitu penting.

Imam Ghazali berpendapat, "Upaya untuk memiliki keturunan (menikah) menjadi sebuah ibadah dari empat sisi. Keempat sisi tersebut menjadi alasan pokok dianjurkannya menikah ketika seseorang aman dari gangguan syahwat sehingga tidak ada seseorang yang senang bertemu dengan Allah dalam keadaan lajang atau tidak menikah. Pertama, mencari ridha  Allah SWT dengan menghasilkan keturunan. Kedua, mencari cinta Nabi SAW dengan memperbanyak populasi manusia yang dibanggakan. Ketiga, berharap berkah dari doa anak saleh setelah dirinya meninggal. Keempat, mengharap syafaat sebab meninggalnya anak kecil yang mendahuluinya." (Al-Ghazali, Ihya' 'Ulumiddin, (Jeddah, al-Haramain, juz II, halaman 25).

Platfrom terbuka seperti Youtube memungkinkan siapa saja untuk menyampaikan pendapatnya terkait isu childfree, salah satunya adalah Gita Savitri Devi atau yang dikenal juga sebagai Gitasav. Gita kerap membagikan opininya melalui berbagai sosial media yang ia miliki. Melalui tayangan Youtube Analisa Channel, Gita menyampaikan bahwa setelah menikah ia dan suami memutuskan untuk childfree. Opini tersebut kemudian menjadi topik hangat di Indonesia. Menurut pendapat Gita, tubuh seseorang adalah miliknya dan setiap orang berhak atas pilihannya masing-masing. Tidak memiliki anak merupakan keputusan besar yang ia dan pasangannya pilih.

Berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan, secara garis besar bila dipadankan dengan mereka yang memilih untuk memiliki anak, orang-orang yang memilih untuk childfree lebih berpendidikan (Abma et al. 1997; Bachu 1999); memiliki kemungkinan lebih tinggi untuk di-hire pada bagian manajerial dan profesional (Bachu 1999; Crispell 1993); memiliki kemungkinan lebih besar bagi kedua pasangan untuk mendapatkan pengasilan yang relatif tinggi (Abma and Peterson 1995; Bachu 1999); tidak terlalu religius (Heaton, Jacobs, and Fu 1992l Moseher, Williams, and Johnson 1992).

Childfree dilakukan tidak semata-mata demi kemerdekaan kaum perempuan. Ada banyak alasan yang mendasari seseorang atau bahkan pasangan memilih untuk tidak memiliki anak. Gitasav mengatakan bahwa dirinya dan pasangan memilih jalan tersebut karena tidak siap dalam merawat anak. Menurutnya memiliki anak membutuhkan banyak persiapan, tak hanya fisik atau finansial saja tetapi juga kesiapan mental. Gita dan suaminya tidak merasa siap mental untuk merawat anak.

Alasan seseorang atau pasangan dalam memilih childfree dipengaruhi oleh kondisi ekonomi, lingkungan seperti mengurangi kemungkinan overpopulasi, pengalaman hasil interaksi sosialnya, dll. Dilansir dari deestories.com childfree merupakan sebuah hasil konstruksi sosial atas ide subjektif hasil interaksi individu lain maupun lingkungan disekitarnya. Hal ini membuat childfree dijadikan sebuah kesepakatan bagi orang-orang yang memilih untuk tidak memiliki anak. Sehingga, childfree menjadi sebuah realitas sosial dalam masyarakat.   

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun