Mohon tunggu...
Annisa Fitri Rahayu
Annisa Fitri Rahayu Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga

Menulis seputar dunia kesehatan

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Keputusan Sulit Dokter: Antara Menyelamatkan Nyawa Pasien dan Risiko Tuduhan Malpraktik

25 Desember 2024   13:50 Diperbarui: 25 Desember 2024   13:59 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hubungan saling percaya dokter dan pasien (Sumber: iStock)

Dalam dunia kedokteran, keselamatan pasien adalah hukum tertinggi, sebagaimana tercermin dalam prinsip Aegroti Salus Lex Suprema. Namun, bagaimana jika keputusan yang diambil untuk menyelamatkan nyawa pasien justru menempatkan dokter pada risiko tuduhan malpraktik? Ini adalah dilema yang sering dihadapi oleh tenaga medis, terutama dalam situasi darurat atau kompleks.

Dilema dalam Keputusan Berisiko

Dokter sering kali dihadapkan pada situasi di mana mereka harus memilih tindakan yang mungkin menyelamatkan nyawa tetapi memiliki risiko jangka panjang, seperti kecacatan permanen. Beberapa contoh nyata meliputi:

  1. Amputasi darurat: Dalam kasus infeksi berat seperti sepsis, amputasi anggota tubuh mungkin menjadi satu-satunya cara untuk menyelamatkan nyawa pasien. Namun, tindakan ini sering kali dipandang sebagai keputusan ekstrem oleh pasien atau keluarganya.
  2. Operasi besar dengan risiko tinggi: Dalam situasi seperti aneurisma pecah atau trauma berat, operasi darurat yang dilakukan dalam waktu singkat bisa menyelamatkan nyawa, tetapi berpotensi menyebabkan efek samping seperti kelumpuhan.
  3. Penggunaan teknologi baru: Alat bantu medis inovatif yang belum sepenuhnya diuji klinis terkadang menjadi pilihan terakhir dalam keadaan kritis, tetapi dapat menimbulkan kontroversi jika hasilnya tidak sesuai harapan.

Risiko Tuduhan Malpraktik Terhadap Dokter

Banyak pasien atau keluarga pasien yang melihat hasil buruk (misalnya kecacatan) sebagai bentuk malpraktik, meskipun keputusan medis tersebut diambil untuk menyelamatkan nyawa. Di Indonesia, malpraktik medis diatur oleh Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, yang mendefinisikan malpraktik sebagai kelalaian atau kesalahan profesional yang menyebabkan kerugian pada pasien. Tuduhan malpraktik sering kali terjadi karena:

  1. Kurangnya pemahaman pasien: Pasien atau keluarga tidak sepenuhnya memahami risiko tindakan medis yang telah dijelaskan.
  2. Komunikasi yang kurang efektif: Dokter tidak mampu menyampaikan risiko secara jelas sehingga pasien merasa tidak diinformasikan dengan baik.
  3. Dokumentasi yang lemah: Tidak adanya rekam medis yang lengkap dapat menjadi celah bagi pasien untuk mengajukan gugatan.

Pendekatan Etika dalam Keputusan Medis

Dalam menghadapi dilema ini, dokter harus mengacu pada prinsip-prinsip etika dan hukum kesehatan:

  1. Beneficence (berbuat baik): Dokter harus memilih tindakan yang memberikan manfaat terbesar bagi pasien.
  2. Non-maleficence (tidak membahayakan): Meskipun tindakan medis berisiko, dokter harus meminimalkan kemungkinan kerugian.
  3. Autonomi pasien: Dokter harus menghormati hak pasien untuk membuat keputusan sendiri setelah mendapatkan informasi yang jelas dan lengkap.

Untuk mengurangi risiko konflik, penting bagi dokter untuk melakukan:

  1. Komunikasi efektif: Jelaskan risiko, manfaat, dan alternatif tindakan secara transparan kepada pasien dan keluarga.
  2. Informed Consent dan Penjelasan Sebelum Persetujuan: Dokumen persetujuan harus ditandatangani pasien setelah mereka memahami konsekuensi tindakan medis.
  3. Kolaborasi dengan tim medis: Melibatkan tim medis dalam pengambilan keputusan dapat meningkatkan kepercayaan pasien.

Lembar Informed Consent (Sumber: HNews.id)
Lembar Informed Consent (Sumber: HNews.id)

Prinsip Komunikasi Kesehatan yang Efektif

Komunikasi yang baik antara tenaga kesehatan dan pasien adalah kunci untuk menghindari kesalahpahaman yang dapat memicu tuduhan malpraktik. Prinsip komunikasi kesehatan yang efektif meliputi:

  1. Keterbukaan dan Transparansi: Tenaga kesehatan harus menyampaikan informasi tentang kondisi pasien, tindakan medis yang diperlukan, risiko, manfaat, dan alternatif yang tersedia secara jelas dan terbuka.
  2. Empati: Mendengarkan kekhawatiran pasien dan keluarganya dengan penuh perhatian serta menunjukkan kepedulian terhadap kondisi mereka.
  3. Bahasa yang Mudah Dipahami: Hal terpenting dalam komunikasi dengan pasien ialah pasien dapat memahami apa yang disampaikan tenaga kesehatan.
  4. Mendukung Keputusan Pasien: Pasien harus merasa dilibatkan dalam pengambilan keputusan melalui proses informed consent yang komprehensif.

Studi Kasus: Keputusan Sulit yang Menyelamatkan Nyawa

Seorang dokter bedah di sebuah rumah sakit darurat pernah menghadapi pasien dengan luka parah akibat kecelakaan. Untuk mencegah pasien kehilangan nyawa akibat pendarahan hebat, dokter memutuskan untuk mengamputasi bagian kaki yang sudah tidak bisa diselamatkan. Meski nyawa pasien berhasil diselamatkan, keluarganya mengajukan gugatan karena merasa keputusan tersebut diambil tanpa persetujuan mereka. Setelah penyelidikan lebih lanjut, terbukti bahwa dokter telah mencatat semua prosedur dengan lengkap dan mendapatkan persetujuan dari pasien yang sadar sebelum operasi dilakukan. Kasus ini menjadi contoh penting bagaimana dokumentasi yang kuat dan komunikasi yang efektif dapat melindungi dokter dari tuduhan malpraktik. 

Kesimpulan dan Saran

Keputusan medis yang sulit adalah bagian tak terpisahkan dari profesi dokter. Dalam menjaga prinsip Aegroti Salus Lex Suprema, dokter harus berusaha semaksimal mungkin untuk menyelamatkan nyawa pasien, meskipun ada risiko jangka panjang. Namun, untuk melindungi diri dari tuduhan malpraktik, dokter juga harus memastikan bahwa setiap tindakan didukung oleh dokumentasi yang lengkap, komunikasi yang baik, dan kepatuhan terhadap standar etika dan hukum. Di luar itu, Majelis Disiplin Profesi hadir sebagai lembaga yang menjaga keadilan tenaga kesehatan. Masyarakat juga perlu memahami bahwa dunia medis sering kali penuh dengan keputusan yang kompleks. Dukungan terhadap tenaga medis dan edukasi publik tentang proses pengambilan keputusan dalam kedokteran dapat membantu mengurangi konflik dan meningkatkan kepercayaan antara dokter dan pasien. Dengan kerja sama yang baik, keselamatan pasien dan perlindungan hukum tenaga kesehatan pun dapat berjalan beriringan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun