Mohon tunggu...
Vita Sophia Dini
Vita Sophia Dini Mohon Tunggu... Lainnya - Busy chasing dreams

Seafood lover yang demen jogging, nonton, dan jeprat-jepret 📷📸 Blog : http://annisarona.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Asiknya Wisata Solo bareng Kompasianers

23 Juni 2014   09:31 Diperbarui: 20 Juni 2015   02:46 207
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wisata Sejarah dan ‘Terapi Mata’ di Candi Cetho

Hari kedua tur, rombongan Kompasianers berkunjung ke Candi Cetho. Candi berlatar agama Hindu itu terletak di Dusun Cetho, Desa Gumeng, Kecamatan Jenawi, Kabupaten Karanganyar, provinsi Jawa Tengah. Dari kota Solo sekitar pukul 8 pagi, kami langsung menuju Karang Anyar mengikuti petunjuk ke air terjun Parang Ijo. Setelahnya, kami mengikuti papan penunjuk yang mengarah ke Candi Cetho. Sejak memasuki kabupaten Karang Anyar, kami disuguhi pemandangan sawah di kiri-kanan jalan. Sampai di daerah Kemuning, mata kami dimanjakan panorama perkebunan teh yang bak permadani hijau. Senang rasanya disajikan pemandangan indah tersebut, hal yang jarang kami temui di ibukota negara. Betapa tidak, ‘hutan beton’ di Jakarta lebih menjamur ketimbang kawasan hijau seperti sawah dan kebun. Makanya, kami tak menyia-nyiakan kesempatan berterapi mata dengan ‘melahap’ seluruh penampakan lereng barat Gunung Lawu itu.

Namanya juga di kaki gunung, jalan menuju Candi Cetho berkelak-kelok. Bahkan di beberapa bagian, jalanan pada bolong-bolong nan terjal, mobil yang ditumpangi serasa mengarungi ombak laut saja. Aku sampai berpikir, orang yang gampang mabuk, pasti bakal muntah-muntah di dalam mobil. Syukurlah, tak satu pun di antara kami yang mabuk. Namun demikian, kondisi jalan bak lautan ini sangat tak disarankan dilalui oleh wanita yang lagi hamil tua. Khawatir di tengah jalan, tiba-tiba perutnya mules minta lahiran. Berabe khan? hehe.

Mendekati candi, jalanan makin menanjak. Mobil yang kami tumpangi sempat tertahan di tengah tanjakan, karena mobil di depan kami tampak ‘berat’ mendaki. Untunglah, pak supir sigap menyalip mobil tersebut. Rasa was-was kami pun berkurang, fiuuuh. Setibanya di tempat parkir Candi Cetho, hawa sejuk nan segar lekas menyusup ke dalam paru-paru kami. Sembari menunggu rombongan lain yang menumpangi mobil putih, kami melihat-lihat cendera mata yang dijual di lapak depan loket karcis. Tak lama kemudian, mobil yang ditunggu-tunggu akhirnya datang juga. Tapi ooh... kenapa hanya ada supir? Lantas ke mana 3 penumpangnya? Ternyata mbak Agatha cs mendaki tanjakan curam dengan berjalan kaki. Soalnya mobil nggak kuat menanjak, jadi mereka terpaksa turun lebih awal untuk mengurangi muatan. Ketika mereka bertiga tertangkap mata kami, kentara sekali pada ngos-ngosan. Capek ya, mbak? *plak! Udah tahu, pake nanya, xixixi. Peace ^^v

Syukurlah, mereka sampai di lokasi pada waktu yang tepat. Soalnya tak lama mereka tiba, kabut tebal menyelimuti puncak Desa Gumeng yang terletak 1.496 meter di atas permukaan laut. Andai kabut tebal menyergap saat mereka tengah menanjak bukit, agak ngeri membayangkannya. Boleh jadi mbak Agatha cs tersesat dalam kabut! Hiii... Ngomong-ngomong, baru kali ini aku menyaksikan kabut tebal dari dekat, depan mata kepalaku sendiri. Aku jadi punya gambaran betapa tegangnya George, Anne, Julian, Dick yang terjebak kabut tebal dalam serial Lima Sekawan : Rawa Rahasia. Pandangan mengabur, sulit banget melihat kejauhan. Terus, tiba-tiba dingin sekali seolah ada invisible hand yang membelai wajah kita. Aku dan beberapa teman rombongan cepat-cepat ke pintu masuk candi, karena di sana kabutnya tipis. Walau ada juga sebagian dari kami yang sempat-sempatnya selfie dengan background kabut tebal tadi *tepokjidat. FYI, mengunjungi Candi Cetho nggak perlu merogoh kocek dalam-dalam, lho. Karcis bagi wisatawan lokal seharga 3000 perak saja, sementara untuk wisatawan asing ‘cuma’ lebih mahal 7000 rupiah. Cukup terjangkau bukan?

