Mohon tunggu...
Annisa Mutia
Annisa Mutia Mohon Tunggu... ibu rumah tangga -

Pencari ilmu yang berharap mendapatkan bekal yang cukup untuk pulang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Lintasan Pengetahuan

15 November 2011   13:49 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:38 157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Alkisah, seorang anak, sebut saja namanya Kriwil senantiasa membuat ayah dan ibunya tercinta kelimpungan. Apa pasal, Kriwil yang sudah disekolahkan ke Pesantren selama 6 tahun (SMP hingga SMU) ternyata suka balapan liar dan mabuk-mabukan sehingga kuliahnya berantakan.  Puncaknya ketika salah seorang tetangga mengadu kepada ibu Kriwil, bahwa Kriwil telah menggondol kas Mesjid untuk membeli miras dan berjudi. Sang ibu yang kadung malu kepada masyarakat kali ini harus  memutar otak dan mencari jalan agar anaknya ini kembali ke jalan yang benar (back on the right track) meski sebenarnya selama ini si ibu sudah berusaha menasehati Kriwil dengan cara lembut dan berusaha  memberi perhatian lebih kepada anak semata wayangnya ini.

Setelah sekian lama tidak ada perubahan, atas saran seorang teman pengajian yang turut prihatin melihat tingkah pola Kriwil, si ibu kemudian mendatangi seorang Psikolog . Ia menceritakan duduk persoalannya, mengapa si Kriwil bisa senekat itu dan mengapa perubahan terjadi pada Kriwil yang dulunya ketika masih di Pesantren merupakan anak berprestasi dan santun tapi setelah keluar dari pesantren menjadi seperti kuda liar yang lepas kendali. Sang Psikolog yang sudah sangat berpengalaman dalam menangani kasus-kasus serupa pun mengangguk-angguk demi mendengarkan cerita si ibu, dengan menaruh simpati yang besar. Sang Psikolog  pun memberikan beberapa saran berupa 3 langkah yang harus di tempuh sang ibu dan ayah agar anaknya bisa kembali menjadi Kriwil yang dulu; yang baik dan berprestasi.

Adapun 3 langkah yang dianjurkan oleh Psikolog kepada sang ibu adalah, pertama; Kriwil harus hengkang dari rumah orang tuanya dan kos di daerah dekat kampus dia menuntut ilmu, kedua: Kriwil hanya boleh menerima uang saku untuk keperluan diri dan kuliahnya separuh dari jatah biasanya dari orang tuanya. Yang ketiga adalah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang separuh lagi, dia harus bekerja di Toko milik ayahnya dengan mendapatkan upah yang sama dengan karyawan ayahnya yang lain. Dan apabila Kriwil melanggar ketiga langkah ini, dia harus di hukum dengan tidak dibenarkan bertemu dengan kedua orang tuanya selama 1 bulan, demikian juga kalau orang tuanya melanggar ketiga langkah ini karena kasihan kepada anak semata wayang mereka, maka mereka pun tidak diperkenankan bertemu dengan Kriwil selama 1 bulan. Psikolog itu menyuruh mereka datang lagi tiga bulan berikutnya.

Meski teramat berat, mengigat si ibu dan ayah Kriwil sangat menyayangi anak mereka dan selama ini selalu berusaha memenuhi kebutuhan Kriwil, namun karena prilaku Kriwil dianggap sudah meresahkan masyarakat kampong hingga stadium empat, maka mau tidak mau orang tua Kriwil harus mengikuti saran Psikolog tersebut meski sebenarnya tidak tega. Kriwil memang selama ini tidak mandiri dan orang tuanya selalu memposisikan dia sebagai anak yang harus dipenuhi segala kebutuhan dan nyaris tak pernah terpikir oleh Kriwil bagaimana orang tuanya banting tulang untuk menyekolahkannya hingga kuliah. Orang tuanya tak pernah cerita suka duka mereka membangun bisnis toko bahan bangunan milik mereka dan Kriwil tak pernah dilibatkan sekalipun dalam bisnis tersebut. Dia bahkan tak pernah tau dimana toko bangunan milik ayahnya. Dia hanya terima beres.

Singkat cerita, meski dengan mengeras-ngeraskan hati si ibu yang teramat cintanya kepada Kriwil dan si ayah yang selalu ingin menjadi pahlawan bagi setiap kebutuhan Kriwil pun melaksanakan saran Psikolog tersebut. Bulan pertama teramat sulit. Kriwil pernah kabur dari kosnya dan bermohon berjam-jam di depan gerbang rumahnya agar dibukakan pintu oleh si ibu, tapi tekad orang tua ini telah bulat. Demikian juga dengan pekerjaan di Toko, Kriwil mengancam karyawan yang lain dan memaksa mereka agar mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya  namun segera si Ayah dengan tegas menghukum Kriwil dengan tidak menggajinya selama 1 bulan dan mewajibkan Kriwil mengerjakan sendiri pekerjaannya tanpa bantuan orang lain.

