Mohon tunggu...
annisa rohima
annisa rohima Mohon Tunggu... -

Dokter konselor laktasi

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Biarkan Ibu Tetap Memberi ASI di Tempat Pengungsian

22 Januari 2014   17:35 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:34 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Bencana alam juga tragedi kemanusiaan lainnya sepertinya cukup akrab di telinga kita. Indonesia merupakan sebuah Negara kepulauan cantik bagaikan untaian mutu manikam yang terletak di antara dua benua yaitu benua Asia dan Australia. Indonesia juga terletak diantara  dua samodra yaitu samodra Pasifik dan Samodra Hindia dengan luas perairan 5,8 juta kilometer dengan garis pantai sepanjang 81.000 km terpanjang kedua di dunia.

Sebanyak 17.504 pulau yang terbentang  di wilayah khatulistiwa ini menyimpan potensi bencana yang sangat besar. Posisi wilayah kepulauan Indonesia terletak pertemuan tiga lempeng yaitu, lempeng Eurasia, lempeng Pasifik dan lempeng Indo-Australia yang menjadi pusat pergerakan kulit bumi sehingga rentan mengalami bencana seperti gempa dan tsunami. Negri yang subur ini juga dikepung oleh cincin api “ring of fire” gunung-gunung berapi yang bisa kapan saja meletus menimbulkan bencana tektonik. Indonesia memiliki gunung api terbanyak di dunia, yaitu 130 gunung api dengan 17 gunung yang masih aktif.

Selain bencana alam gempa dan tsunami, negri ini juga sering sekali mengalami musibah banjir dan konflik antar-suku yang menimbulkan berbagai masalah dalam bidang kesehatan. Masih teringat dalam  tragedi tsunami Aceh, gempa Jogja-DIY, siklus banjir 5 tahunan di ibukota, letusan Merapi, letusan Sinabung, gempa Bengkulu, gempa Padang, konflik di Poso atau Papua, dll. Bencana alam dan konflik kemanusiaan menyebabkan kondisi kegawatdaruratan yang memaksa warga untuk mengungsi ke tempat yang aman. Belum ada alat dan manusia yang bisa meramal dengan pasti terjadinya bencana alam.

Tenda-tenda pengungsian yang didirikan secara mendadak memiliki fasilitas pendukung yang masih minim dan sering jauh dari memadai. Oleh sebab itu, sebagai penduduk sebuah negri yang bisa terancam bencana sewaktu-waktu sebaiknya kita memiliki bekal perilaku hidup sehat (PHS) dalam kegawatdaruratan. Dengan harapan muncul perilaku atas kesadaran sendiri untuk menolong diri sendiri, keluarga dan masyarakat supaya lebih terjaga, terlindungi dan status kesehatan tetap meningkat selama hidup dalam kondisi darurat. Ada 10 poin penting dalam PHS, yaitu:
1.Teruskan pemberian ASI bagi bayi.
2.Biasakan cuci tangan pakai sabun.
3.Menggunakan air bersih.
4.Buang air besar/air kecil di jamban serta buang sampah di tempat sampah.
5.Memanfaatkan pelayanan kesehatan yang tersedia.
6.Melindungi anak.
7.Makan makanan bergizi.
8.Tidak merokok di lingkungan pengungsian.
9.Mengelola stress
10.Bermain sambil belajar.

Pada kondisi kegwatdaruratan bencana dan di tempat pengungsian terdapat beberapa kelompok yang lebih rentan terhadap efek buruk bencana, yaitu anak-anak (termasuk bayi dan balita), ibu hamil, ibu menyusui, lansia, penyandang cacat dan orang sakit. Hingga saat ini, saat melihat tayangan reportase tentang berita bencana, saya selalu merasa miris saat reporter menyampaikan kebutuhan para pengungsi. Reporter sebagian besar menyampaikan bahwa pengungsi butuh bantuan makanan, pakaian, selimut, obat-obatan dan susu bayi. Bayi adalah manusia yang berumur di bawah 12 bulan. Seorang bayi seharusnya mendapatkan susu dari ibunya sendiri, yaitu ASI.

ASI merupakan standard baku emas pemberian makan bayi sehingga ASI merupakan makanan dan minuman yang terbaik bagi bayi. Bayi 0 – 6 bulan sebaiknya hanya diberikan ASI saja, tanpa tambahan air minum seperti air putih, madu, teh, jus, sirop, dll. ASI terjamin keamanan dan ketersediaannya dengan nutrisi terjamin yang bisa memenuhi kebutuhan bayi meskipun ibu di pengungsian hanya makan makanan yang seadanya saja. ASI selalu terjamin bersih dan segar. Selain mengandung semua nutrisi dan cairan yang bayi butuhkan, di dalam ASI juga terdapat antibodi, antiinfeksi, antiradang, antialergi serta zat-zat penguat kekebalan tubuh yang lain sehingga bayi tetap sehat meski kebersihan di tempat pengungsian tidak terjamin.  juga faktor pertumbuhan. Dengan terus menyusu dan memperoleh ASI maka bayi dan ibu akan lebih sehat. Bayi akan lebih terlindungi dari infeksi saluran pernafasan (seperti batuk pilek) dan pencernaan (seperti diare) yang rentan mewabah di wilayah pengungsian.

Pada kondisi bencana para ibu merasa khawatir serta kehilangan kepercayaan diri untuk tetap menyusui dan memberikan ASI untuk bayinya. Ibu akan tetap bisa memproduksi ASI yang berkualitas serta mampu memenuhi kebutuhan bayi meskipun ibu dalam kondisi stress penuh tekanan, panik, tidak tenang, takut dan sedih sekalipun. Ibu hanya perlu tetap menyusui bayi. Saat menyusui akan keluar hormon oksitosin dan prolaktin yang akan membuat ibu merasa nyaman, tenang dan bahagia. Sehingga ibu yang menyusui harus tetap didukung untuk menyusui, meskipun tinggal di tenda-tenda darurat pengungsian. Sebaiknya disediakan bilik menyusui supaya ibu bisa lebih merasa aman saat menyusui bayi mereka. Ayah bisa membantu menenangkan istrinya dan memberikan pijatan lembut di sekitar tulang belakang supaya ASI makin lancar. Bayi yang diare harus tetap disusui supaya terhindar dari komplikasi fatal dari diare juga supaya lebih cepat sembuh. Ibu yang berhenti menyusui mendadak dalam suasana penuh tekanan seperti ini rentan terkena bendungan ASI, mastitis, abses payudara yang justru membuatnya merasa sakit. Jadi, teruskan menyusui dan memberikan ASi supaya bayi dan ibu tetap sehat.

Bayi yang kehilangan atau terpisah dari ibunya karena ibu sakit atau meninggal bisa dicarikan donor ASI dengan syarat keluarga menyetujui pemberian ASI donor, identitas donor ASI maupun bayi penerima tercatat, ibu susu dinyatakan sehat oleh tenaga kesehatan serta ASI donor tidak diperjualbelikan.

Pada kondisi kegawatdaruratan bencana alam akan ada banyak bantuan susu formula. Pemberian susu formula tidak tepat dilakukan di wilayah pengungsian yang fasilitasnya serba terbatas dan darurat. Lingkungan pengungsian tidak bersih sehingga air dan peralatan yang digunakan untuk menyediakan susu formula rentan tercemar oleh bakteri serta kotoran lainnya. Lingkungan pengungsian juga tidak terjamin ketersediaan air bersih untuk kegiatan cuci dot dan peralatan bayi. Susu formula tidak mengandung antiinfeksi juga membutuhkan penggunaan dot untuk pemberian kepada bayi. Di lingkungan pengungsian sangat sulit untuk merebus air sehingga tidak terjamin ketersediaan air hangat untuk melarutkan susu formula sewaktu-waktu, juga sulit untuk mensterilkan dot dan peralatan yang digunakan untuk membuat susu formula. Penelitian menunjukkan bayi di tempat pengungsian yang diberikan bantuan susu formula akan mengalami diare dua kali lebih sering daripada bayi yang TIDAK diberi bantuan susu formula.

Oleh sebab itu, sebaiknya para ibu menyusui tetap meneruskan pemberian ASI bagi bayi dalam situasi gawat-darurat bencana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun