Sepenggal Kisah di Wonocolo (The Little Teksas-nya Indonesia), Lumbung Energi yang Distribusi Energinya Mampu Menggerakkan Pembangunan Negeri
Disela-sela rutinitas pekerjaan yang mendera, kusempatkan bermain ke tempat sahabatku, dosen Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Cendekia di Bojonegoro. Pengalaman unik sekaligus menantang yang tidak disangka-sangka dan dinyana-nyana, karena menyusuri hutan dan melewati sumur-sumur tua yang umurnya sudah ratusan tahun ini, banyak memberikan wawasan dan pembelajaran buat kami. Mau tahu kelanjutan kisahnya? Begini ceritanya…
Wonocolo yang artinya hutan obor, terletak di kecamatan Kedewan, kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, merupakan daerah penghasil minyak yang sudah lama kami dengar. Disebut hutan obor karena zaman dahulu ketika listrik belum masuk desa, masyarakat menggunakan minyak mentah (yang biasa disebut lantung) yang diletakkan di bamboo dan dibakar dengan api untuk kemudian dijadikan obor untuk penerangan.
Kini, Wonocolo dijadikan desa wisata minyak dan gas bumi (migas) oleh Pemerintah Kabupaten Bojonegoro, bahasa kerennya Petroleum Geoheritage Wonocolo. Wonocolo juga dikenal sebagai daerah wisata sumur tua penghasil minyak, yang konon kabarnya, sumur tua ini sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda dulu lho.. Rasa keingintahuan akan sejarah penambangan minyak dan view pemandangan di sekitar perbukitan dan pegunungan Kendeng yang sangat indah di sekitar kawasan ini, membuat kami memutuskan untuk mencoba berkunjung kesana.
Saat itu kami ambil jalan yang memakan waktu lebih pendek untuk menyusuri jalan pintas yang belum pernah kami lewati. Sekitar 1,5 jam perjalanan kearah barat dari kota Bojonegoro tepatnya berada di kecamatan Kedewan. Memasuki pintu gapura daerah Kawengan, terlihat hutan jati dengan diameter kurang lebih 10 cm sampai dengan 15 cm. Di gapura itu tertulis “Selamat Datang di Distrik I Kawengan”, kami masih belum yakin apakah kami sudah memasuki daerah penghasil minyak Wonocolo ini atau belum, karena belum kami temui tanda keberadaan pompa minyaknya.
Kami coba terus menyusuri hutan yang terdapat disekeliling tempat ini dengan jalanan beraspal dan minimnya rambu-rambu penunjuk arah, demi memuaskan hasrat keingintahuan kami.
(Mudah-mudahan setelah tulisan ini di-posting, rambu-rambu penunjuk arahnya bisa lebih diperbanyak lagi sama Pertamina ya..hehehe). Akhirnya, sampailah kami di sebuah pompa pengebor minyak bumi yang digerakkan dengan mesin tanpa terlihat ada operator di sekitarnya. Pikir saya, mungkin ini hanyalah sumur pompa percontohan saja atau kalaupun ini bergerak dan digunakan juga untuk memompa minyak bumi, pasti peralatannya sudah lumayan canggih, karena semua sudah dikerjakan oleh mesin.Sepanjang jalan menuju Desa Wisata Wonocolo, kami temui terdapat beberapa sumur pompa minyak bumi dengan beberapa petunjuk kode lokasi pompa. Sumur pompa ini biasa disebut dengan sumur angguk, karena dalam proses kerjanya, pompa ini bekerja sambil mengangguk-angguk untuk mengangkat minyak yang ada di dalam perut bumi. Pompa jenis ini bisa dikategorikan sumur pompa modern, karena bekerja secara otomatis dengan mesin modern, sehingga tidak memerlukan banyak operator untuk menungguinya.
Menyusuri sumur-sumur tua ini dan mencium dari dekat aroma ‘khas’ dari sumur pengeboran minyak, semakin memikat hatiku untuk mencoba berhenti dan menyapa beberapa orang yang ada disana. Para perengkek (istilah sebutan bagi orang yang mengambil minyak mentah ini) menggantungkan hidupnya dari hasil menjual minyak mentah yang dihasilkan setiap harinya.
Minyak mentah (atau biasa disebut lantung) tersebut dipompa dengan menggunakan peralatan yang sangat sederhana, semacam bor yang ditancapkan ke bawah tanah dan kemudian ditarik dengan menggunakan mesin diesel (yang digerakkan dengan kopling kaki) lalu dikumpulkan di tangki-tangki berukuran 500 liter dan mereka menjualnya ke Pertamina dengan harga yang telah di sepakati.
Setiap sumur tua dikelola secara patungan oleh masyarakat sekitar dan mereka mengandalkan cara tradisional dengan memanfaatkan alat-alat yang sederhana untuk penambangan minyaknya. Hanya dengan berbekal mesin diesel seadanya, aki, timba atau ember untuk ciduk, katrol, tak kusangka masyarakat lokal disini bisa saling membantu, berkolaborasi dengan Pertamina untuk memompa sumur tuanya dalam menghasilkan minyak mentah. Perharinya, setiap sumur tua tersebut menghasilkan kurang lebih 1.500 liter sampai 2.000 liter minyak mentah.
Distribusi energi Pertamina yang kompak dengan masyarakat lokal tentu mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar, meningkatkan pendapatan daerah, sekaligus mampu menciptakan ketahanan energi dalam negeri. Bisa kita bayangkan, jika produksi migas terhambat dan pendistribusiannya terlambat, maka ketahanan energi Indonesia bisa terancam. Untuk itu dibutuhkan dukungan seluruh pihak untuk menjamin proses produksi minyak dan gas bumi terlaksana tepat waktu.