Masa-masa sulit itu pun berlalu dalam 3 bulan seperti direncanakan. Kriwil berubah. Kini dia jerah dan tau orang tuanya tidak bisa dikibuli lagi seperti dulu. Orang tuanya mendatangi Psikolog dan mengucapkan terimakasih yang tak terhingga karena Kriwil tidak lagi balapan liar dan tidak mabuk-mabukan apalagi mencuri. Hidupnya lebih terarah, bahkan dia memutuskan bertahan untuk tetap kos dan bekerja dengan gaji yang sama dengan karyawan lain di toko ayahnya sendiri.

***

Pertanyaannya, mengapa Kriwil bisa berubah dalam waktu 3 bulan saja? Apakah karena saran brilian dari Psikolog itu? Atau karena kekuatan hati dan niat tulus orang tuanya untuk membantu Kriwil memperbaiki diri? Sering kali karena teramat cintanya, orang tua lupa kalau anaknya akan mengalami masa yang sulit penuh tantangan di dunia luar dan tidak senyaman seperti di dalam rumah atau dalam dekapan hangat orang tua. Seringkali Orang tua  menginginkan yang terbaik dan mengusahakan yang terbaik bagi anak-anak mereka dengan cara-cara yang tidak “mendidik”. Kasih sayang bisa seperti dua sisi mata uang yang bertolak belakang. Bila kita salah mempersepsikan kasih sayang maka sangat fatal akibatnya bagi perkembangan jiwa si anak di masa depannya.

Dalam kasus Kriwil, saran yang paling jitu sekalipun belum tentu dapat merubah prilaku buruk menjadi prilaku baik, apalagi membuat prilaku baik itu mejadi permanen untuk seterusnya.  Setelah niat baik orang tua, maka kekuatan hati untuk tetap konsisten menjalankan langkah perbaikan yang sudah disepakati menjadi pilar utama. Sering para orang tua enggan menjatuhkan hukuman, tidak tega memberi sangsi yang keras atas perbuatan anak yang sudah jauh diluar batas kebaikan. Hal ini berakibat buruk pada psikologi anak. Anak yang cenderung dibiarkan berprilaku buruk akan dengan sangat mudah mempermainkan hati orang tua. Karena dia yakin seburuk apapun prilakunya, orang tuanya toh tidak akan sampai hati menghukum. Begitu pula hukuman yang tidak wajar, keras tapi tidak mengandung maksud atau pelajaran positif yang akan membekas, justru malah membuat anak semakin menjadi-jadi prilaku buruknya.

Kemudian, orang tua -- sanking PD nya lebih mempercayakan pendidikan akhlaqul karimah (budi pekerti) kepada lembaga-lembaga sekolah (Pesantren dan sekolah-sekolah yang mengklaim banyak menanamkan unsur religiousitas). Bahkan mereka, para orang tua kita yang budiman itu rela mengelontorkan sekian juta uang untuk memasukkan anak-anak mereka ke sekolah bergengsi yang memadukan intelektual dengan kecerdasan emosional ini. Tidak ada yang salah dengan sekolah-sekolah jenis ini. Tapi yang mesti digaris bawahi adalah seberapapun baik atau mahalnya sekolah dan keinginan besar orang tua untuk menjamin anak mereka mendapatkan pendidikan dunia akhirat, tetap saja perhatian dan pendidikan dari mereka sendirilah yang paling utama dan menjadi landasan dasar bagi perkembangan prilaku anak-anak mereka. Inilah yang sering luput dari perhatian orang tua selaku teladan dan guru pertama dan utama bagi anak-anak mereka.

Anak-anak yang dibesarkan dengan kasih sayang yang tulus. perhatian yang besar melalui intensitas pertemuan yang berkesan bersama kedua orang tua mereka, lebih mampu mengembangkan diri mereka secara positif daripada anak-anak yang hanya dibesarkan dengan pemenuhan fasilitas dan tuntutan orang tua atas prestasi akademis yang harus diraihnya. Apa sebab? Keteladanan dan pengalaman spiritual adalah jawabannya. Orang tua yang selalu mendampingi putra-putrinya pada masa-masa penting mereka dan bersedia “memberikan” waktu terbaik mereka sebagai fasilitator demi menjawab segala sesuatu yang asing yang belum diketahui anak-anak titipan Tuhan ini sehingga mereka akan  memiliki rasa percaya diri yang lebih dari cukup untuk menghadapi tantangan dunia luar yang akan dihadapi kelak ketika telah dewasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun