“Jika sebuah pohon ditanam di dalam pot atau di dalam rumah, tidak akan pernah tinggi. Namun akan terjadi sebaliknya, bila ditanam di sebuah lahan yang luas.” - Mochtar Riady, Lippo Group -
Menuju Oslo eh Solo
Akhirnya setelah bersaing dengan 36 kontestan lainnya dalam lomba Tahap II reportase Kompasiana Nangkring Bareng Kuldon, tulisanku yang ini termasuk pilihan juri sehingga aku berhak ikut Kompasiana Visit ke Pabrik Deltomed sekaligus Wisata Solo selama dua hari... yeaaay! Hari yang ditunggu-tunggu pun tiba, Jumat 13 Juni 2014, kami semua janjian bertemu di bandara Soekarno Hatta pukul 06.30 WIB. Aku yang berangkat dari Bekasi sudah jalan dari rumah pukul 4 pagi, biar terhindar dari macet. Satu jam kemudian aku tiba di Terminal 1A. Sisa waktu 90 menit kuhabiskan dengan menunggu di mushola bandara.
Menjelang pukul setengah tujuh pagi, aku keluar dari ‘tempat semedi’ menuju toko roti berinisal PB as meeting point. Di sana sudah ada Pak Sandy perwakilan dari Deltomed, Ibu Ngesti Setyo Murni, Joshua Limyadi, Pak Ben Baharuddin Nur, Pak Ratna Fadli, Pak Thamrin Sonata, dan Pak Adian Saputra. Beberapa menit kemudian menyusul duo admin Kompasiana, Mas Pendi Kuntoro dan Shulhan Rumaru, serta Mas Dzulfikar Al-A’la dan Tubagus Encep. Minus Pak Sandy, total ada 11 orang yang terbang dari Jakarta menuju kota batik, Solo. Sembari menunggu waktu boarding pass, aku bertukar tanya dengan Ibu Ngesti. Ternyata beliau ini sebelumnya pernah jalan-jalan sama Kompasianers (anggota Kompasiana). Tepatnya, event Rally Wisata Bersama New Nissan March ke Sumatera dan Kalimantan. Wah, asyik banget! Sementara bagiku, ini kesempatan perdana nge-trip bareng Kompasianers sekaligus pertama kalinya wisata ke kota Solo. Sebelumnya tiap mudik ke Malang, numpang lewat saja di kota asalnya Pakdhe Jokowi. Belum sampai ngubek-ngubek kota Solo, hehehe.
Sekitar 45 menit sebelum jadwal take off, kami semua boarding pass. Tepat pukul 08.00 WIB rombongan terbang meninggalkan kota Jakarta. Selang 75 menit kemudian, pesawat mendarat mulus di Lanud Adi Sumarmo. Setelah mengantri ambil bagasi, kami menuju pintu luar bandara. Di sana telah ada beberapa orang yang menunggu kedatangan kami. Ada mbak Agatha Nirbanawati perwakilan dari Deltomed, hadir juga ibu Dewi Prihandini yang menjadi narasumber di acara workshop edukasi tentang sariawan 18 Mei lalu, serta mbak Ika Pramono selaku agency yang mengkoordinir kegiatan tur kami. Di bandara pula kami bersua dengan Pak Dwi Suparno, Kompasianer asal Yogyakarta yang ke Solo dengan kereta. Usai di-brifing singkat dan foto bersama, rombongan lekas menuju pabrik Deltomed mengendarai dua minibus.
Rombongan foto bersama di pintu depan bandara Adi Sumarmo
Dokumentasi : pribadi
Sepanjang perjalanan Solo-Sukoharjo-Wonogiri, aku menikmati pemandangan kota. Dan selama 1,5 jam perjalanan itu, hampir nggak mengalami kemacetan yang panjang. Kalaupun mobil berhenti, paling karena lampu merah saja. Selain tidak macet, kota yang kami lalui relatif bersih dan tertata. Tak heran,ada monumen Adipura di sudut kota Solo dan Sukoharjo. Persamaan dengan kota kelahiranku, Jakarta, paling sehubungan masa kampanye pilpres, di mana hampir setiap jengkal jalanan selalu terpasang spanduk/bendera/baliho capres dan cawapres, hahaha.
Cikal bakal PT Deltomed Laboratories
Jam tangan di kanan kiriku menunjukkan pukul 11.11 WIB kala minibus yang kami tumpangi melewati gapura bertuliskan ”Selamat Datang di Kabupaten Wonogiri”. Tak jauh dari gapura itu, tiba-tiba kendaraan berbelok ke kiri, masuk ke sebuah gang yang hanya muat 1 mobil dan 1 motor. Tidak sampai 500 meter jauhnya dari ‘mulut’ gang, tibalah kami di pabrik PT Deltomed Laboratories. Kesan yang kudapat begitu menginjakkan kaki di tempat itu adalah pabrik megah dengan pemandangan asri berkat rindangnya pepohononan dan rumput yang menghijau.
Tampak luar pabrik Deltomed
Dokumentasi : pribadi
Oleh mbak Agatha, kami semua diarahkan ke ruang rapat. Tak lama kemudian, Presiden Direktur PT Deltomed Laboratories, Drs. Nyoto Wardoyo, beserta jajaran direktur menyambut kedatangan kami dengan hangat. Setelah itu, Pak Nyoto memperkenalkan direkturnya satu per satu. Ada Dr. Abrijanto SB, M.Si selaku direktur pengembangan bisnis, direktur pengembangan dan penelitian Lilla Kurnia, Gangsar Laksono yang menjabat sebagai direktur sumber daya manusia, Haniyah yang berposisi direktur pengendalian mutu. Pak Nyoto kemudian menyampaikan tujuan kunjungan kami ke pabrik adalah untuk menambah wawasan seputar proses produksi obat-obatan herbal. Tapi sebelum sampai pada bagian proses produksi, Pak Nyoto menerangkan terlebih dahulu profil singkat PT Deltomed Laboratories.
Seperti yang beliau sampaikan kepada kami, Deltomed dirintis melalui usaha rumahan di Banjarmasin (Kalimantan Selatan) pada tahun 1976. Dari sebuah gudang kecil yang beratapkan seng, awal mula roda produksi Deltomed berputar. Alat-alat yang digunakan masih tradisional, proses ekstraksi bahan baku pun secara manual. Terus pabrik dipindah ke Wonogiri pada 1987, dengan luas lahan saat itu masih satu hektar. Tapi kemudian pada tahun 1992 terbit peraturan pemerintah yang mengatur tentang lokasi industri, pabrik pun dipindah lagi. Masih di wilayah Wonogiri juga, tepatnya di Desa Nambangan, Kecamatan Selogiri. Sejak itu ‘kerajaan’ Deltomed dibangun secara bertahap di atas lahan seluas delapan hektar. Mesin-mesinnya pun turut di-upgrade, dari yang tadinya sederhana menjadi mesin modern berteknologi tinggi.
Sekarang home industry tersebut telah tumbuh dan berkembang lebih dari tiga dekade. Menjadi salah satu produsen obat herbal terkemuka di Indonesia yang produk-produknya tak hanya menguasai pangsa pasar dalam negeri, tapi juga telah merambah ke mancanegara, seperti Malaysia, Brunei Darussalam, Nigeria, Hongkong, Saudi Arabia, dan Amerika Serikat. Sejarah kesuksesan Deltomed bila dirangkum dalam satu kalimat, seperti quote Mochtar Riady di awal tulisan ini. Deltomed yang dulu ‘ditanam’ dalam ‘rumah’, kini menjelma jadi perusahaan besar setelah ‘ditanam’ di atas lahan yang luas.
Demi peningkatan kualitas produk, Deltomed tak sungkan mengadopsi teknologi terkini. Sejak tahun 2010 misalnya, Deltomed mulai memakai teknologi Quadra Extraction System (QES). Teknologi yang diadopsi dari Jerman itu untuk mengekstrasi bahan-bahan alam. Berkat penggunaan teknologi QES, proses produksi yang dilakukan lebih efisien, higienis, volumenya pun meningkat hingga lima kali lipat dari sebelumnya.
“Selain itu, kami menerapkan pula sistem pengolahan obat herbal yang dinamakan Cara Pembuatan Obat-obatan Tradisional yang Baik atau CPOTB sejak tahun 2009. Lalu menyempurnakannya dengan CPOTB terbaru pada 2011 sesuai ketentuan BPOM dan Kementerian Kesehatan. Fasilitas produksi herbal kami juga sudah memenuhi standard Good Manufacturing Product (GMP) serta mendapatkan sertifikat National Sanitation Foundation atau NSF, sehingga produk kami bisa diekspor ke negara-negara di Amerika,” pungkas Pak Nyoto sebelum meninggalkan ruang rapat.
Kentara sekali ya, PT Deltomed benar-benar berkomitmen menjaga kualitas produknya. Lantaran terjamin mutunya itulah, Deltomed pun sudah mengantongi sertifikat halal dari MUI dan ISO 9001-2008.
Pabrik Deltomed terkini tampak dari ketinggian, yang menempati lahan seluas 8 ha
Dokumentasi : www.deltomed.com
Sebagai produsen obat herbal yang bahan dasarnya dari alam, tentu Deltomed butuh pasokan yang stabil guna menjamin keberlangsungan proses produksi. Untuk itulah, Deltomed menjalin kerjasama dengan petani setempat sebagai penyuplai bahan baku. Hampir semua tanaman herbal dipasok oleh petani Wonogiri. Namun ada juga beberapa yang didatangkan khusus dari daerah luar, seperti Pasak Bumi dari Kalimantan Selatan. Adapun sistem kerjasama antara Deltomed dengan petani, sebagaimana dijelaskan oleh Pak Gangsar Laksono, “kita sediain bibit dan beri pelatihan penanaman yang baik secara kontinyu kepada kelompok petani binaan kami. Nah, para petani itulah yang mengelola lahan pertanian di daerah masing-masing. Nantinya hasil panen mereka kami beli sesuai harga pasar.”
Dari bincang-bincangku dengan mbak Agatha, Deltomed tak hanya membeli bahan baku mentah dari petani, tapi juga memperhatikan kesejahteraan mereka dengan menyekolahkan putra-putrinya, serta menggelar pengobatan gratis secara berkala. Dengan demikian, kemitraan antara Deltomed dengan masyarakat sekitar tak sebatas kepentingan bisnis semata. Lebih dari itu, Deltomed memberikan sesuatu yang dibutuhkan sekaligus yang bermanfaat bagi lingkungan sekitar agar mereka dapat hidup berdampingan. Sehingga terjadilah hubungan yang dalam biologi disebut simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) atau hubungan resiprokal (saling berbalasan) di antara keduanya. Itulah wujud tanggung jawab sosial PT Deltomed Laboratories.
Sebelum shalat Jum’at, kami dan pegawai Deltomed menyantap makan siang yang telah disajikan secara prasmanan. Ada ayam goreng sebagai lauk, bakso lengkap dengan mie-nya, sayuran, kerupuk, dan lain-lain. Untuk minuman tersedia air mineral, kopi, teh, dan tak ketinggalan minuman herbal seperti jamu beras kencur dan kunir asem. Makanan ringannya ada bolu, risol, kacang mete, sementara buahnya itu pisang, melon, semangka. Wah, pokoknya komplit deh! Dijamin Kompasianers nggak ada yang kelaparan, hehehe.
Perlakuan yang tepat terhadap tanaman herbal
Kelar ishoma, sesi berikutnya diisi oleh Dr. Abrijanto SB. Di hadapan kami, beliau mendemonstrasikan pengolahan herbal secara sederhana. Dengan bantuan kompor kecil, corong kaca, dan bahan herbal yang sudah dikeringkan, beliau menjalankan praktikumnya. Sebagai informasi, corong kaca itu semacam tabung yang terbuat dari kaca pireks atau kaca lunak. Mengapa corong kaca yang dipilih? Menurut Pak Abrijanto, corong kaca nggak akan melepaskan logam seperti halnya panci biasa atau bahkan gerabah. Sehingga ramuan yang dibikin terjamin bebas dari unsur logam. Namun demikian, sisi lemah dari corong kaca ini yaitu sifatnya yang mudah pecah dan mudah panas. Untuk menyiasatinya, Pak Abrijanto menggunakan kawat kasa sebagai penghalang corong kaca bersentuhan langsung dengan api dari kompor kecil.
Lantas kami memperhatikan dengan seksama saat Pak Abrijanto memanaskan air, memasukkan bahan satu per satu seperti daun thymi, daun saga, akar alang dan akar manis, lalu menutupnya agar uap air tak menguap begitu saja. Kemudian ia memberikan penjelasan tentang perebusan, “Ini direbusnya 60 derajat celcius. Supaya apa? Supaya kuman-kumannya terbunuh, tapi di saat bersamaan khasiatnya terjaga. Soalnya kalau dipanaskan dengan suhu lebih tinggi, zat aktifnya nanti hilang. Padahal zat aktif inilah yang menentukan khasiat herbal yang kita rebus. Maka dari itu, kita mesti cermat mengolahnya.”
Beberapa menit kemudian Pak Abrijanto menyudahi pemanasan ramuan obat batuk itu. Air rebusan yang tadinya bening, telah berubah menjadi kecoklatan. Pak Abrijanto lalu menyampaikan bahwa ramuan yang baru selesai direbus, butuh waktu 1-2 jam untuk didinginkan agar siap dikonsumsi. Bila tak ingin langsung dikonsumsi, sebaiknya ramuan disimpan di dalam botol atau wadah tertutup lainnya agar tidak ditumbuhi jamur atau mikroorganisme yang membahayakan. Lebih lanjut, ia mengatakan perbedaan proses produksi di pabrik dengan pembuatan ramuan herbal secara mandiri terletak pada cara pengolahannya. Kalau bikin sendiri kan prosesnya meliputi CRM/S (cuci-rebus-langsung minum atau simpan dulu) saja. Sementara proses produksi di pabrik mesti melalui tahap-tahapan rumit, sesuai standar yang ditetapkan (CPOTB, GMP dan NSF) agar layak edar dan aman dikonsumsi.
Pak Abrijanto lalu meyakinkan kami bahwa kami dapat mempraktekan sendiri di rumah. Asalkan bahan herbalnya dalam kondisi kering atau yang biasa disebut simplisia. Nah, simplisia itu dipotong kecil-kecil, terus dibersihkan, ditakar, baru deh direbus dengan corong kaca dalam suhu 60 derajat celcius selama beberapa menit saja, sampai matang atau warna airnya berubah. Kalau mau mengandalkan tanaman herbal sebagai pengobatan keluarga, kuncinya adalah pengolahan yang cermat. Dimulai dari pencucian tanaman dari kotoran dan tanah, pengeringan melalui oven atau dijemur di bawah sinar matahari, pencucian kembali sebelum direbus untuk memastikan tanaman terbebas dari jamur atau debu yang menempel. “Jadi, sterilisasi itu penting sekali. Itu yang pertama. Kalau mencucinya nggak sampai bersih, bisa jadi partikel lain masih menempel. Khasiatnya jadi berkurang kan? Yang kedua, takarannya mesti pas atau tepat. Kelebihan sedikit aja, khasiatnya juga bisa berkurang,” tukas pria berkacamata itu. Wuiiih, mendengarkan paparan Pak Abrijanto tuh makin menambah wawasan kami, deh. Kami jadi tahu gimana cara yang tepat dalam mengolah herbal, kapan sebaiknya diminum, atau bagaimana cara menyimpannya agar tahan lama.Selain itu, tanaman herbal relatif mudah didapat, bisa ditanam sendiri di rumah. Khasiatnya yang setara dengan obat-obatan kimia, namun dengan efek samping lebih kecil, menjadikan tanaman herbal cocok sebagai pengobatan alternatif keluarga.
Pak Abrijanto mendemonstrasikan pengolahan herbal secara sederhana
Dokumentasi : pribadi
Standar Mutu Produk Deltomed
Sebelum melihat isi pabrik, Bu Haniyah memberi pembekalan kepada kami seputar Standar Mutu Obat Herbal. Menurutnya, nggak semua tanaman bisa dijadikan obat tradisional. Ada sejumlah faktor yang menentukan layak tidaknya tanaman dipakai untuk pembuatan obat herbal. Pertama, faktor biologis diantaranya interaksi tanaman obat dengan lingkungan, flora dan fauna sekitar. Kedua, faktor lain seperti iklim, kelembaban, angin, curah hujan, tanah, genetik, budidaya dan perlakuan pasca panen. Lebih lanjut Bu Hani menjelaskan, sebelum menerima simplisia dari petani, pihaknya memastikan simplisia tersebut bebas dari jamur, tidak terpapar logam berat, mikroba, dan zat berbahaya lainnya. Bila ditemukan simplisia yang terkontaminasi, langsung kami musnahkan. “Kami nggak bisa tawar-tawar atau ambil resiko dengan menerima bahan yang nggak sesuai standar. Sebab, itu kaitannya dengan menjaga kepercayaan konsumen,” ujar wanita yang berkerudung kuning dan berkacamata.
Selain itu, simplisia juga mesti bebas dari serangga, kotoran hewan, tak boleh menyimpang warna dan baunya, tak boleh berlendir dan bercendawan atau tanda-tanda pengotoran lainnya. “Pengawasan mutu simplisia dilakukan untuk mengidentifikasi reaksi kimia terhadap lignin, tanin, alkaloid, fenolik, dan sebagainya. Juga bahan organik asing, kadar abu, uji mikrobiologi, zat marker seperti temulawak, jahe dan kayumanis,” tandas direktur pengendalian mutu itu. Dengan demikian, Deltomed memiliki standar baku yang tetap, yang tak bisa ditoleransi apabila ada poin-poin yang belum terpenuhi. Salah satu cara menjaga kepercayaan masyarakat adalah dengan berpegang teguh pada standar baku tersebut. Dua jempol dah buat Deltomed!
Bu Haniyah sedang menyampaikan materi Standar Mutu Produk PT Deltomed Laboratories
Dokumentasi : pribadi
Menyaksikan langsung alur produksi obat herbal
Menjelang sore, kami diajak ke pabrik untuk melihat langsung proses produksi di sana. Tapi dengan syarat, tak boleh memotret segala apa yang dilihat. Kami hanya boleh membawa buku catatan (notes). Maka dari itu, foto-foto dalam pabrik yang ada di artikel ini berasal dari sumber sekunder. Semoga dizinkan oleh Deltomed, untuk menggunakan foto-fotonya, hehe.
Perjalanan menuju pabrik, kugunakan untuk mengamati pabrik seluas delapan hektar itu. Gedungnya megah, terbagi ke dalam beberapa bagian sesuai fungsinya. Di halaman depan terdapat plang besar yang terpampang visi, misi dan kebijakan mutu Deltomed. Di sebelah kiri plang, tegak sebuah patung wanita penjual jamu. Di kiri-kanan jalan setapak, tumbuh rerumputan dan aneka tanaman obat. Sementara di dekat gerbang utama, berdiri pos penjagaan yang mengawasi keluar masuknya tamu maupun karyawan. Kesimpulannya, pabrik Deltomed adalah kompleks bangunan yang tertata rapi, bersih, sekaligus asri.
Visi, Misi dan Kebijakan Mutu PT Deltomed Laboratories
Dokumentasi : pribadi