Candi Cetho merupakan warisan leluhur berwujud 13 teras (kini hanya 11 teras), yang membentang dari timur ke barat, makin tinggi ke arah puncak. Sukar membayangkannya? Ingat-ingat saja bentuk punden berundak-undak pada masa prasejarah. Seperti itulah gambaran fisik Candi Cetho. Tiap-tiap teras ditandai sebuah pintu gerbang dan dihubungkan oleh jalan setapak yang seakan-akan membelah pekarangan candi menjadi dua sisi. Ketika karcis sudah di tangan, kami lekas mendaki menuju pintu pagar kompleks Candi Cetho. Setelah melewati pagar, kami bersua sepasang arca penjaga yang disebut arca Nyai Gemang Arum.

Arca Nyai Gemang Arum

Dokumentasi : pribadi

Kemudian aku mengikuti rombongan, memasuki teras pertama yang berupa halaman. Tapi sebelumnya, kami melewati sebuah gapura cukup besar, seperti yang biasa ada di Pulau Bali. Nah, di situlah kami ber-selfie ria dengan latar gapura tersebut, hehe. Meneruskan perjalanan, kami menemukan sebuah bangunan tak berdinding. Lantas kuintip sejenak isi bangunan yang tegak di atas pondasi setinggi sekitar dua meter. Dari isinya, kelihatan bangunan itu dipakai untuk menaruh sesajian.

Gapura dengan tangga batu kami pijaki saat hendak ke teras kedua candi. Tangga batu itu diapit sepasang arca yang diberi nama Nyai Agni. Sayangnya, salah satu arca tersebut telah rusak. Seperti teras pertama, teras kedua berupa halaman. Hanya bedanya, halaman teras kedua lebih asri, di kiri-kanannya tumbuh rerumputan dan pepohonan. Entah kenapa, rumput segar yang nganggur itu seolah melambai-lambaikan ‘tangannya’, mengundangku untuk gegulingan atau lelarian di sana. Syukurlah, berkat perintah larangan menginjak rumput, aku tak sampai harus menahan diri sekuat tenaga agar tidak melakukannya, hahaha.


14034672941985159333
14034672941985159333

Salah satu arca Nyai Agni, yang sebelah kiri, kepalanya ‘terpenggal’

Dokumentasi : pribadi

Usai menampik godaan rumput segar, hamparan batuan ‘menghadang’ kedatangan kami. Dikatakan ‘menghadang’, sebab ada sebuah papan larangan menginjak bebatuan itu. Jadi yaa, kami mesti lewat di pinggir bebatuan, yang masih berupa tanah biasa. Dari tangga batu berikutnya, wujud hamparan batuan tadi menyerupai burung garuda yang sedang terbang. Tepat di atas kepala sang garuda, terletak susunan batu berupa matahari, segitiga sama kaki dan kalacakra. Di kedua ujung sayap garuda ada bentuk matahari lagi, sementara di punggungnya ada batuan dengan rupa kura-kura. Tiga ekor katak bercokol di lingkaran yang terdapat di bagian tengah segitiga sama kaki. Di titik yang sama, juga ada lukisan seekor kadal.

Menurut ajaran Hindu, burung Garuda adalah kendaraan Dewa Wisnu yang melambangkan dunia atas. Sedangkan kura-kura merupakan titisan Dewa Wisnu yang menggambarkan dunia bawah. Matahari diyakini sebagai sumber kekuatan kehidupan, sementara segitiga sama kaki lambang keadaan dunia yang tenggelam dalam kegelapan. Kalacakra simbol jagad kecil (mikrokosmos) dalam diri manusia. Kesemua wujud arca tersebut mengandung harapan akan kesuburan alam semesta beserta isinya.

14034673391137657281
14034673391137657281

Arca Garuda dengan sayapnya yang terbentang

Dokumentasi : pribadi

Di teras ketiga terdapat halaman yang nggak begitu luas, namun di kiri-kanannya ada sebuah bangunan tak berdinding dengan beberapa kayu sebagai tiangnya. Di dalamnya ada susunan batu berbentuk segi empat yang memanjang. Bangunan serupa balai-balai itu kabarnya digunakan sebagai tempat berkumpul umat Hindu dan penganut Kejawen, sebelum dan seusai mereka beribadah.

14034673711545367379
14034673711545367379

Balai-balai, tempat pemujaan umat Hindu dan penganut Kejawen.

Dokumentasi : pribadi

Dari teras ketiga, aku dan teman satu rombongan belok kiri ke arah Puri Saraswati dan Candi Kethek. Kedua warisan budaya itu memang masih satu kawasan dengan Candi Cetho, namun pengunjung mesti membeli karcis lagi. Cukup membayar 3000 perak untuk dua orang, kami pun bebas memasuki area Puri Saraswati. Belum jauh dari loket, kami melihat dua Kompasianers lain lebih dulu menuju Puri Saraswati yaitu Zulfikar dan Pak Ben Nur. Sama seperti menapaki teras-teras Candi Cetho, berjalan ke Puri Saraswati cukup membuat napas kembang-kempis. Betapa tidak, banyak anak tangga yang mesti kami lalui. Pak Ben saja sampai ngaso dulu di sebuah kursi di bawah pohon. Udah kebanyakan nanjak katanya, hahaha. Terus, karena pengaruh hawa lembab kali ya, jalan setapaknya terasa licin. Bila tak berhati-hati, bisa tergelincir.

Syukurlah, setelah berngos-ngos ria sekitar 10 menit, tibalah kami di sebuah taman yang sejuk nan indah. Di sana, lebih dulu ada Zulfikar yang sedang mengabadikan suasana puri dengan gadget. Tak jauh dari Zulfikar, ternyata Ibu Ngesti juga tertarik menyaksikan sang dewi dari dekat. Jadi, total Kompasianers yang mengunjungi puri berjumlah empat orang. Minus Pak Ben, yang tetap ngaso di bawah pohon, xixixi.

Di bagian tengah taman, ada patung Dewi Saraswati yang berdiri tegak di atas teratai. Menurut ajaran Hindu, Saraswati ialah seorang dewi berlengan empat, yang dijuluki dewi ilmu pengetahuan dan kesenian. Keempat lengan tersebut melambangkan empat aspek yakni pikiran, intelektual, mawas diri, dan ego. Pasangan Dewi Saraswati adalah Dewa Brahma. Berbekal ilmu pengetahuan yang dimiliki, sang dewi membantu Dewa Brahma ketika menciptakan jagat raya beserta isinya. Satu hal penting yang perlu diketahui, pengunjung harus melepas alas kaki saat melihat-lihat Patung Dewi Saraswati dari dekat. Sebab selain lokasi wisata budaya, Puri Saraswati juga berfungsi sebagai tempat ibadah umat Hindu. Jadi, kebersihannya mesti terjaga.

14034674092104270339
14034674092104270339

Patung Saraswati, dewi ilmu pengetahuan dan kesenian

Dokumentasi : pribadi

Kelar berkunjung ke Puri Saraswati, aku dan teman menuruni jalan setapak. Tadinya, kami ingin sekalian ke Candi Kethek. Lokasinya kan berdekatan, tuh. Tapi setelah menyadari jalan menuju candi ‘cuma’ jalan setapak yang membelah kebun, plus awan mendung dan kabut yang berputar-putar. Okeh, itu lebay. Intinya mah, kami ngerasa spooky aja melintasi kebun berdua sejauh 300 meter. Kalau di tengah jalan kami diculik nyamuk kebon kan berabe, limited edition soalnya *tsaaah <(•ˆ ▽ ˆ•) So kami urungkan deh keinginan melihat-lihat Candi Kethek.

Saat tiba lagi di teras ketiga, temanku mengajak turun ke teras pertama. Siapa tahu rombongan udah pada di bawah, katanya. Berhubung aku masih ingin melihat puncak Candi Cetho, ajakan teman kutolak secara halus. Kami pun berpisah, dia ke bawah, aku lanjut ke atas. Dan memang, karena diburu waktu, aku tak begitu memperhatikan rupa teras keempat hingga kesepuluh. Tapi berdasarkan info dari website khusus candi, aku memperoleh gambaran wujud teras keempat sampai kesepuluh. Teras keempat susunan tangganya lebih rapi ketimbang tangga di teras lainnya. Muncul dugaan, tangga tersebut merupakan hasil pemugaran pada akhir 1970-an.

Teras kelima merupakan halaman dengan sebuah pendopo luar di salah satu sisinya. Konon, pendopo luar itu ruang tunggu bagi tamunya Raja Brawijaya V. Di depan kaki tangga teras keenam, pengunjung menjumpai sepasang arca Ganesha dan sebuah arca Kalacakra. Seperti teras kelima, di teras ketujuh juga ada pendopo beratap tanpa dinding, namanya pendopo dalam. Memasuki teras kedelapan, berdiam dua buah arca dengan tulisan Jawa yang menunjukkan waktu pembangunan Candi Cetho yaitu tahun 1397 Saka atau 1475 M. Dua buah ruang penyimpanan benda kuno ditemukan di teras kesembilan. Enam bangunan kayu yang saling berhadapan, tiga di kanan dan tiga di kiri, terletak di teras kesepuluh. Dalam tiap bangunan itu tersimpan arca Brawijaya, arca Kalacakra, dan pusaka Empu Supa.

Terakhir, di teras kesebelas berdiri sebuah dinding sekitar 1,6 meter tingginya yang mengapit tangga batu dan bangunan utama. Di sekeliling bangunan tak beratap itu terdapat dinding lagi setinggi dua meter. Tempat peristirahatan Raja Brawijaya V inilah, puncak Candi Cetho. Dari sini, teras-teras yang letaknya lebih rendah dapat terlihat dengan jelas. Mungkin karena itulah candi ini disebut cetho, sebab dalam bahasa Jawa cetho artinya terang atau jelas. Kabarnya, bila langit cerah pengunjung dapat menyaksikan pemandangan kota Solo dengan jelas di kejauhan. Sayangnya waktu kami ke Candi Cetho, cuaca agak gerimis dan berkabut tebal-tipis di sana-sini. Jadi, nggak bisa lihat kota Solo deh, dari puncak Cetho. Benarlah, belum lama jeprat-jepret sekeliling teras kesebelas, aku udah dihampiri oleh kru Kompasiana. Soalnya, kami mesti lekas balik ke Solo demi agenda selanjutnya yang antri untuk dipenuhi : Museum Danar Hadi,dan Pasar Klewer.

1403467437762833181
1403467437762833181

Bangunan utama Candi Cetho, terletak di teras paling atas

Dokumentasi : pribadi

Kesimpulannya, Candi Cetho dan Puri Saraswati adalah tempat wisata yang tak boleh Anda lewatkan bila sedang bertamu di kota Solo maupun kabupaten Karang Anyar. Selain menambah pengetahuan seputar sejarah Indonesia, wisatawan juga dijamin bakal menikmati keindahan panorama sepanjang perjalanan serta kesejukan alami khas pegunungan.

Minum Teh di Rumah Teh Ndoro Donker

Tak lama setelah menuruni jalan Ngargoyoso, mobil yang kami tumpangi berhenti di sebuah kedai minuman. Ndoro Donker namanya, rumah teh yang terletak di tepi jalan Afdeling Kemuning No.18 merupakan tempat yang cocok untuk melepas lelah usai mendaki ratusan anak tangga Candi Cetho. Lokasinya yang berada di area perkebunan teh Kemuning, tentu menjanjikan panorama yang asri. Jadi, di sini pengunjung tak hanya ngemil makanan ringan dan ngeteh saja. Kelar mengganjal perut, pengunjung boleh jalan-jalan dan ber-selfie di area perkebunan teh. Asyik bukan?

FYI, Ndoro Donker menawarkan beragam varian teh. Mulai dari sajian istimewa Radja Tea dan White Tea, hingga varian favorit pengunjung, seperti Donker Black Tea dan Kemuning Green Tea. Tapi ada juga pilihan rasa dan aroma yang lain, seperti melati, madu, chamomile, mint, jeruk, dan lemon. Waktu itu kami menikmati teh rasa mint. Pahit dikit, tapi segar. Nah, untuk makanan ringan tersedia Pisang Panggang, Ketela Madu, Ubi Jalak Towo, Timus Batang Keju, Kentang Ongloc Donker, dan sebagainya. Tinggal dipilih, mana yang sesuai selera, hehe.

1403467470294085527
1403467470294085527

Salah satu sudut Rumah Teh Ndoro Donker

Dokumentasi : pribadi

Berburu buah tangan

Puas bersantai di Rumah Teh Ndoro Donker, perjalanan dilanjutkan kembali. Menjelang zuhur, kami mengisi perut dengan makanan ‘berat’ di RM Indah, sebuah rumah makan di pinggiran Karang Anyar. Sekitar dua jam kemudian, kami sudah tiba kembali di kota Solo. Batal ke Pasar Klewer, Pusat Grosir Solo (PGS) pun jadi destinasi pilihan kami berbelanja cinderamata. PGS yang lokasinya bersebelahan dengan Keraton Kasunanan Surakarta, merupakan pusat perbelanjaan khusus produk-produk tekstil dan pakaian jadi, dalam jumlah grosir maupun eceran. Tak hanya melimpah batik, di sini juga dijual aneka produk seperti gaun, gamis, kemeja, celana, tas laptop, bed cover, dan lain sebagainya. Sekitar 1,5 jam kami ‘ngubek-ngubek’ PGS untuk berburu oleh-oleh. Kebanyakan dari kami pada borong batik, aku sendiri nggak belanja batik, malah T-shirt khas Solo, hahaha.

14034676391753420752
14034676391753420752

Pengunjung berbelanja di sebuah kios di PGS

Dokumentasi : pribadi

Kembali ke Jakarta

Sebelum kembali ke hotel, kami mampir sejenak di Toko Era Jaya. Di sana kami hunting oleh-oleh lagi, tapi kali ini oleh-olehnya berupa makanan ringan seperti dodol, keripik, cokelat, bakpia, wingko, dan sebagainya. Harga kudapan di toko ini cukup terjangkau, makanya rata-rata kami belanja oleh-oleh satu kardus berukuran sedang, hehe. Kelar wisata belanja, kami balik ke hotel untuk check out. Sampai di stasiun Solo Balapan hampir pukul 19 wib, sementara kereta yang hendak kami tumpangi dijadwalkan berangkat jam setengah delapan malam. Kami yang berangkat dari hotel dalam keadaan perut kosong, cari makan di dalam stasiun saja. Lucunya, kami udah buru-buru santap malam, eh keretanya malah terlambat sekitar 25 menit.

Aku sendiri sebenarnya was-was bin galau dalam hati dengan keterlambatan tersebut. Hampir pasti jadwal kedatangan di Jakarta juga molor kan? Padahal keesokan paginya selepas tiba di stasiun, aku mesti cepat-cepat pergi ke Depok. Soalnya, aku mau ikut lomba lari 10K di kampus Universitas Indonesia. Syukurlah, walau tiba di Depok pas-pasan waktunya, aku masih bisa meramaikan lomba yang digelar oleh Mapala UI tersebut.

Anyway busway, senang dan bersyukur rasanya, bisa berwisata budaya sekaligus menambah wawasan seputar herbal melalui acara Kompasiana Visit Deltomed dan Wisata Solo. Semoga dari catatan kecil ini, banyak orang yang tergerak untuk pelesiran ke kota Solo dan sekitarnya. Terima kasih kepada PT Deltomed, Kompasiana and all Kompasianers. It was a very enjoyable trip!

Sumber referensi yang melengkapi tulisan ini :


http://www.candi.web.id/candi-cetho/

Baca juga reportase Kompasianers Visit Deltomed di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun