Mohon tunggu...
Annisa Fitri
Annisa Fitri Mohon Tunggu... -

ini awal saja untuk berbicara, jadi tulis dlu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Jendela Sarang Rayap

7 Mei 2012   08:36 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:36 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jendela Sarang Rayap

Jendela Sarang Rayap
Langit masih tetap cerah malam ini, mengumpulkan semua rakyatnya yang bersembunyi seharian tadi. Di sudut kamar ini, aku masih menggemakan rindu yang kian hari kian menjadi. Tak dapat menyatu dengan lingkaran merah di atas sana. Masih dengan segala keyakinan yang memeluk mesra sekujur jiwa, keyakinan akan janji suci yang terpatri di surat merah muda yang bukan hanya sekedar aksara. Tidak hanya hari ini, jam ini, menit ini bahkan detik ini, aku masih tetap menunggu lambaian tangannya di balik jendela sarang rayap. Dia yang belum juga kembali dari pencarian jati diri.
“Aku ingin hidup yang lebih baik, aku tidak bisa terus tinggal di sini.”
“Lalu bagaimana denganku? Kau berjanji akan menikahikukan,Sam?”
“Aku mencintaimu, sangat mencintaimu. Kau hanya perlu menungguku, aku pasti pulang.”
Ya itu yang dijanjikannya empat tahun lalu. Janji manis yang masih kuyakini hingga detik ini. Sam itu pria yang baik, pengertian dan sangat bertanggungjawab. Aku sudah mengenalnya sejak umur 10 tahun. Dia memang bukan keturunan dari orang yang berada, tapi dia pekerja keras. Aku bangga sekali padanya. Sejak duduk di bangku SMP, ia sudah sering berjualan ikut ibunya. Aku kagum sekali melihatnya mengangkut barang dagangan dengan tubuhnya yang kekar itu. Sekarang aku tak tahu ia di mana, ntah bagaimana keadaannya. Dua tahun pertama, Sam masih sering mengirimiku surat. Dalam suratnya, ia masih terus memintaku menunggu. Aku tahu, itu bukan hanya sebuah permintaan, tapi sebuah permohonan dan harapan. Tapi dua tahun terakhir, aku tak menerima surat merah muda itu lagi. Dari alamat surat-suratnya terdahulu, aku kirimi ia surat. Namun tak pernah ada balasan. Hatiku mulai resah, menduga-duga hal yang tak pernah kuharapkan.
Kini umurku sudah menginjak 28 tahun. Orangtuaku tidak akan membiarkanku menjadi perawan tua dengan menunggu Sam. Mereka mencoba mengenalkanku dengan pria lain, yang notabene lebih baik dari Sam dari segi materi dan pendidikan. Berulang kali juga aku menolak mereka. Berulang kali aku meminta ibuku untuk berhenti mengenalkanku dengan pria lain karena aku tidak akan menikah dengan pria selain Sam.
“Apa lagi yang kau tunggu dari pria itu, Nisa? Dia pasti sudah menikah dengan perempuan lain di sana. Kau tak perlu menunggunya lagi, Nak!”
“Aku hanya mencintai Sam, bu. Maafkan aku, aku hanya akan menikah dengannya, dia pasti kembali bu.” Selalu percakapan itu yang terjadi.
Sam, kau dimana sayang? Aku merindukanmmu. Detak jantungku mulai melambat karna memikirkanmu. Menerka-nerka kesetiaanmu padaku. Aku takut keriput mulai timbul di wajahku yang dulu sangat kau kagumi. Wajahmu layaknya pelangi di gurun Sahara, keajaiban, begitu katamu dulu. Masihkah kau mencintaiku nanti, Sam? Aahh aku sungguh gila memikirkannya. Tapi kau pasti lebih gagah sekarang, tentu banyak perempuan cantik yang melirikmu di sana. Lalu kapan kau akan pulang sayang?
Hari ini aku berjalan menyusuri padang ilalang, tempat kita memadu kasih. Setiap hembusan angin ini telah menjadi saksi ikrar cinta kita. Gubuk kecil yang kau bangun dulu masih tetap kokoh di unjung sana. Gubuk mungil ini dan cinta kita akan menjadi cerita indah untuk anak cucu kita nanti. Kau memelukku erat sekali waktu itu, sampai-sampai aku susah bernafas. Itu adalah hari terakhir kita bertemu sebelum akhirnya kau pergi dengan cita-citamu itu.
Hingga berita itu datang, aku seperti tersambar petir bengis di siang bolong. Aku mendengarnya dari ibu-ibu setengah baya yang berkumpul di warung kecil itu.
“Kau, masih ingat si Samsul, Min?” tanya seorang ibu
“Samsul ? anak Mbak Ratih? Ada apa memangnya?” jawab ibu yang lain
“Iya yang itu, aku dengar dia telah berkeluarga sekarang. Ia menikah dengan seorang anak pengusaha di kota sana.”
“Ahh yang benar? Kudengar ia akan menikah dengan anaknya Mbak Ani, si.. ?” pembicaraan mereka langsung berhenti saat menyadari keberadaanku.
Sam, benarkah itu? Kau menghianatiku? Tidak mungkinkan? Itu mustahil. Aku tahu kau sangat mencintaiku. Mereka pasti salah dengar, mungkin Sam yang lain. Kalau tidak mereka pasti berbohong. Tubuhku mulai gemetar, mataku memanas menahan mendung yang lebih kelam dari malam yang sedang bergemuruh. Aku tak tahan lagi, bergegas aku berlari menumpahkan mendung duka ini, membasahi hati yang telah lebam oleh penantian.
Kian hari berita itu semakin hangat panas dan membakar telinga dan sekujur ragaku. Aku mulai risau, gelisah dan muak. Mereka melihat ku seperti perempuan yang paling menyedihkan dan sangat pantas dikasihani. Seorang perempuan yang segera menjadi perawan tua dan mungkin gila karena menuggu pria yang kini mungkin sedang bercinta dengan perempuan lain.
Masih ingatkah kau dengan Sajak Khalil Gibran yang kau bacakan untukku?
Bila cinta mendatangimu, ikuti dia,
Walaupun jalannya sulit dan terjal
Dan ketika sayapnya mengembang mengundangmu,
Walaupun pedang yang tersembunyi di antara ujung sayapnya dapat melukaimu
........
Kau suka sekali dengan semua tulisan Khalil Gibran. Aku yang awalnya biasa saja jadi ikut-ikutan suka. Bahkan itu jadi kado rutinmu untukku. Pernah tersirat di pikiranku untuk mengejarmu ke sana. Ke kota yang tak jua membiarkanmu pulang ke padaku. Namun niat itu aku urungkan, karna kau hanya memintaku untuk menunggu, bukan untuk menyusulmu. Atau mungkin aku takut untuk menemui kekecewaan.
“Nisa, ada yang nyari kamu di luar!”
“Siapa, bu? Nisa sedang tidak ingin diganggu.” Sahutku yang memang sedang tidak baik.
“Temannya Sam, katanya!”
Teman Sam? Kenapa, kenapa bukan Sam yang datang? Ada apa denganmu Sam? Segera aku melangkah meninggalkan kamar suram ini sebentar. Di hadapanku, seorang perempuan, mungkin hampir seumuran denganku. Lama kuperhatikan, ia mirip sekali denganku. Matanya yang sayu, bibir kecilnya yang merah, mungkin ia adalah salah satu dari tujuh kembaranku di dunia.
“Annisa?” Tanyanya dengan raut yang tak jauh berbeda denganku. Raut perempuan yang telah lelah bergulat dengan kesabaran dan kepasrahan. Hah sok tahu sekali aku.
“Iya, aku Nisa, kau temannya Sam? Sejak kapan?” Tanyaku sedikit ketus.
“Aku Ila, ya dulu aku temannya Sam, tapi sekarang...”
“Sekarang apa?” Potongku langsung.
“Aku istrinya Sam, maafkan aku. Mungkin kau akan terkejut atau mungkin segera memakiku keluar dari rumah ini. Tapi ini adalah sebuah kenyataan, ini takdir.”
“Apa yang kau katakan barusan? Istri? Berani sekali kau mengatakannya dihadapanku! Jika kau datang hanya untuk membualku seperti ini, lebih baik kau pergi dari sini. Aku sedang tidak ingin dibodohi seperti ini.”
“Sam sudah meninggal setengah tahun yang lalu. Jika kau ingin tahu yang sebenarnya, dengarkan aku dulu. Sam bekerja di perusahaan orangtuaku. Dia pekerja yang ulet dan rajin. Tidak diragukan, ia juga sangat tampan. Dua tahun yang lalu ia mengalami kecelakaan yang membuatnya tidak ingat apapun, kecuali kau, Annisa. Pertama kali ia melihatku setelah kecelakaan itu, ia terus saja memanggilku dengan namamu itu. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa aku bukan Annisa, tapi iya tetap tidak percaya.”
“Dan dia menikahimu?”
“Ya, awalnya aku menolak, tapi orangtuaku memaksaku untuk menerimanya. Namun efek dari kecelakaan itu semakin parah dan kami tak dapat menolongnya lagi.”
“Lalu bagaimana kau bisa sampai di sini?” Tanyaku dengan suara yang semakin parau. Tak sadar air mataku telah melimpah ruah sebagai bukti kepedihanku yang tak urung seperti hutan yang bukan hanya kehilangan pohonnya tapi juga tanah suburnya. HAMPA.
“Dari ini..” diperlihatkannya tumpukan surat bersampul merah muda. Aku tahu, itu adalah tumpukan suratku untuk Sam. Semua aksara di dalamnya adalah ramuan cinta kesabaran atas penantian yang memilukan ini. “Aku menemukannya di antara kumpulan buku Khalil Gibran kegemarannya.”
“Aku rasa cukup, kau boleh pergi. Terimakasih kau telah datang dan mengatakan semuanya.” Aku balikkan badan dan pergi menuju kamar suram itu lagi.
Aku baca kembali semua surat Sam kepadaku masih dalam isakan yang dengan cepat menjadi raungan. Aku benar-benar perempuan menyedihkan, gila dan sangat pantas dikasihani. Dalam ketidakwarasanku, kupandangi jendela sarang sayap itu lagi. Kulihat ada Sam di sana, ia melambaikan tangannya kepadaku. Kupecahkan kaca jendela tua itu, dan aku datangi Sam yang masih tersenyum kepadaku. Aku datang sayang, tungggu aku !
“Tidaaaaakkkk !!! Nisaa !! Apa yang kau lakukan, anakku?!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun