Mohon tunggu...
ANNISA SHABIRAH
ANNISA SHABIRAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - MAHASISWI UNIVERSITAS MERCU BUANA | PRODI S1 AKUNTANSI

43223110043 Kampus Universitas Mercu Buana Meruya | Fakultas Ekonomi dan Bisnis | Prodi S1 Akuntansi | Pendidikan Anti Korupsi dan Kode Etik UMB | Dosen Pengampu : Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Quiz 8 - Diskursus Makna Kepemimpinan Semiotik & Hermenutis Semar

31 Oktober 2024   16:01 Diperbarui: 31 Oktober 2024   16:08 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendahuluan

What, Why & How

Semar, sosok panakawan dalam pewayangan Jawa, lebih dari sekadar tokoh pelawak. Ia adalah representasi dari pemimpin yang bijaksana, adil, dan penuh kasih sayang. Melalui lensa semiotik, kita dapat mengurai simbol-simbol yang melekat pada sosok Semar. Wujudnya yang unik, antara tua dan muda, laki-laki dan perempuan, mencerminkan keseimbangan dualitas dalam kepemimpinan. Semar tidak hanya tegas, tetapi juga empatik. Ia adalah pemimpin yang dekat dengan rakyat, memahami penderitaan mereka, namun tetap memiliki wibawa. 

Tokoh Semar, kaitannya dengan kepemimpinan  pertunjukan  tradisional  Jawa Wayang  memiliki  karisma  yang  lebih  tinggi yang   kemudianSemarmenanamkan   padaPunokawan  dan  bahkan  Pandawa  akan  sifat-sifat kepemimpinan dan keteladanan sehingga  sehingga  secara  bawah  sadar  paraPunokawan  dan  Pandawa  akan  mensensorperilaku-perilaku    yang    membuat    mereka berkesan dan mengaplikasikanya ketika mereka mengalami situasi yang membutuhkan perubahan perilaku. 

Ketokohan Semar di  dalam  pertunjukan tradisional  kebudayaan  Jawa  yaitu  Wayang diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu panduan dalam rangka merekomendasikan solusi-solusi terhadap berbagai krisis kepemimpinan yang melanda bangsa Indonesia saat ini. 

Kepemimpinan menurut Kebudayaan Jawa, bentuk dan konsepnya bervariasi. Meskipun demikian konsep-konsep  tersebut  arahnya menuju pada suatu paradigm keseimbangan. Dalam karya sastra dapat kita mengkaji nilai-nilai  filosofis yang telah diwariskan untuk dapat digunakan kehidupan sekarang, termasuk konsep tentang  kepemimpinan. Dalam  karya  sastrajawa, konsep kepemimpinan banyakdituangkan  dalam  bentuk  ajaran salah  satudi antaranya yaitu Nilai Kepemimpinan dalam Serat Sastra Gendhingbahwa   dijabarkan beberapa sifat kepemimpinan sebagai berikut :

Gaya Kepemimpinan Nusantara (Semar/Ismoyo) 

1. Semar sebagai Personifikasi Kepemimpinan Jawa Nusantara 

Semar digambarkan sebagai personifikasi nilai kepemimpinan dalam budaya Jawa Nusantara yang mencakup berbagai agama seperti Hindu, Islam, dan kepercayaan lokal. Semar dipandang sebagai manifestasi dari "Dan Hyang Semar," yang juga dikenal dalam mitologi oleh tokoh seperti Syekh Subakir dan Sabdo Palon.

Dalam konteks sejarah penyebaran Islam di Jawa, disebutkan bahwa Syekh Subakir melakukan "pamitan" atau perpisahan di Gunung Telomoyo, Merapi, dan Merbabu, dengan Semar sebagai pelindung Nusantara. Istilah "Dang" dalam nama Semar menunjukkan gelar bagi dewa atau leluhur, mirip dengan istilah "Hyang" yang dipakai dalam budaya Kaharingan di Kalimantan. Transformasi nama ini mengisyaratkan kedekatan budaya Jawa dengan konsep dewa dan leluhur yang dihormati. 

2. Semar sebagai Lambang Ilmu Langit dan Kepemimpinan 

Semar digambarkan memiliki kondisi sebagai seorang pemimpin yang berlandaskan ilmu pengetahuan yang tinggi (ilmu langit) dan menguasai kebijaksanaan sebagai pemimpin yang berbudi luhur. 

3. Metafora Telur: Kulit, Putih, dan Kuning Telur 

Dalam filosofi kepemimpinan Nusantara, tiga lapisan telur (kulit, putih, dan kuning telur) menjadi simbolisasi yang mencerminkan lapisan spiritual yang mendalam dalam masyarakat Jawa. Telur ini melambangkan tokoh-tokoh penting seperti Gunung Siem, Batara Guru, Semar, dan Togog yang secara hierarkis memiliki peran berbeda dalam kosmologi Jawa. 

4. Interpretasi dalam Teks Kuno Jawa 

Dalam naskah kuno Jawa, terdapat istilah "Pikulan Tunggal," yang merujuk pada filosofi eksistensi sebelum segala sesuatu ada. Nama-nama seperti Sanghyang Wenang atau Sanghyang Tunggal dan Batara Tunggal digunakan untuk menggambarkan entitas yang memegang "telur" dengan berbagai warna sebagai simbol kekuatan spiritual dan kemakmuran. Kuning telur disebut sebagai "Manik Moyo" atau Batara Guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun