Mohon tunggu...
Annisa Nurhaliza
Annisa Nurhaliza Mohon Tunggu... Lainnya - Blogger

Hidup sederhana, mati kaya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Berawal dari Membaca hingga Diakui Dunia, Inilah Pelopor Penerjemah Arab-Indonesia

17 Februari 2021   12:13 Diperbarui: 18 Februari 2021   13:03 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

    Kegemaran membaca telah mengantarkan Ali Audah sebagai penerjemah Arab-Indonesia pertama yang selalu dikenang oleh dunia khususnya Indonesia. Sejak kecil ia sangat gemar membaca, kemampuan belajarnya keras, ia belajar sendiri, membaca buku apa saja, dan selalu menuliskan apa yang ia baca. Meskipun sekolahnya hanya sampai kelas II Madrasah namun, Ali Audah tetap gigih belajar sendiri atau otodidak dengan membaca banyak buku apalagi dekat rumahnya terdapat perpustakaan nasional yang menjadi tempat ia menghabiskan waktu untuk membaca banyak buku.

            Ali Audah ahir di Bondowoso, Jawa Timur pada tanggal 14 Juli 1942. Ali Audah yang dikenal sebagai pelopor penerjemah Arab-Indonesia ini ternyata tidak menyelesaikan sekolahnya hingga tuntas di bangku Madrasah Ibtidaiyah. Ali Audah memutuskan untuk tidak menyelesaikan pendidikan formal karena ia tidak suka akan sikap diskriminasi yang dilakukan oleh teman-temannya di sekolah, sehingga membuat Ali Audah tidak nyaman dan akhirnya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikan formalnya.

            Selain menghabiskan waktu di perpustakaan nasional Ali Audah juga membaca dari kertas-kertas bekas memakan kue, gorengan, ataupun Koran yang ia temukan dengan sengaja dijalanan. Kegemarannya membaca ini membuat Ali Audah tertarik pada bacaan-bacaan sastra dan ia pertama kali membaca buku sastra karya Marajoe Soekma dari Banjarmasin. Selain membaca, Ali Audah juga sudah mulai menulis untuk menerbitkan keryanya di majalah. Majalah yang terkenal saat itu adalah Majalah sastrawan yang disebut sebagai majalah papan atas yang selalu menerbitkan karya-karya penulis terbaik dibidang sastra. Saat itu Ali Audah mencoba menulis teks drama dan mencoba mengirimkannya kepada Majalah Sastrawan.

            Akhirnya tahun 1943 karya Ali Audah diterbitkan oleh majalah sastrawan, dan Ali Audah mendapatkan hadiah yaitu diberikan kesempatan untuk berlangganan majalah gratis selama satu tahun. Mulai saat itu Ali Audah sangat bangga terhadap dirinya, dan ia pun semakin semangat untuk melahirkan karya-karya baru lagi. Sejak saat itu Ali Audah semakin gemar membaca apapun mulai dari Politik, Agama, Sastra, Sejarah, dan semua hal yang mampu ia baca. Ali Audah pun selalu menuliskan kosa kata baru yang ia dapatkan ketika membaca juga selalu mencatat peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Indonesia.

            Kegigihan Ali Audah dalam belajar sangat lah tinggi meskipun ia harus putus sekolah namun, ia tak pernah berhenti belajar baik belajar sendiri maupun belajar bersama kakak-kakaknya dari segi bahasa Arab maupun bahasa Inggris. Sebab, kakak-kakaknya adalah alumni dari pondok pesantren Gontor Ponorogo, sehingga lingkungan yang diciptakan pun berbahasa Arab. Mulai saat itu Ali Audah senang belajar bahasa arab maupun bahasa Inggris.

            Sosok Ali Audah yang sangat gemar membaca ini mengantarkannya menjadi penerjemah professional bahkan penerjemah pertama di Indonesia yang menerjemahkan karya-karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia. Sudah banyak sekali karya sastra berbahasa Arab yang diterjemahkan oleh Ali Audah diantaranya yaitu karya yang berjudul Hari-hari Berharu (Thoha Husain), Sejarah Hidup Muhammad (M. Husain Haekal) dan lain-lain. Karya pertama yang diterjemahkan oleh Ali Audah adalah cerita pendek karya sastrawan Mesir modern seperti Nadjib Mahfudz, Taha Husain, Mahmud Tymor. Untuk pertama kalinya karya Ali Audah diterbitkan oleh Penerbit Nusantara di Bukit Tinggi pada tahun 1955. Dan selanjutnya banyak penerbit yang mulai menerbitkan hasil karya terjemahan Ali Audah seperti Penerbit Pustka Jaya, Pustaka Firdaus dan Lintera Internusa.

            Keberhasilan yang diraih oleh Ali Audah adalah prestasi gemilang yang lahir di Indonesia, dimana saat itu belum ada penerjemah yang mampu menerjemahkan karya berbahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia, namun dengan kegigihan dan kegemaran membacanya mengantarkan Ali Audah menjadi penerjemah yang diakui tidak hanya di Indonesia namun di dunia. Kedekatan yang ia bangun dengan sesama penggiat sastra sejak tahun 1950-1960 memiliki pengaruh yang sangat besar pada pengembangan karirnya di dunia penerjemahan.

            Kontribusi Ali Audah dalam dunia penerjemahan tidaklah sedikit namun, Ali Audah memiliki niat yang tulus semata-mata demi ilmu. Ia pun tidak sama sekali memiliki niat untuk meraih jabatan atau pun penghargaan. Hal inipun mengantarkan Ali Audah memiliki banyak amanah di dunia penerjemahan ia pun tidak faham jika pada akhirnya ia harus mengemban amanah dibanyak tempat. Namun begitu Ali Audah selalu menerapkan pada dirinya untuk berfikir positf dan tidak berhenti melahirkan karya karena sebanyak apapun aktifitas yang ia lakukan bukan berarti itu semua sebagai penghalang untuk melakukan kretifitasnya. Justru sebaliknya, semakin banyak aktifitas yang dlakukan semakin memacu semangatnya untuk terus berkarya lebih banyak lagi. Ia memiliki prinsip yaitu "berambisi dalam menciptakan suatu karya boleh saja asal dilakukan dengan cara yang jujur."

Menurut pandangan Jacob Sumardjo yang dimuat dalam Pikiran Rakyat Bandung ketika mengkritisi kumpulan cerpennya Di Bawah Jembatan Gantung (Pustaka Firdaus 1983) yang mengisahkan tentang masa pemberontakan/revolusi kemerdekaan masyarakat al Jazair melawan Perancis tahun 1954-1955 sebagai berikut :

            “Sastra Arab Modern agak jarang kita baca dalam terjemahan Indonesia. Salah satu sebabnya mungkin karena Sastra Arab sendiri kurang banyak menaruh perhatian, sehingga jarang mereka menerjemahkannya dalam salah satu bahasa Arab. Maka satu-satunya cara memperkenalkan sastra Arab Modern adalah lewat terjemahan langsung dari bahasa Arabnya. Dan untung bahwa kita memiliki tenaga demikian itu, yakni sastranya dan gaya terjemahannya tentu dapat kita harapkan mendekati otentiknya dalam konteks budaya.”

            Pada tahun 1942 Ali Audah mulai mencintai sastra, yang diawali dengan karyanya menulis puisi dan drama, hingga pada tahun 1952 Ali Audah berhasil menjadi wartawan dan menulis di beberapa harian, antara lain : Harian Abadi, Indonesia Raya, Kompas, Sinar Harapan, Republika, dan lain-lain. Kemudian pada 1966 menulis makalah, cerpen, novel, kritik sastra, dan terjemahan yang dimuat dalam beberapa majalah antara lain Majalah Mimbar Indoneia, Zenith, Gema Islam, Panji Masyarakat, Kiblat, Ulumul Qur’an, Horison, Tempo, dan lain-lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun