Jelang peringatan Hari Kebebasan Pers Sedunia yang jatuh pada tanggal 3 Mei terdapat sebuah laporan yang dirilis oleh Reporter Without Borders pada Selasa (20/04) bahwa terjadi penurunan kebebasan pers secara global. Pandemi COVID-19 dijadikan alasan utama penyebab sulitnya akses jurnalis untuk meliput sebuah berita di lapangan. Data menunjukkan bahwa jurnalis semakin sulit untuk menyelidiki dan melaporkan berita sensitif, terutama di Asia, Timur Tengah dan Eropa.Â
Hal ini menyebabkan ketidakpercayaan publik terhadap jurnalis lebih meningkat karena dianggap melaporkan informasi yang salah atau palsu. Pada kenyataannya, sering kali kegiatan jurnalisme dihalangi oleh banyak faktor seperti faktor politik, ekonomi, sosial dan sebagainya. Ketika jurnalis berada di bawah ancaman, maka informasi juga terancam serta berdampak besar pada kehidupan masyarakat.
Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokrasi, yang mana sistem ini tidak dapat dipisahkan dari kebebasan berekspresi, kebebasan menyuarakan pendapat bahkan kebebasan pers. Kehidupan yang demokratis seharusnya dapat menjamin serta mendukung masyarakat untuk mengemukakan pendapat dan ekspresi di hadapan publik serta memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi lebih aktif dalam melakukan kontrol terhadap pemerintah seperti dalam fungsi jurnalisme yaitu pers sebagai watchdog.Â
Kebebasan pers di Indonesia diatur dalam UU No. 40 Tahun 1999, Tentang Pers. UU tersebut menegaskan kemerdekaan serta fungsi dari Pers, termasuk hak-hak yang dimiliki oleh seorang jurnalis, dan juga kode etik jurnalistik. Rumusan hukum dan perundang-undangan disini berfungsi sebagai pelindung bagi masyarakat namun juga harus diiringi dengan tanggung jawab pada kode-kode etik dan norma terkait.Â
Sayangnya, walau kebebasan pers sudah tercantum dan diatur dalam undang-undang, masih banyak sekali kasus yang mengancam kebebasan pers bahkan mengekang dengan berbagai bentuk ancaman.Â
Tahun 2020 merupakan tahun yang paling buruk bagi dunia jurnalis Indonesia. LBH Pers mencatat bahwa kasus kekerasan pers meningkat lebih dari 30% pada tahun 2020, yang mana merupakan angka tertinggi sejak reformasi. Lebih dari 70 kasus pada tahun 2020 berakar pada jurnalis yang meliput demonstrasi Omnibus Law.
Lalu beralih ke tahun ini, menurut data kekerasan yang tercatat pada AJI, pada paruh awal tahun 2021 kasus kekerasan pada jurnalis sudah terjadi 4 kali. Meliputi kekerasan fisik, doxing, intimidasi, ancaman, dan pengusiran. Kejadian serupa tak hanya sekali dua kali, namun setiap tahun pasti terjadi.Â
Lantas, kita harusnya kembali mempertanyakan apakah Indonesia benar-benar memberikan kebebasan berekspresi bagi seluruh warganya? Atau kita masih harus terus terkekang dan merasa terancam?Â
Dengan memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia pada tanggal 3 Mei mendatang, seharusnya menjadi momentum untuk kita kembali evaluasi serta kawal terus hak kita untuk bebas berekspresi. Sudah seharusnya seluruh lapisan masyarakat merawat dan menjaga kebebasan berekspresi. Karena kebebasan pers merupakan hak asasi yang telah dijamin dan harus selalu kita tegakkan, jangan sampai kekuasaan menjadi kekuatan untuk menindas.Â
*)Tentang Penulis :
An Nisa’ Alfatihah, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Angkatan 2019