Indonesia merupakan negara hukum yang menganut sistem demokrasi dalam penyelenggaraan pemilihan umumnya. Pemilihan umum tersebut dilakukan berdasarkan UUD tahun 1945 pasal 22 E, yaitu pemilu diselenggarakan berlandaskan asas "Luber-Judil" (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil). Untuk merealisasikan asas di atas, partisipasi masyarakat menjadi aspek yang sangat penting. Bentuk partisipasi dapat dilihat dari beberapa kategori, yakni apatis atau orang yang menarik diri dari proses politik dan spectator atau orang yang secara aktif terlibat dalam proses politik sebagai komunikator dengan tugas khusus mengadakan kontak muka, aktivitas partai dan pekerja kampanye, serta aktivitas masyarakat.
Menurut Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kutai Kartanegara, ada 3 faktor pendukung partisipasi:
1. Adanya kemauan
2. Adanya kemampuan
3. Adanya kesempatan
Terkait hal tersebut, diperlukan pendidikan politik kepada masyarakat melalui Parpol, KPU, Bawaslu, Pemerintah, Sekolah/Perguruan Tinggi, Ormas, Tokoh Masyarakat, ataupun Tokoh Agama.
Partisipasi masyarakat juga dapat menjadi barometer untuk mengukur beberapa hal seperti menilai keberhasilan suatu pemilu, menilai kesadaran politik rakyat/masyarakat, dan mengukur legitimasi peserta pemilihan yang menang. Secara kuantitatif, partisipasi tersebut dapat diukur melalui presentasi jumlah pemilih yang datang ke TPS. Sedangkan secara kualitatif, dapat dilihat dari rasionalitas pilihan dan peran aktif pemilih dalam setiap tahapan pemilu.
Menurut Mantan Ketua Bawaslu RI periode 2011-2012, menjadi petugas penyelenggara/pengawas, menjadi pemantau pemilu, menjadi caleg/tim sukses dan sebagainya, merupakan partisipasi aktif dalam pelaksanaan pemilu. Karena, pemilihan umum adalah proses politik yang melibatkan masyarakat sejak awal. Mulai dari pendaftaran pemilih, pendaftaran peserta pemilu, kandidasi para calon, kampanye hingga pemungutan suara.
"Tidak ada aktivitas politik yang paling masif melibatkan masyarakat, selain pemilihan umum," ujar Mantan Ketua Bawaslu tersebut.
Oleh karena itu, aktivitas pemilu memerlukan keterlibatan aktif masyarakat. Baik sebagai pemilih, petugas, pelaku politik maupun pemantau pemilu. Partisipasi aktif masyarakat tersebut dapat diwujudkan dengan cara memantau perhitungan suara di TPS, menyaksikan pelaksanaan penghitungan suara di luar TPS, menyampaikan laporan atas dugaan adanya pelanggaran, dan juga adanya penyimpangan atau kesalahan dalam pelaksanaan penghitungan suara kepada KPPS.
Mengingat jumlah calon yang dipilih pada pemilu tahun 2024 lebih banyak dari jumlah biasanya, badan penyelenggara harus mempertahankan peningkatan partisipasi pemilih (masyarakat/konstituen).