Mohon tunggu...
Annisa Malchan
Annisa Malchan Mohon Tunggu... -

Tuan atas pikiranku. Learning how to learn. UIN SUKA | Fishum | Psycho '16

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen | Terlahir Sebagai Seseorang yang Tak Pernah Lahir

5 September 2016   17:31 Diperbarui: 5 September 2016   23:30 517
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karya Wayan Redika, ilustrasi cerpen

Malam masih gelap seperti biasanya ketika ia terbangun. Rasanya aneh bahwa ia tidak terbangun di rumah susun yang sama dengan yang ditinggalinya beberapa tahun silam. Hitungan tahun, tapi masih sangat membekas. Ia harus mengerjap beberapa menit ke sekeliling kamarnya sebelum benar-benar sadar dan bangun. Untuk beberapa menit pertama ia membuka mata, katakan saja ia amnesia.

Ruangan putih yang sama, berantakan yang sama. Lampu remangnya juga sama. Beberapa buku dibiarkan tergeletak di lantai, beberapa lainnya di meja--dan berserakan juga. Pena tanpa tutup memenuhi sisi lain meja, di atas tumpukan kertas-kertas yang penuh coretan cakar ayam berwarna di pinggir-pinggir halaman ketikannya. Bau kamarnya tidak jelas; kadang tercium seperti mi instan rasa ayam bawang kesukaannya, kadang juga seperti batagor mamang yang biasa lewat, atau bahkan bau tumpukan baju kotor--pernah juga campuran ketiganya. 

Ia selalu saja merasa bahwa semuanya hanya sesempurna itu. Kesempuarnaan itu kadang mutlak bagi seseorang. Buku berserakan dan bau yang campur aduk di dalam kamar yang tampak mirip dengan rumah susunnya adalah salah satu wujud kesempurnaan paling absolut yang pernah dirasakannya.

"Kamu perempuan, Nama!" Begitu Ibu selalu membentaknya, memaksa agar kamarnya rapi dalam hitungan menit. Kadang, gertakan itu juga berarti pergilah-memasak-sekarang-aku-sedang-sibuk. Ia biasanya akan mengiyakan, lalu menutup kamar. Di dalam, ia memukul-mukulkan tangannya ke bantal dan kasur. Yang benar saja, pikirnya saat itu, kamar ini adalah sumber inspirasi paling nyata dari dunia bayangan yang remang. Tetapi di beberapa kasus yang rumit, ibunya datang dengan sapu ijuk, kemoceng, dan lap, memperhatikan bagaimana caranya membersihkan kamar itu. Saat itulah kamarnya akan benar-benar rapi. Yah, meski hanya berlaku maksimal dua hari.

Tapi itu Ibu.

Ah. Betapa banyak yang dilewatkannya. Lagi-lagi cerita soal Ibu. Sudah terlalu pasaran dan membosankan semua cerita tentang Ibu itu! Ia sendiri tidak tahu bagaimana harus menulis tentang ibunya. Atau bahkan, haruskah ia menulis tentang ibunya, seperti orang lain melakukannya dengan sangat baik?

Ia selalu membayangkan ibunya perkasa seperti Gatot Kaca, kesatria seperti pahlawan-pahlawan di komik Marvel, badannya proporsional dan cantik seperti bintang Titanic. Tapi apakah memalukan untuk mengakui bahwa semuanya tidak benar? Apakah semuanya akan sama mudahnya dengan mengakui ibunya adalah perkasa seperti Gatot Kaca dan seterusnya? Nama merasa ingin menangis dan kesal sekali.

Dua puluh tahun Nama hidup sebagai Nama. Tapi baru dua tahun ini ia merasa gagal menjadi manusia. Dua tahun lalu, atas kecelakaan ibunya, andai ia bisa berlari lebih cepat, menyelesaikan tetek-bengek urusan keringanan biaya pengobatan, sehingga ia bisa selesai mengurus semuanya sebelum kantor tutup dan mengharuskan ibunya menunggu dua hari untuk sebuah penanganan layak, tentu nyawanya bisa selamat. Pasti kamarnya juga tak akan seberantakan sekarang. Pasti ia tak akan mendapat inspirasi yang melimpah seperti sekarang.

Mengomersialisasi kematian menjadi hal pertama yang dilakukannya sebagai anak. Jauh di dalam dirinya sendiri, ia kebingungan mencari mata angin. Arah tampak kabur dan kompas tak berfungsi. Nama kehilangan nama dalam dirinya. Nama terbuang dari kehidupan di tengah gemerlapan dunia yang baru baginya. Ia terlahir kembali sebagai seseorang yang tak pernah terlahir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun